Tak biasanya saya berisik (atau sebut saja nyinyir) di dunia maya. Kalaupun pernah, masih bisalah dihitung dengan jari. Saya memang sengaja tidak mengumbar pendapat dan preferensi di akun-akun media sosial. Saya tak ingin mengumbar pilihan dan keberpihakan. Baik dalam hal politik atau remeh temeh keseharian. Alasannya sederhana, tak ingin terjebak dalam ingar bingar pendapat tak berkesudahan yang banyak bertebaran di sana. Sampai-sampai seorang kawan pernah “menegur” saya dengan mengutip Dante: “The hottest places in Hell are reserved for those who, in a period of moral crisis, maintain their neutrality.” Saya membela diri dengan mengatakan bahwa saya tidak netral. Saya memihak. Tapi saya tidak berhutang pada seluruh dunia untuk memberitahu mereka keberpihakan saya itu.
Anyway, semua berubah ketika pagi ini, saat saya berniat mengganti tidur saya yang hanya tiga jam tadi malam, tapi malah iseng menengok halaman media sosial. Saya beranjak dari satu kabar ke kabar yang lain. Untuk kemudian terhenyak. Kabar tentang Bumi Manusia, novel pertama dalam tetralogi Pramoedya Ananta Toer, yang akan diangkat ke layar lebar memenuhi linimasa saya. Awalnya saya sumringah. Tapi hati saya mencelos ketika sampai di kalimat yang menyebutkan bahwa Minke, tokoh sentral dalam novel tersebut, akan diperankan oleh Iqbaal, si pemeran Dilan.
Jejak Langkah saya langsung membatu. Rumah Kaca di hati saya seketika pecah. Dan saya percaya, jeritan hati saya adalah Jeritan Anak Semua Bangsa.
Saya tidak rela. Bukan karena saya punya masalah dengan Iqbaal. I don’t even know him. Jujur, saya bahkan belum pernah menonton film Dilan atau merampungkan membaca novelnya. “Bukan selera saya,” begitu biasanya saya berkilah. Saya juga tak tahu kualitas aktingnya, kecuali gombalan-gombalan unyu yang muncul di trailer. Tapi dia sungguh sangat jauh dari bayangan saya tentang Minke. Terlalu jauh.
“Lalu menurutmu, siapa yang cocok?” teman saya yang lain bertanya.
Saya enggak tahu. Mungkin enggak ada. Karena pengalaman membaca Bumi Manusia tidak memunculkan visualisasi yang gamblang. Kita mereka-reka. Membayangkan berdasarkan ciri-ciri dari narasi di novel, tapi tak pernah ada wujud konkret. Dan justru di situlah “bahaya”nya.
Film yang mengadaptasi novel menambahkan pengalaman menonton ke dalam pengalaman membaca.
Akibatnya, segera setelah sebuah film adaptasi dirilis, akan susah bagi pembaca (yang sudah menonton filmnya) untuk membebaskan diri dari visualisasi film. Ketika dia membaca Anak Semua Bangsa (novel kedua dari tetralogi Pram), misalnya, dia akan membayangkan Minke sebagai Iqbaal, bukan Minke sebagai Minke. Secara otomatis otaknya akan memerintahnya demikian. Begitu seterusnya. Belum jika kemudian novel tersebut dicetak ulang dengan sampul poster film. Duh Gusti. Saya masih belum ikhlas jika gambaran atas Minke tertindih oleh sosok Iqbaal yang (maaf untuk para fans Dilanku 1990) jauh dari bayangan atas Minkeku 1920.
Saya tahu, seperti yang disampaikan Pram sendiri, manusia harus adil sejak dalam pikiran.
Dan saya berusaha. Saya berusaha adil pada Iqbaal yang mungkin memang bisa (dan cocok) memerankan Dilan. Meskipun saat membaca pernyataanya di salah satu wawancara bahwa dia “banyak relate dengan sosok Minke karena dua tahun sekolah di luar negeri” membuat saya ingin menjerit:
“Duh dek, kalau cuma sekolah di luar negeri dua tahun sih, suami saya juga. Sekarang malah sedang di luar negeri lagi, tapi mukanya 25% India gitu, apa trus boleh meranin Minke?”
You need to work on your reason, young man!
Atau ketika ditanya persiapannya apa, dia menjawab “Belajar bahasa Belanda, menggemukkan badan dan menumbuhkan kumis.”
Hmmm, demi minyak Firdaus, saya ingin menukas: “Adek sudah pernah baca novelnya belum ya? Sampai lengkap gitu? Mempelajari karakternya mungkin?”
Tapi saya akan terus berusaha. Termasuk berusaha merelakan bahwa adaptasi Bumi Manusia ini tidak sesuai dengan ekspektasi saya. Saya belum tahu apakah saya akan menonton filmnya nanti. Mungkin enggak. Mungkin iya. Saya belum memutuskan.
Mungkin ada yang bertanya-tanya. Kenapa sih saya segitunya dengan adaptasi novel ini? Bukankah semua film sejatinya adalah hasil dari proses adaptasi? Baik itu adaptasi dari novel, cerita rakyat, atau kehidupan itu sendiri. Saya sendiri pernah nulis itu di sini, bertahun-tahun silam. Dan sebagai sebuah karya adaptasi, dia tidak akan pernah persis sama dengan rujukan aslinya. Wajar dong tidak semua pihak bisa dipuaskan?
Mungkin saya senewen begini karena pengaruh hormon. Mungkin juga karena tetralogi Pram punya makna personal buat saya. Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca adalah 4 buku dari 24 buku yang menjadi mas kawin pernikahan saya. Saya merasa punyak “hak milik”.
“Tapi kamu kan enggak berhak, Hay, untuk memutuskan sesuai maumu begitu. Who do you think you are?”
I know. I know. Saya bukan siapa-siapa. Tidak punya hak apa-apa. Saya hanya seorang pembaca yang menuangkan perasaan ke dalam sebuah tulisan. Mungkin ini bisa membuat saya merasa lega. Mungkin besok pagi saya akan terbangun dan mendapati semuanya baik-baik saja. Mungkin Pram pun bahkan sudah merestui dari dalam kuburnya. Semuanya (masih) mungkin.
Sama mungkinnya dengan peluang bahwa tiba-tiba saja proses adaptasinya berubah. Atau diputuskan bahwa novel ini terlalu sakral untuk diadaptasi. Atau mungkin calon pemeran Minke berubah pikiran. Karena serius dek, jadi Minke itu berat. Biar yang lain saja. 🙂

Leave a Reply