Hari Jumat kemarin (1/12), sekolah anak saya, Lund International School (LIS) mengadakan Winter Fair, acara sosial tahunan untuk menyambut musim dingin, di mana pihak sekolah dan keluarga saling berkumpul untuk mengenal satu sama lain sekaligus mengumpulkan dana untuk keperluan siswa (fundraising). Event ini juga merupakan momen untuk memamerkan karya-karya siswa, pasar murah, pertunjukan seni dan tak ketinggalan pojok internasional (international corner). Yang saya sebut terakhir merupakan kesempatan bagi semua orang untuk mengenal negara-negara asal siswa yang bersekolah di LIS sekaligus sebagai medium pembelajaran bagi para siswa sendiri.

Awalnya, saya tak berminat mendaftarkan diri untuk membuat Indonesian Corner karena beberapa alasan. Pertama, saya tak membawa banyak barang dari Indonesia untuk dipamerkan (saya bahkan tidak punya bendera Indonesia di sini :D). Kedua, saya tak bisa menari daerah atau memiliki baju daerah sehingga saya tak mungkin unjuk kebolehan di panggung (duh, bahasanya 😀 ). Ketiga, anak saya adalah satu-satunya orang Indonesia di sekolahnya sehingga praktis saya tidak punya rekan yang bisa diajak berkolaborasi untuk merepresentasikan Indonesia di acara Winter Fair tersebut. Membayangkan mengurus semuanya sendirian sudah membuat saya keder duluan. Saya pun berencana untuk membuat makanan Indonesia saja lalu menjualnya sebagai bagian dari usaha penggalangan dana.

Tapi kemudian, saya justru merasa bahwa segala keterbatasan saya itu adalah kesempatan untuk menampilkan Indonesia dengan cara yang lain. Selama ini, pameran-pameran Indonesia di luar negeri selalu menitikberatkan pada eksotime dan budaya Indonesia yang ditandai dengan tari-tarian, baju-baju adat, dan destinasi wisata. Tentu saja tidak ada yang salah dengan hal itu. Kalau saja saya bisa dan saya punya, akan dengan senang hati saya pamerkan semua keanekaragaman dari 34 propinsi di Indonesia. Tapi menurut saya, Indonesia tak hanya punya hal-hal tersebut. Indonesia juga punya banyak wajah lain. Wajah-wajah yang tak kalah menariknya dengan eksotisme ala mooi indie. Lagipula representasi yang steoreotipikal cenderung membuat orang luar merasa bahwa Indonesia masih terbelakang dan jauh dari modernitas. Padahal, faktanya kan belum tentu seperti itu.

Maka, saya pun memutuskan untuk menunjukkan wajah lain Indonesia, terutama wajah kreativitas. Barangkali, hal ini juga ada hubungannya dengan riset suami saya tentang creativity scene di Asia Tenggara, yang membuat saya belakangan juga ikut bersinggungan dengan energi-energi kreatif di Indonesia. Ada beberapa hal yang kemudian saya lakukan. Pertama, saya membuat fun facts tentang Indonesia yang isinya tidak hanya informasi-informasi umum tapi juga informasi yang menggelitik dan/atau jarang diketahui. Misal, informasi bahwa banyak orang luar mengira ibukota Indonesia adalah Bali, padahal ibukota yang sebenarnya adalah Jakarta. Informasi bahwa Indonesia adalah negara penghasil coklat nomor tiga dunia dan sejenisnya. Lebih jelas tentang daftar saya itu bisa dilihat di gambar berikut:

img_7178
Fun Facts ala saya

Lalu, saya memajang karya kreatif teman-teman saya. Saya sendiri merasa beruntung memiliki teman-teman yang memiliki karya-karya hebat (dan membawa karya-karya tersebut ke Swedia) sehingga saya tidak kesulitan mencari bahan pameran. Saya memutuskan untuk memajang boneka plushie hasil karya @cemprutindiecraft, sampul laptop dan buku catatan buatan @vitarlenology, kebaya Mbok Jum dari @lemarilila, shawl rajutan @poyenghobby, dan gelang &cincin karya @henju.by.gracy.

img_7160
Pojok Indonesia di Winter Fair LIS 2017

Tak lupa, karena menurut saya sastra Indonesia juga patut diperhitungkan, saya pun memajang novel O karya Eka kurniawan, Orang-Orang Bloomington-nya Budi Darma, Supernova: Ksatria Putri dan Bintang Jatuh milik Dee Lestari, Burung-Burung Manyar karya YB Mangunwijaya, dan tak ketinggalan novel Ulid serta Kambing & Hujan karya Mas Mahfud Ikhwan. Di luar karya-karya itu, saya sertakan pula kamus Indonesia-Swedia, beberapa koleksi batik dan gantungan kunci khas Indonesia sisa oleh-oleh, pernak-pernik pemberian dari teman-teman tersayang seperti bros dan perhiasan, serta tentu saja rempah asli Indonesia yaitu cengkeh. Terakhir, saya membuat tumpeng mini (juga 15 meal set), nasi kuning lengkap dengan lauk irisan telor dadar dan abon sapi Solo yang saya bawa dari Indonesia Oktober lalu.

