Salah satu tantangan terberat menjadi orang tua, menurut saya, adalah memilihkan/mencarikan sekolah yang baik untuk anaknya. Sejak anak saya lahir, terhitung sudah tiga kali saya (dan suami tentu saja) dibuat pusing dengan masalah mencari sekolah. Sekolah bagi kami adalah investasi. Tabungan untuk masa depan anak kami. Jadi kami tak ingin sembarangan. Tujuannya tentu saja agar anak kami mendapatkan pendidikan yang menyenangkan sekaligus menenangkan. Apalagi ditambah fakta bahwa kami berdua berprofesi sebagai pendidik, maka “tuntutan” untuk mencarikan sekolah yang tepat menjadi berlipat ganda. Ibaratnya, anak orang lain saja kami didik dengan sungguh-sungguh, masak anak sendiri dicarikan sekolah yang ala kadarnya? Belum soal beban menjadi ibu bekerja yang seringkali disalahkan (dan/atau merasa bersalah) karena seolah-olah meninggalkan anak demi karir. Maka untuk saya, memilihkan sekolah menjadi perkara yang tidak main-main.

Hal ini tentu saja tidak menjadi soal kalau mencari sekolah yang bagus itu gampang. Terutama di Indonesia. Seringnya, sekolah yang berkualitas identik dengan sekolah yang mahal. Sehingga, pilihan bagi keluarga macam kami (yang masih harus hitung-hitungan dalam hal budget 😀 ) menjadi terbatas. Beruntung, selama tujuh tahun terakhir ini, kami bisa menemukan sekolah-sekolah, yang menurut kami, terbaik bagi pendidikan awal dan pendidikan dasar anak perempuan kami.

259343_10150639665830094_8112605_oPengalaman pertama kami mencarikan sekolah untuk anak adalah ketika putri kami berusia enam bulan. Waktu itu kami terpaksa menyekolahkannya karena saya dan suami harus menempuh studi S2 secara berbarengan. Saya tak banyak melakukan survei waktu itu karena masih buta dengan sistem pendidikan anak usia dini di Australia. Fokus saya saat itu lebih pada bagaimana caranya anak saya mendapatkan tempat penitipan (day care) mengingat saya harus kuliah lima hari dalam seminggu sementara antrian day care sangatlah panjang, juga persoalan lokasi. Soal kualitas saya percaya saja pada sistem pendidikan di Australia. Dengan bantuan liaison officer dari penyedia beasiswa kami, anak saya mendapatkan tempat di Kidz R Us. Di sinilah pendidikan awal anak saya dibentuk. Dan saya beruntung karena day care ini mengajari anak saya untuk mandiri, bertanggung jawab dan mampu mengekspresikan dirinya. Saya merasa, di day care inilah karakter dasar anak saya semakin terbentuk. Anak saya tumbuh menjadi pribadi yang sangat mudah bergaul, gampang beradaptasi dan tahu apa yang dia inginkan.

Lalu tibalah saat kami pulang ke Indonesia. Bulan-bulan awal tak menjadi soal karena saya masih bekerja di rumah. Tapi kemudian saya mendapatkan pekerjaan di luar rumah sehingga tuntutan untuk mencari sekolah kembali datang. Kali ini, saya lebih serius dalam mencari sekolah karena berbagai alasan. Pertama, anak saya sudah menginjak tiga tahun sehingga dia membutuhkan pendekatan belajar yang lain daripada ketika masih bayi. Kedua, anak saya belum lancar berbahasa Indonesia waktu itu. Saya tak ingin dia merasa malu atau tertekan di lingkungan sekolahnya yang baru. Ketiga, saya termasuk aliran yang tak mengharuskan anak untuk cepat membaca dan berhitung. Bagi saya, setiap fase belajar ada waktunya sendiri-sendiri. Saya ingin anak saya belajar dan mampu melakukan banyak hal. Tapi saya tak ingin membuat dia merasa bahwa belajar adalah beban yang tidak mengenakkan. Maka, berulang kali kami melakukan uji coba (trial) di sekolah-sekolah. Ada yang cocok tapi biayanya terlalu mahal. Ada yang terjangkau tapi kurang sreg. Dan seterusnya.

