Sudah lama saya tidak menulis di laman ini. Belakangan, saya memang sedang disibukkan dengan beberapa hal baru. Salah satunya, mendampingi anak bungsu saya masuk sekolah. Yup, sejak seminggu terakhir, si kecil mulai masuk kelas pra sekolah alias förskola kalau dalam bahasa Swedia. Sebenarnya, di Swedia, setiap anak berhak masuk preschool sejak umur 1 tahun. Tapi karena pandemi dan beberapa pertimbangan lain, kami baru mendaftarkan K Oktober lalu dengan waktu mulai awal Desember ini.

Sebenarnya lagi, ini bukan kali pertama K sekolah karena sebelumnya dia sudah bergabung di open preschool atau sekolah terbuka yang bebas jam masuk dan durasi di sekolah. Tapi tentu saja dua pengalaman ini berbeda untuk saya dan K karena sistem dan bentuk sekolahnya memang berbeda.

Nah, kalau-kalau ada yang ingin tahu sistem pra sekolah di Swedia itu seperti apa, cerita lengkapnya ada di halaman-halaman berikutnya ya 😊

Fase Open Preschool

Tahun lalu, saat K berumur kurang dari satu tahun, saya dan suami memutuskan untuk mengikutsertakan K ke kegiatan open preschool. Alasan utamanya untuk mengurangi stranger anxiety K yang salah satu penyebabnya adalah jarang bertemu orang lain selain keluarga inti. Menurut referensi yang kami baca dan pengalaman kami dengan anak pertama, hampir semua anak mengalami stranger anxiety, tapi kadar dan durasinya macam-macam. Kebetulan K memang sangat lengket dengan saya sejak lahir. Dia tidak selalu mau disapa atau dipegang orang baru. Dia butuh waktu untuk beradaptasi dan merasa nyaman di lingkungan baru. Karena itu, kami merasa perlu mengenalkan dia dengan ruang-ruang lain selain keluarga, melalui sekolah salah satunya.

Konsep open preschool sendiri karena “terbuka” maka tidak terikat waktu, tidak perlu mendaftar, tidak membayar, tapi orang tua harus mendampingi anaknya selama berada di sekolah. Selama di sekolah tersebut, si anak bisa bermain bersama teman seumuran, numpang makan (dengan membawa bekal sendiri dari rumah), menggambar, bernyanyi, sementara orang tua bisa bersosialisasi juga dengan orang tua yang lain.

Di Lund sendiri, ada dua open preschool yaitu Kulan dan Söderlek. K bergabung di Kulan karena lokasinya lebih dekat dari rumah jadi lebih mudah juga buat saya untuk sewaktu-waktu bergabung . Seperti sekolah pada umumnya, Kulan juga memiliki guru, ruang-ruang bermain, tempat ganti popok, bahkan dapur dan tempat menyusui. Selain itu, salah satu kegiatan yang paling menyenangkan di Kulan adalah sesi bernyanyi bersama. Selama di Kulan, K belajar bertemu orang baru, berbagi mainan, juga hal-hal edukatif lainnya. Sayangnya pandemi menyerang lalu kami pun berhenti datang ke open preschool karena khawatir dengan resiko penularan. Selama masa-masa itu, saya dan suami juga maju mundur dengan rencana mendaftarkan K ke pra sekolah reguler karena kami toh lebih sering bekerja dari rumah, dan lagi-lagi bayangan pandemi masih menghantui.

Tapi lalu kami menyadari bahwa semakin ke sini, semakin K butuh bermain dengan teman-teman seusianya. Selain itu, dengan saya yang sejak Agustus kuliah lagi meskipun paruh waktu dan online, lebih susah membagi waktu antara bekerja/kuliah dan bermain dengan K di rumah. Akhirnya, kami pun memutuskan mendaftarkan K ke preschool reguler.

Bagaimana dengan pandemi?

Untuk yang belum tahu, sekolah di Swedia tetap buka sampai level SMP. Mulai SMA dan seterusnya, sekolah dan kuliah diberlakukan secara online. Kebijakan ini dibuat pemerintah Swedia berdasarkan pertimbangan bahwa resiko penularan di kelompok umur tersebut di Swedia sangat rendah (untuk tidak menyebut tidak ada sama sekali). Jadi, meskipun pandemi masih terjadi, K tetap bisa mulai sekolah di regular preschool.

Fase Regular Preschool

Untuk preschool yang reguler, orang tua harus mendaftarkan anaknya melalui website kommun (pemerintah kota) setempat terlebih dahulu, lalu memilih preschool yang diprioritaskan sesuai lokasi tempat tinggal (bisa lebih dari satu), memasukkan tanggal masuk preschool yang direncanakan, kemudian melaporkan penghasilan orang tua lalu menunggu “offer” dari pihak sekolah. Jadi memang untuk yang reguler ini tidak gratis, ada biayanya, tapi besarannya ditentukan oleh penghasilan orang tua dengan maksimal biaya 1478 kr/bulan untuk anak pertama berusia 1-2 tahun. Besaran prosentase biaya juga berbeda-beda di beda kommun. Untuk di Lund, hitungannya bisa dilihat di halaman ini.