Di luar dugaan, pojok minimalis tersebut cukup mendapatkan perhatian dan apresiasi dari para pengunjung Winter Fair. Bahkan, kepala sekolah LIS (yang ternyata separuh Indonesia karena bapaknya adalah orang Maluku yang telah lama bermigrasi ke Belanda), merasa bahagia ada pojok Indonesia di Winter Fair tahun ini. Berdampingan dengan Prancis, Cina, Australia, India, Lebanon dan Spanyol, pojok sederhana itu didatangi banyak orang yang tertarik dengan karya-karya kreatif Indonesia. Beberapa orang bahkan ingin membeli langsung (yang tentu saja tidak bisa saya layani karena semua barang yang saya pamerkan itu adalah koleksi pribadi 😀 ), tapi saya sudah menyiapkan alamat-alamat website dan akun media sosial rekan-rekan saya lalu meminta mereka yang berminat untuk menghubungi langsung apabila ingin memesan (ceritanya jadi endorser plus makelar 😀 ). Tak sedikit juga yang bertanya lebih jauh tentang Indonesia, atau tertarik dengan kata-kata bahasa Indonesia yang diserap dari bahasa mereka. Misal, salah satu pengunjung dari Lebanon terkejut mendapati kata kamus di buku Indonesia. Ada juga pengunjung yang ingin membaca sastra Indonesia yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris (dan saya pun langsung merekomendasikan tetralogi Pramoedya Ananta Toer dan Cantik itu Luka-nya Eka Kurniawan).

Saya sadar, sebagai orang Indonesia yang tinggal di luar negeri, segala polah tingkah saya akan diidentikkan dengan negara asal. Meskipun, diam-diam saya mensyukuri wajah saya yang random dan susah diidentifikasi, sehingga kalaupun saya berlaku aeng di sini, saya tidak punya beban menjadi cerminan dari 240 juta penduduk Indonesia. Haha. Saya sendiri merasa, pandangan-pandangan yang menganggap bahwa kita harus menjaga nama baik negara ketika berada di luar itu benar tapi tidak sepenuhnya pas. Bagi saya, semua orang harus berperilaku baik dan menjadi orang baik bukan hanya demi nama baik bangsa tapi karena sudah sepantasnya setiap orang berlaku demikian. Selain itu, tidak adil jika kita mengukur karakter masyarakat suatu negara, hanya dari karakter satu-dua orang yang pernah kita temui. Segala jenis representasi, menurut saya, tidak pernah lengkap dan tidak mewakili keseluruhan fenomena. Makanya, saya tak selalu suka jika segala hal yang saya lakukan disangkutpautkan dengan keIndonesiaan saya.

Terlepas dari drama nasi kuning nyaris gosong dan waktu set up yang mepet (karena saya harus berjalan kaki sambil membawa tumpeng ke LIS 😀 ) saya bahagia bisa mewakili Indonesia dalam Winter Fair kali ini, sekaligus merombak pandangan-pandangan stereotipikal yang melihat Indonesia sekadar sebagai negara berkembang dengan segala eksotismenya. Karena jauh sebelum Game of Thrones mempopulerkan Many Faced God, saya sudah yakin bahwa Indonesia tak hanya punya satu wajah saja 🙂 .

5 responses

  1. Cara yang belum pernah saya pikirkan. Unik. Menarik. Dan ceritanya menginspirasi..

    1. Terima kasih banyak. Senang bisa menginspirasi 🙏🏼😊

  2. Gak bisa di share di facebook mba tulisannya?

    1. Uda tak link di Facebook kok Put, ada di timeline-ku 😊

  3. […] Indonesian corner for winter fair in Lund International School. My short story was published in Media Indonesia. Visited Gothenburg, […]

Leave a reply to Year End Note – Hayu Hamemayu Cancel reply

The author

Hayu Hamemayu is a word bender, whose work has appeared in The Conversation Indonesia, The Jakarta Post, Media Indonesia, Kompas, Majalah Kartini, Indonesia Travel Magazine, and The Newbie Guide to Sweden among others.

A WordPress.com Website.