Pilihan lalu jatuh pada Fastrack Funschool. Satu sekolah yang sebelumnya saya hindari karena sempat dibilang mahal dan pergaulannya kelas elit. Tapi ternyata itu semua hanya rumor. Sekolah di Fastrack memang tidak murah, tapi sistem pembayarannya fleksibel dan tidak terlalu membebani. Guru-gurunya baik dan ramah. Orang tuanya juga beragam, bukan didominasi oleh satu golongan saja. Dan yang paling penting, kurikulumnya sangat sesuai dengan preferensi saya. Sekedar informasi, Fastrack menggunakan strategi pendidikan yang memadukan tiga perspektif sebagai kerangka penyusunan program yaitu Multiple Intelligences, 7 Habits of Highly Effective People,dan 5 Minds for The Future. Di Fastrack, setiap anak dipercaya memiliki potensi kecerdasan majemuk yang beragam, sehingga tidak kemudian serta merta dimasukkan dalam oposisi biner pintar dan bodoh. Selain itu, Fastrack menawarkan kelas internasional dengan bahasa pengantar Bahasa Inggris sehingga lebih memudahkan anak saya dalam beradaptasi. Di Fastrack, satu kelas, dengan dua guru, tidak pernah berisi lebih dari 15 anak, sehingga saya merasa anak saya berada di tangan yang aman selama saya tinggal bekerja (tidak akan ditelantarkan karena beban guru yang terlampau banyak).

13227485_10157031010445094_4169820600624533718_o
Membacakan Cerita di Story Book Club, Fastrack

Sudah nyaman dengan Fastrack (anak saya tiga tahun bersekolah di sana dari mulai Playgroup sampai TK besar), kami terpaksa memindahkan anak ke sekolah lain karena boyongan ke Swedia. Kata Swedia tentu saja menjadi jaminan bagi sekolah yang bagus. Tapi mencarikan sekolah yang tepat untuk anak tetap menjadi pekerjaan rumah tersendiri. Jumlah sekolah internasional di Lund, kota yang kami tinggali, tidak banyak. Terutama untuk sekolah dasar. Terhitung hanya ada tiga, sehingga, daftar tunggunya sangatlah panjang. Lebih mudah mencarikan sekolah negeri daripada mencari sekolah swasta internasional. Tapi dengan bahasa pengantar bahasa Swedia di sekolah negeri, saya meragu. Saya tak ingin membuat anak saya beradaptasi dengan banyak hal sekaligus. Saya tak ingin dia terbebani terlalu banyak. Plus, kalau dia belajar dalam bahasa Swedia, siapa yang nanti akan membantu dia belajar di rumah? Mengingat kemampun berbahasa Swedia saya yang hanya cukup untuk belanja di warung 😀 . Saya sudah pusing duluan membayangkan mengajari dia matematika atau bahasa dalam bahasa Swedia. Maka, kami menyempitkan pilihan ke dua sekolah saja: Lund International School (LIS) dan International School of Lund Katedralskolan (ISLK). Juga karena sekolah yang satu lagi pengantarnya bahasa Prancis. Duh, saya tahunya cuma merci dan croissant doang kalau bahasa Prancis :D.

