Saya tidak tahu apakah ini perasaan saya saja, atau rata-rata orang tua di luar sana juga merasakan hal yang sama. Tapi saya merasa, menjadi orang tua sering menempatkan kita pada situasi yang kompleks. Antara mau begini. Tapi juga begitu. Ingin yang ini. Tapi mau juga yang itu. Kita sebut saja perasaan kompleks itu sebagai dilema.
Dalam hal masa depan anak misalnya. Setiap orang tua menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Kita mendoakan, membimbing dan mengarahkan. Tapi sebagai orang tua juga, saya sadar, bahwa hidup anak saya sepenuhnya adalah hak dia. Kita tidak berhak memaksa dia menjalani apa yang kita mau atau memaksa mereka untuk mewujudkan mimpi-mimpi kita yang belum/tidak terpenuhi. Makanya saya termasuk yang tidak terlalu suka mengajari anak saya banyak hal tanpa persetujuan darinya. Mungkin karena saya sendiri juga malas belajar, haha, sehingga saya tahu tidak enaknya diajari tanpa kita sendiri mau. Tidak terkecuali dalam hal belajar bahasa.
Sejujurnya saya tak pernah menyempatkan waktu secara khusus untuk mengajari anak saya bahasa tertentu. Semuanya mengalir begitu saja. Maka kalau belakangan ada yang bertanya bagaimana cara saya mengajari anak saya multi bahasa? Sungguh saya tidak tahu jawabannya. Awalnya saya tak berniat mengajari anak saya berbahasa Inggris. Waktu bayi, saya ajak dia berbicara dalam bahasa Indonesia campur bahasa Jawa. Kata “minum” saja saya bahasakan ke dia dengan “mimik” :D. Tapi lalu anak saya mengalami semacam keterlambatan berbicara. Meskipun, menurut ukuran dokter waktu itu, anak saya belum masuk dalam kategori speech delay. Alasannya karena dia tetap aktif berinteraksi meski kata-kata yang keluar dari mulutnya belum sejelas anak-anak seumurannya. Usut punya usut, anak saya ternyata mengalami kebingungan karena menyerap terlalu banyak bahasa. Maklum, sejak umur 6 bulan dan kami tinggal di Perth, Australia, dia sudah saya titipkan ke penitipan dari pukul 08.00 – 17.00 sehingga sehari-harinya berbahasa Inggris full dengan carer dan teman-temannya (lebih jauh tentang cerita ini bisa dibaca di sini). Sementara di rumah, saya dan suami berbahasa Indonesia dan Jawa.
Saya tidak menyadari masalah anak saya itu hingga suatu hari saya membaca laporan harian dari carer di sekolah anak saya. Di situ tertulis bahwa anak saya begitu aktif di sekolah dan bisa berkomunikasi dengan baik. Saya agak heran membacanya, karena di rumah, ketika saya ajak berbicara atau memberikan stimulus-stimulus kalimat sederhana, anak saya tidak begitu merespon. Misal ketika saya bilang: “Ayo diambil bolanya,” dia hanya menatap saya dengan bengong :D. Ternyata, anak saya lebih familiar dengan bahasa Inggris, sehingga setelah berkonsultasi dengan dokter, diputuskan bahwa komunikasi dengan anak saya harus dilakukan secara konsisten dalam bahasa Inggris, agar dia tidak kebingungan. Tapi, saya tetap berbahasa Indonesia dan/atau Jawa dengan suami agar dia mengenali ritme dan intonasi bahasa Indonesia dan Jawa. Saya pun berdamai dengan fakta bahwa bahasa pertama anak saya adalah Bahasa Inggris. Saya menerima kenyataan bahwa saya harus mikir grammar saat ngomong ke anak sendiri 😂😂. Dan memang benar, ketika saya mengganti kalimat “Ayo diambil bolanya,” dengan “Get the ball, please” dia langsung merespon. Ealah.
Dua tahun kemudian, kami kembali ke Indonesia. Anak saya tetap lebih lancar berbicara Inggris meskipun mulai bisa mencampurnya dengan bahasa Indonesia dan bahkan Jawa. Misal, dia menyebut susu cair dalam kotak bergambar sapi sebagai “Mimik Moo” (yang tentu saja lebih terdengar sebagai “Mimikmu,” 😀 ) dan pernah suatu kali kami belanja di supermarket, dengan entengnya dia menunjuk deretan susu kotak di rak dan berteriak “Mimik Moo, Mimik Moo,” yang tentu saja membuat kaget orang-orang yang sedang berbelanja. Dan karena orang Indonesia itu suka tertawa (termasuk menertawakan orang lain) maka anak saya sering ditertawakan ketika berbahasa Indonesia dan menjadi tidak percaya diri karenanya (bahkan salah seorang tetangga pernah memvonis anak saya tidak akan punya teman kalau tidak bisa berbahasa Indonesia, duh, mind your own business, Sir!). Akhirnya saya memutuskan untuk memasukkan dia ke sekolah yang bahasa pengantarnya bahasa Inggris dan mengenalkan lebih banyak kosakata dalam bahasa Indonesia. Ketika membacakan cerita atau bermain, misalnya, saya menggunakan dua bahasa sekaligus: Indonesia dan Inggris. Kemudian ketika menonton televisi, kadang saya menyalakan opsi dubbing, kadang saya mematikannya. Tujuannya hanya agar anak saya lebih familiar dengan bahasa Indonesia. Sejak itu, kemampuan berbahasa Indonesia anak saya semakin membaik dan dia mulai bisa menggunakan ekspresi kata yang lebih tepat. Persoalan ekspresi ini juga menjadi PR tersendiri bagi saya. Mengapa? karena salah satu kerumitan dalam bahasa Indonesia adalah makna lain yang sering terkandung dalam kata atau kalimat. Kita bisa bilang dengan santai dalam bahasa Inggris, “I don’t like it,” ketika ditawari makanan/minuman. Tapi bisa jadi “masalah” ketika menjawab “Aku enggak suka,” saat ditawari hal yang sama dalam Bahasa Indonesia (dan di Indonesia 😀 ). Salah-salah bisa dianggap tidak sopan. Itu juga yang menjadi masalah kami di awal-awal anak saya belum lancar berbahasa Indonesia.
