The actual PhD student. I’m just his spokesperson πŸ˜€

Sejak suami memulai S3-nya di Lund University sekian purnama lalu, banyak pertanyaan yang masuk ke kotak pesan saya. Baik dari teman yang saya kenal, atau dari sembarang orang yang terhubung lewat LinkedIn dan halaman website saya.

Isinya sendiri macam-macam. Mulai dari pertanyaan tentang S3 di Swedia secara umum, hingga pertanyaan lebih detail soal ijin tinggal, bagaimana prosedur membawa keluarga, besar dan cakupan beasiswa, hingga hal-hal turunan lainnya.

Anehnya pertanyaan-pertanyaan itu justru lebih sering diajukan ke saya, yang sebenarnya bukan pelaku πŸ˜… , dan bukannya ke suami, si mahasiswa S3 sendiri. Mungkin karena saya lebih aktif secara online (baca: lebih selo 😜 ) sementara suami susah dicuri waktunya (dikirimi pertanyaan kapan, dijawabnya kapan-kapan πŸ˜„ ).

Sebagian pertanyaan itu saya rangkum di sini, siapa tahu berguna bagi yang sedang mencari informasi serupa. Sekaligus sebagai rekam jejak atas apa yang sudah kami lalui dalam beberapa tahun terakhir.

Beasiswa suamimu apa, Hay?

Pertanyaan ini cukup sulit dijawab karena logika S3 di Swedia mayoritas bukanlah berdasarkan beasiswa seperti yang jamak kita pahami di Indonesia. S3 di Swedia adalah posisi kerja berbayar. Jadi, suami saya semacam mendaftar pekerjaan sebagai doktorand (istilah untuk calon doktor di sini) lalu melakukan risetnya sembari bekerja untuk kampus. Sebagai imbalannnya, dia mendapatkan gaji bulanan sebagai karyawan (dan tentu saja membayar pajak yang besarnya lebih dari 30% itu πŸ˜… ), serta mendapatkan hak-hak karyawan lainnya, baik dari kampus tempat dia menjalankan S3 maupun dari negara Swedia. Untuk program S3nya sendiri tidak ada logika tuition fee, jadi tidak perlu ada yang dibayarkan ke kampus.

Mayoritas kampus di Swedia tidak menerima pendaftar dengan biaya sendiri atau biaya dari luar (external funding) untuk level S3, KECUALI sudah ada kerja sama sebelumnya dengan kampus yang dituju, itupun harus tetap melalui lowongan yang ditawarkan oleh kampus, bukan pemberi dana. Misal, beberapa departemen di Lund University bekerja sama dengan institusi atau lembaga donor untuk melakukan riset di bidang tertentu. Lembaga donorlah yang kemudian memberi biaya kepada kampus lalu kampus yang bersangkutan yang akan membuka lowongan S3 dan melakukan proses rekrutmen. Lebih jauh tentang hal ini bisa dibaca di postingan saya beberapa waktu lalu.

Kerjanya ngapain? Kuliah aja?

Kerja S3 di sini semacam menjadi dosen di Indonesia PLUS mengerjakan riset doktoralnya sendiri. Jadi suami saya punya jam kerja, termasuk di dalamnya mengajar, menjadi tutor, mengurusi konferensi, dan sejenisnya. Lalu selain itu, dia juga punya sejumlah kredit yang harus dipenuhi untuk program doktoralnya. Kredit-kredit ini dikumpulkan melalui PhD course, summer course dan/atau reading course dan tentu saja penulisan serta penerbitan si disertasi itu sendiri.

Untuk tahapan-tahapannya sendiri, di Lund University, khususnya di fakultas suami saya Social Science, ada lima fase yang harus dilalui untuk menjadi doktor di Swedia. Pertama, seminar ide (IdΓ©seminarium) untuk mempresentasikan rencana proposal penelitian. Kedua, midway seminar (halvtidsseminarium), seminar separuh jalan untuk menunjukkan progress dari penelitian yang sedang dilakukan. Seminar penutup (Slutseminarium), seminar akhir yang melibatkan reviewer external lebih banyak dari sebelum-sebelumnya. Disputation atau public defence, yaitu menerima komentar dan pengesahan naskah yang sudah dicetak untuk kemudian dinyatakan lulus atau tidak sebagai doktor. Terakhir, Doctoral conferment ceremony, atau wisuda khusus program doktoral yang sudah menjadi tradisi sejak akhir tahun 1600an.