Namun, mendaftarkan anak di sekolah di Swedia ternyata mensyaratkan proses yang berbeda. Saya perlu mengisi sederet berkas dan membuat semacam letter of motivation ke sekolah-sekolah yang saya tuju dengan menyebutkan sejarah pendidikan anak saya dan juga mengapa saya ingin anak saya bersekolah di sekolah-sekolah tersebut (levelnya sudah seperti mau daftar S2 😀 ). Setelah semua berkas dilengkapi, saya mengirimkan aplikasi dan berhasil mendapatkan tempat bagi anak saya di kedua sekolah tersebut. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya kami memilih LIS untuk menjadi tempat anak saya menjalani proses pendidikan dasar (atau di sini lebih dikenal dengan istilah Primary Years Program/PYP). Jujur, dua-duanya adalah pilihan yang sama-sama bagus karena secara kurikulum mereka menggunakan sistem yang sama. Baik LIS dan ISLK menggunakan sistem The International Baccalaurate (IB), sebuah sistem pendidikan internasional yang berbasis di Inggris yang fokus pada international-mindedness and strong personal values. Program ini memungkinkan semua sekolah di seluruh dunia yang menggunakan IB memiliki kurikulum yang sama. Bagi saya, hal ini tentu saja lebih cocok karena kami tidak akan selamanya di Swedia sehingga memilih pendidikan internasional yang bisa ditemukan di belahan dunia lain menjadi nilai lebih tersendiri. Awalnya saya sempat kuatir karena ketika hari orientasi, anak saya sempat dites kemampuan membaca buku cerita (yang memang belum saya ajari secara khusus). Saya sudah berpikir jangan-jangan ini sejenis sekolah yang murid-muridnya harus bisa calistung sebelum 7 tahun. Tapi ternyata kekhawatiran saya tidak beralasan. Saya sempat berdiskusi dengan gurunya tentang hal ini dan ternyata dia hanya mengukur kemampuan anak saya untuk menentukan level dan pendekatan belajarnya. Dia juga menekankan bahwa setiap anak itu unik dan punya potensinya sendiri-sendiri sehingga tidak bisa didekati dengan satu cara. Saat itulah saya merasa lega. Saya yakin anak saya bersekolah di tempat yang tepat.

Dan memang benar. Selama satu semester ini bersekolah di LIS, anak saya belajar banyak hal dengan baik dan nyaman. Salah satunya adalah logika berpikir jernih dan runtut yang menjadi esensi dasar dari pendidikan di sini. Anak saya belajar, tidak hanya bahasa (termasuk bahasa Swedia dua kali seminggu 😀 ) dan matematika, tapi juga olahraga dan seni (termasuk memahami fase-fase dan perbedaan dari jaman renaissance, modern art, sampai pop art). Bagi saya, pengetahuan-pengetahuan ini sangatlah bagus dan menarik. Saya sendiri baru belajar bedanya modern dan post-modern waktu kuliah. Haha. Terlebih lagi, setiap semester dalam program IB dibagi menjadi beberapa unit inquiry dan setiap anak diminta untuk mengembangkan konsep dasar dari unit tersebut melalui pelajaran di kelas, eksperimen, pertunjukan, jalan-jalan hingga presentasi. Puncaknya adalah di akhir semester kemarin ketika anak saya mendapat tugas untuk membuat final project dan mempresentasikannya. Saya terharu, menyaksikan anak saya bercerita di depan puluhan orang tentang hasil risetnya mengenai ekosistem bawah laut. Mengenai tanaman di laut yang memegang peran penting bagi keberlanjutan kehidupan manusia. Mengenai tugas kita untuk menjaga tanaman dan ekosistem bawah laut. Saya mendampinginya selama proses dia membuat project itu. Saya ada di sana ketika dia mencari perbedaan antara seagrass dan seaweed. Tapi menyaksikannya presentasi tetap saja membuat saya tidak bisa tidak berkaca-kaca (emang dasar ibubil, ibu-ibu labil 😀 )

Hal lain yang membuat saya lega adalah fakta bahwa sekolah di Swedia itu gratis, hehe. Kecuali kalau anak mengikuti fritids atau penitipan setelah jam sekolah (after school care). Jadi, masalah biaya tidak menjadi pertimbangan tersendiri. Sebenarnya tolok ukur saya dalam menentukan kualitas sekolah itu simple: anak saya belajar sesuai fasenya dan dia happy dalam belajar. Bagi saya, penting untuk merasa bahagia ketika belajar karena belajar adalah proses seumur hidup. Kalau tidak bahagia, anak akan tersiksa dan akhirnya justru tidak mendapat apa-apa dari belajarnya itu.

Secara pribadi saya bersyukur karena sekarang saya bekerja dari rumah sehingga mempunyai cukup banyak waktu untuk mendampingi anak saya belajar. Barangkali, ini adalah satu diantara sekian alasan mengapa kemarin-kemarin saya belum mendapatkan posisi S3. Tuhan tahu saya membutuhkan momen ini untuk menemani proses belajar anak saya.

