Tak banyak orang (mungkin) yang mau bekerja sukarela (volunteering). Selain karena persoalan waktu, soal balasan/imbalan/upah/kontraprestasi juga sering menjadi pertimbangan tersendiri. Sebenarnya, bekerja sukarela sudah lama menjadi bagian dari masyarakat Indonesia. Hal ini tampak dalam kegiatan-kegiatan sosial seperti kerja bakti, gotong royong, dan sebagainya. Namun, seiring dengan semakin sibuknya kehidupan modern, maka lebih mudah bagi masyarakat sekarang untuk membayar orang melakukan suatu pekerjaan daripada terlibat dalam pekerjaan tersebut. Misal dengan membayar hansip untuk menjaga lingkungan tempat tinggal daripada menjalankan metode sisklamling bergilir. Tentu saja tidak ada yang salah dengan hal itu. Barangkali memang seperti itulah mekanisme yang lebih pas untuk kehidupan masyarakat Indonesia jaman now.
Tapi, tidak begitu dengan di Swedia. Volunteering di sini, adalah hal yang jamak. Kegiatan sekolah, dari mulai hal-hal teknis seperti memasang gantungan baju overall hingga mengelola pameran, sering melibatkan peran orang tua. Begitu juga dengan kegiatan kommun (semacam lingkungan kelurahan/kotamadya) yang dilaksanakan dengan partisipasi aktif dari masyarakatnya. Tentu saja tak ada paksaan. Mau ikut ayo. Tidak ikut ya boleh-boleh saja. Namanya juga sukarela.Namun, pola pikir di sini mempercayai bahwa volunteering merupakan bagian dari good will sekaligus efektivitas. Melakukan pekerjaan sukarela menunjukkan bahwa seseorang memiliki kepedulian. Sekaligus, dengan menggunakan bantuan dari para volunteer, pengeluaran dapat dihemat dan uangnya bisa dialokasikan untuk hal lain yang lebih penting. Sudah menjadi rahasia umum bahwa biaya yang harus dikeluarkan untuk mempekerjakan seseorang di Swedia sangatlah tinggi, sehingga volunteering merupakan solusi yang cukup efektif. Terutama untuk hal-hal yang tidak membutuhkan kualifikasi dan/atau kompetensi khusus.
Hal ini sebenarnya juga terindikasikan saat Anda mengunjungi IKEA, terutama bagian restorannya. Di restoran ini, seperti yang mungkin sudah Anda ketahui, Anda diminta untuk merapikan peralatan makan Anda sendiri dan menaruhnya di rak yang sudah disediakan. Kebiasaan ini sebenarnya merupakan bagian dari usaha untuk menghemat pengeluaran (dengan tidak menambah pekerjaan pelayan restoran) sekaligus soal efektivitas waktu.

Bagi saya sendiri, bekerja sukarela adalah salah satu cara saya untuk memanfaatkan keleluasaan waktu. Sejak memilih menekuni profesi menulis, praktis saya punya lebih banyak waktu daripada sebelumnya. Tenggat yang fleksibel (kadang-kadang), juga tuntutan yang tidak seberat pekerjaan penuh waktu membuat saya bisa mengikuti kegiatan ini-itu di Lund. Selain itu, saya juga merasa, bekerja sukarela memberi saya pengalaman-pengalaman baru, teman-teman baru, serta peluang-peluang baru yang bermanfaat bagi profesi saya sekarang, juga kedepannya nanti.
Maka sekitar setahun terakhir ini, saya aktif di tiga aktivitas sukarela di Lund. Pertama, saya aktif di perpustakaan sekolah anak saya.
Kedua, saya bergabung dengan grup turisme Lund.
Dan belakangan, saya juga menjadi penulis blog sukarela (volunteer blogger) di satu website yang berbasis di Stockholm dan ditujukan untuk para pendatang baru di Swedia (tulisan pertama saya bisa dibaca di sini).
Ketiga hal tersebut menjadi pengisi waktu (sekaligus distraksi positif) saya selain menulis dan mengerjakan pekerjaan rumah sehari-hari. Saya memang tidak mendapatkan imbalan dari kegiatan-kegiatan tersebut, tapi obrolan hangat di sela-sela fika setiap Kamis pagi, aktivitas “berburu” foto di sudut-sudut Lund, “pelajaran” bahasa Swedia di grup FB, serta kesempatan untuk membagi kisah saya dengan pembaca yang lebih luas, ternyata sudah cukup memperkaya batin saya.
Leave a Reply