Saya sadar, banyak versi tentang mengenalkan multi bahasa untuk anak. Ada yang pro dan yang kontra. Dan saya sendiri memilih untuk tidak memihak. Sejak punya anak, saya menyadari bahwa rumus-rumus parenting yang bertebaran di buku dan artikel di internet itu tidak bisa serta merta diterapkan ke semua anak. It’s not one solution fits all. Setiap anak itu unik. Dan tugas orang tua adalah meramu rumus-rumus yang ada dan mencarikan formula yang paling cocok untuk anaknya. Maka dalam hal multi bahasa pun, saya percaya itu adalah pilihan. Selama dilakukan tanpa menyiksa dan menyakiti si anak, saya kira tak jadi soal. Kondisi si anak sendiri harus jadi fokus utama menurut saya. Jangan sampai, karena persolan bahasa, anak justru tersiksa atau bahkan trauma ketika belajar.
Bahasa adalah salah satu sarana ekspresi. Maka diperlukan bahasa yang tepat untuk mengekspresikan diri (dan hal) dengan tepat pula. Dengan pertimbangan itu, ketika pindah ke Swedia, saya memasukkan anak saya ke sekolah berbahasa Inggris agar dia lebih mudah mengekspresikan diri dan pikirannya. Bahasa Swedia hanya menjadi bahasa tambahan yang diajarkan dua kali seminggu (seperti bahasa daerah kalau dalam kurikulum di Indonesia). Tapi karena benturan sehari-hari membuat kami mau tak mau berinteraksi dalam bahasa Swedia, maka anak saya pun mulai bisa berkomunikasi dalam bahasa tersebut. Tentu saja kosakatanya masih terbatas dan dia masih suka malu-malu kalau diminta ngomong dalam bahasa Swedia, tapi pronunciationnya jauh lebih bagus dari pada saya. Hahaha.
Menyadari bahwa anak saya sudah mengenal tiga bahasa: Inggris, Indonesia, Swedia (juga mulai mengenali bahasa Arab karena belajar Iqra’ dan hafalan Al Quran), saya tak berniat menambah bahasa lain. Tapi lalu ada satu kejadian yang kemudian membuat saya bertekad untuk mengenalkan bahasa Jawa ke anak saya. Saya lupa detilnya, tapi saya ingat suatu hari anak saya bilang: “It’s your language“. Deg! frase YOUR LANGUAGE membuat saya tertohok. Bukan salah anak saya kalau dia tidak bisa berbahasa Jawa. Saya toh tak pernah benar-benar mengajari. Tapi mendengar dia menganggap bahwa bahasa Jawa adalah bahasa saya, dan dia tidak termasuk di dalamnya, saya kok baper. Saya merasa harus mengenalkan dia dengan bahasa yang bagaimanapun adalah akarnya itu. Minimal dia perlu tahu kalimat-kalimat standar. Juga aturan dan strata dalam Bahasa Jawa serta bagaimana menggunakannya. Bahasa Jawa saya memang bukan yang bagus banget. Tapi masih lumayan lah kalau cuma untuk mengajari anak.
Tapi lagi-lagi, karena menjadi orang tua itu penuh dilema, saya sempat dilanda kekhawatiran kalau-kalau anak saya jadi resisten. Saya takut dia terbebani dan jadi tidak bahagia dalam belajar. Akhirnya, seperti yang sudah-sudah, saya menggunakan pendekatan ala saya yaitu mengajari pelan-pelan sambil bermain. Jadi misal, dia sedang main masak-masakan. Maka saya sebagai pembeli akan memesan dalam dua bahasa (yang salah satunya pasti bahasa Jawa). Kadang Bahasa Inggris dan Bahasa Jawa. Kadang Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa. Dan seterusnya. Lalu saya memberinya contoh bagaimana menjawab dalam bahasa Jawa. Awalnya dia malu dan bersikukuh menjawab dalam bahasa Inggris yang memang lebih nyaman buat dia. Tapi lambat laun, dia mulai menikmati dan berusaha merumuskan kalimat sendiri.
Sekarang, setelah anak saya mengenali bahasa-bahasa yang juga saya (dan suami) kenali, kami tidak tahu lagi bagaimana caranya membicarakan sesuatu tanpa anak kami tahu (yang agak rahasia atau tema-tema tertentu misalnya 😀 ). Duh. Dilema.

Leave a Reply