Selain itu, durasi di sekolah juga tergantung profesi orang tua. Untuk orang tua yang bekerja atau kuliah full time, mereka berhak menitipkan anaknya dari pagi hingga sore. Tapi untuk mereka-mereka yang statusnya part time, maka hanya bisa 5 jam per harinya. Karena suami bekerja full time dan saya part time, maka kami juga hanya berhak menitipkan anak selama 5 jam setiap harinya (5 hari kerja). Kebijakan ini pun berbeda di tiap kommun. Di kota lain yang saya tahu, kalau status bekerjanya part time maka hanya berhak 15 jam dalam seminggu alias 3 hari saja.

Waktu tunggu “offer” sendiri bisa bermacam-macam tergantung ketersediaan tempat di sekolah yang dituju. Makanya, banyak orang tua mendaftarkan anaknya jauh-jauh hari bahkan berbulan-bulan sebelumnya. Seringkali juga, bukan preschool pilihan pertama yang pertama menawarkan “offer” jadi memang tergantung kuota di preschool yang dituju.

Begitu mendapatkan lalu menerima “offer” yang ditawarkan (orang tua boleh menolak kalau memang tidak cocok, misal karena bukan pilihan pertama) maka si anak boleh mulai sekolah sesuai tanggal yang sudah dipilih. Untuk prosesnya, seminggu pertama adalah masa orientasi lalu masa penyapihan baru kemudian sekolah rutin secara mandiri. Preschool di Swedia memang menggunakan pendekatan yang gentle dan gradual yang tetap disesuaikan dengan kondisi anak.

Misal untuk K, selama 4 hari pertama saya mendampingi dia berkenalan dengan guru-guru dan teman-temannya. Saya meng-encourage dia untuk bermain dengan teman-temannya tapi dengan tetap berada di dalam jangkauan. Kadang saya menunggu agak jauh untuk memberi dia ruang agar bisa menaruh kepercayaan ke orang baru. Di hari kelima, saya mulai meninggalkan dia sendiri di sekolah. Awalnya hanya untuk setengah jam, lalu satu jam, lalu makin hari makin lama hingga dia bisa pisah sepenuhnya tanpa drama 😀 . Tentu saja dia mencari saya selama saya pergi, bahkan tak jarang dia menangis, tapi laporan dari gurunya sangat baik. Bahkan menurut gurunya, justru baik kalau K sedikit sedih saat ditinggal daripada cuek sama sekali, yang terpenting adalah dia bisa mengatasi rasa sedih itu dan bisa tenang setelahnya. Pendidikan di Swedia memang menekankan pentingnya ekspresi emosi sejak dini. Tak heran cerita-cerita di buku anak Swedia sering bertema kematian atau hal-hal sedih lainnya yang jarang dibahas. Menurut budaya di sini, kesedihan bukan untuk dihindari tapi untuk diatasi.

Baik di open maupun regular preschool, bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Swedia, meskipun para guru tetap bisa berbahasa Inggris. Jadi mau tak mau, saya pun mengasah lagi kemampuan bahasa Swedia saya yang pas-pasan 😀 . Di preschool sendiri, sebenarnya anak-anak hanya “pindah” bermain, makan dan tidur, karena memang pendidikan di Swedia itu relatif “santai”, yang mana buat saya dan suami lebih cocok karena kami juga tidak mau anak terbebani terlalu dini. Itu juga alasan kenapa kami mantap mengirim K ke pra sekolah di usianya yang belum genap 2 tahun. Selama beberapa hari terakhir sejak K sekolah, dia tetap happy, lebih rileks saat disapa orang di jalan, bahkan lebih teratur jadwal tidurnya. Itu yang penting buat saya dan suami sebagai orang tua, bukan “belajar” dalam pengertian rumit yang dipahami banyak orang dewasa.

Kami sendiri merasa bersyukur karena manajemen Covid-19 di Swedia tidak terlalu ekstrim, sehingga anak-anak masih bisa bersekolah dan live a normal life, meskipun dalam kondisi yang tentu saja tidak sepenuhnya sama. Saya melihat bagaimana keponakan-keponakan saya atau anak teman-teman saya yang terpaksa kehilangan rutinitas sekolah dan beradaptasi dengan rutin baru yang mungkin tidak 100% menyenangkan.

Tentu saja saya tidak mengatakan bahwa negara lain, semisal Indonesia, harus mengikuti cara Swedia. Setiap negara, menurut saya, perlu merumuskan caranya sendiri, yang memang cocok dengan kebutuhan dan keadaan negaranya. Cara yang dipakai Swedia belum tentu berhasil jika diterapkan di negara lain karena banyak faktor yang mempengaruhinya.

Dalam skala yang lebih kecil, saya juga tidak sedang menghimbau orang tua lain untuk menyekolahkan anaknya sesegera mungkin. Bagi saya, itu adalah keputusan bersama di dalam keluarga sesuai kebutuhan dan keadaan di dalam keluarga itu sendiri. Terutama justru harus mempertimbangkan kesiapan anak. Karena seperti yang pernah saya tulis di sini, proses belajar adalah tanggung jawab bersama, setidaknya antara si anak yang belajar, sekolah dan juga orang tua.

Leave a comment

The author

Hayu Hamemayu is a word bender, whose work has appeared in The Conversation Indonesia, The Jakarta Post, Media Indonesia, Kompas, Majalah Kartini, Indonesia Travel Magazine, and The Newbie Guide to Sweden among others.

A WordPress.com Website.