Kok risetnya ga di Indonesia saja? Kan banyak tuh yang ngerjain risetnya dari jauh?

Karena posisi suami saya karyawan, maka dia terikat secara hukum untuk tinggal dan bekerja di Swedia sekian jam setiap minggunya. Suami tidak bisa pergi terlalu lama dari Swedia karena akan berpengaruh pada pembayaran pajak juga aturan-aturan lain yang mengikat pada kontrak program doktor.

Apabila lokasi riset mengharuskan perjalanan ke luar Swedia, maka akan ada waktu-waktu yang dialokasikan untuk field work tapi itupun durasinya tidak bisa terlalu lama karena menyangkut tanggung jawab kerja yang lain juga administrasi lainnya.

Berat juga ya kerja sambil kuliah gitu?

Ya namanya kuliah S3 ya, pasti berat. Kalau ga berat namanya Studi Banding πŸ˜†

Enak dong digaji gitu? Banyak duitnya?

Posisi bergaji memang bisa dikatakan enak karena ada jaminan finansial yang pasti terutama jika memilih untuk membawa keluarga turut serta (tentang hal ini bisa dibaca di sini). Soal besaran gaji, kalau diukur pakai rupiah ya banyak, tapi kalau untuk memenuhi biaya hidup di sini ya cukup. Tidak kurang. Tidak berlebih. Lagom, kalau orang Swedia bilang πŸ™‚

Kalau dibandingkan profesi yang lain di Swedia, tentu gaji S3 tidak ada apa-apanya πŸ˜€ . Tapi kami beruntung karena sebagai dependant dari kandidat doktor, kami mendapatkan hak-hak yang hampir sama dengan penduduk tetap di sini, semisal soal tunjangan untuk anak dan hak-hak orang tua. Sementara untuk biaya sekolah anak dan kesehatan, hampir semuanya ditanggung oleh negara alias gratis. Jadi, gaji tersebut masih cukup untuk gaya hidup standar.

SECARA UMUM, Hidup di Swedia enak ga, Hay?

Kalau kata orang Jawa, hidup di manapun itu wang sinawang. Ada enak ga enaknya. Hidup di Swedia enak dalam hal biaya pendidikan dan kesehatan yang nyaris gratis (sebagai konsekuensi pajak tinggi tentu saja) seperti yang sudah saya bilang tadi. Juga soal kebebasan ekspresi individu, nilai-nilai demokrasi dan masyarakat yang menghormati hak-hak dasar. Tapi tidak enak dalam hal cuaca dingin, jauh dari Indonesia dan susah cari makanan Indonesia πŸ˜„ .

Tapi jangan kuatir, kalau cuma mie instan In**mie, ada kok di toko Asia di sini πŸ™‚

Kamu ga pengen S3 juga, Hay?

Nah itu, pengen sih pengen. Dan sebenarnya sudah beberapa kali diusahakan. Tapi memang mendaftar S3 di Swedia tidaklah mudah. Plus sayanya sendiri mungkin belum memenuhi kualifikasi, jadi belum ada yang jadi rejeki sampai sekarang. Mungkin nanti. Di waktu dan tempat yang lain. Atau mungkin juga enggak. Karena ga semua orang harus S3, kan? πŸ™‚

2 responses

  1. aku baru tahu loh kalo S3 itu semacam kerja.. maklum aku ngga pernah sekolah lanjutan lagi setelah S1, wkwkw..

    postingan ini menjawab pertanyaanku juga tentang S3 πŸ˜†

    1. Wekekekekek, cuma di Scandinavian countries yg model begini, Zam. Eropa lain umumnya cari supervisor dulu trus nyari beasiswa dari lembaga pemberi beasiswa gitu.

Leave a comment

The author

Hayu Hamemayu is a word bender, whose work has appeared in The Conversation Indonesia, The Jakarta Post, Media Indonesia,Β Kompas, Majalah Kartini, Indonesia Travel Magazine, and The Newbie Guide to Sweden among others.

A WordPress.com Website.