Bapak saya sendiri selalu bilang, pendidikan pertama itu berasal dari rumah. Mau sebagus apapun sekolahnya, kalau di rumah seorang anak tidak diajari maka besar kemungkinan dia tidak akan menyerap apa yang diajarkan di sekolah. Saya ingat waktu saya kecil, orang tua saya juga menemani saya belajar. Bahkan ibu saya kerap membantu saya menyalin buku karena sewaktu SD saya bertugas menulis catatan di papan tulis untuk teman-teman lalu membawa buku dari guru untuk saya salin di rumah. Maka sekarang, giliran saya mendampingi anak saya. Sekolah bukan percetakan atau pabrik tempat kita memasukkan anak dan berharap dia keluar dengan kualitas yang kita harapkan karena kita sudah membayar. Sekolah hanyalah salah satu dari sekian banyak hal yang menentukan pendidikan seseorang. Pada akhirnya, proses belajar adalah tanggung jawab bersama, setidaknya antara si anak yang belajar, sekolah dan juga orang tua.

Usai presentasi proyek akhir semester di LIS

8 responses

  1. […] Inggris full dengan carer dan teman-temannya (lebih jauh tentang cerita ini bisa dibaca di sini). Sementara di rumah, saya dan suami berbahasa Indonesia dan […]

  2. Sungguh menginspirasi aku sebagai seorang perempuan ni, Mbak Hay. Berkecimpung di dunia pendidikan sebagai relawan benar-benar butuh bacaan berkualitas seperti di atas. Jadi bisa tercerahan gitu. Hehee… Terimakasih ya, Mbak 🙂

    1. hahahaha, terima kasih banyak Dila, senang tulisannya bermanfaat 🙂

  3. Mba Hayu, aku penasaran, kalau si anak sama sekali gak bisa bahasa inggris, bisa kah masuk ke sekolah internasional?

    1. Halo mbak, maksudnya di Indonesia, Australia, apa di Swedia mbak? Kalau pengalaman kami, tiga-tiganya bisa kok, beberapa teman anak saya sama sekali tidak bisa berbahasa Inggris waktu mulai sekolah, biasanya sama guru didampingi khusus, dikasih tambahan latihan di rumah, dll, dan dalam bbrp minggu biasanya mereka mulai bisa adaptasi

      1. Maksudnya yang di swedia mba 😄
        Kalo di oz, sebelum masuk primary school anak akan masuk ke sekolah bahasa inggris terlebih dahulu. Gimana dengan swedia? Apakah anak2 indo bisa langsung sekolah atau harus belajar bahasa lokal dulu? Niat hati emak pengen kuliah di swedia, tapi kebingungan gimana sekolah buat anak 😄

      2. Ohhhh, ga ada sekolah persiapan gitu mbak di sini, setidaknya tidak di Lund, kota tempat kami tinggal. Jadi ya langsung masuk. Kalau di sekolah publik (negeri) ya langsung belajar pake bahasa Swedia, kalau di sekolah internasional langsung pake bahasa Inggris (atau Prancis, tergantung sekolahnya). Cuma nanti level belajarnya disesuaikan dengan kemampuan si anak. Trus kalau lihat temen-temen anak saya yg awalnya ga bisa bahasa Inggris sama sekali, sama gurunya dikasih latihan-latihan tambahan gitu mbak, untuk belajar dengan orang tua di rumah

  4. […] Terutama justru harus mempertimbangkan kesiapan anak. Karena seperti yang pernah saya tulis di sini, proses belajar adalah tanggung jawab bersama, setidaknya antara si anak yang belajar, sekolah dan […]

Leave a comment

The author

Hayu Hamemayu is a word bender, whose work has appeared in The Conversation Indonesia, The Jakarta Post, Media Indonesia, Kompas, Majalah Kartini, Indonesia Travel Magazine, and The Newbie Guide to Sweden among others.

A WordPress.com Website.