
Ini kali kedua saya menjalani puasa bukan di Indonesia. Kali pertama adalah periode 2011-2012 silam, saat saya menempuh studi di pesisir barat Australia. Ber-Ramadan bukan di kampung halaman sebenarnya bukan hal baru buat saya. Maklum, sejak SMA, saya sudah tinggal terpisah dengan orang tua (waktu itu saya ikut bulik di Jogja sementara orang tua saya di Wonosari), jadi tidak setiap hari di bulan suci saya bisa menjalaninya di rumah orang tua. Begitu juga ketika sudah menikah, saya lebih banyak berpuasa di rumah sendiri. Paling-paling saya pulang di awal Ramadan atau di akhir Ramadan. Tergantung Lebarannya mau di rumah orang tua saya atau di rumah mertua.
Namun, ini kali pertama saya berpuasa selama hampir 20 jam setiap harinya. Sewaktu di Perth dulu, saya beruntung karena bulan puasa jatuh di musim dingin ketika matahari tenggelam lebih cepat. Sehingga, saya hanya berpuasa selama sekitar 10 jam dalam sehari: Subuh pukul 06.00 pagi dan Maghrib pukul 16.00. Sementara sekarang, Ramadan di Swedia jatuh di akhir musim semi dan awal musim panas. Di waktu-waktu ini, matahari terbit lebih cepat dan tenggelam lebih lama. Jadilah saya puasa sekitar 19-19,5 jam setiap hari. Berat memang. Terutama dalam mengatur waktu antara buka, tidur dan sahur. Jeda yang terlalu pendek (waktu untuk buka puasa pukul 10.45 dan waktu subuh pukul 2.30) membuat perut belum mau diisi saat jam sahur tiba. Sementara kalau tidak sahur, wah bisa lemas seharian, haha.
Beruntung, ada si dia, yang sudah menjalani puasa di Swedia lebih dulu jadi bisa berbagi tips and tricks :P. Beruntung juga saya sempat membayar hutang puasa tahun lalu di sini sehingga tubuh saya sudah melakukan “adaptasi” dan “pemanasan” terlebih dahulu. Sampai hari ini alhamdulillah kami masih diberi kuat. Lemas iya, otak seperti melambat juga iya (atau itu lebih karena umur ya? :D), tapi sejauh ini tidak ada masalah. Doping menjadi hal yang rutin dilakukan: vitamin, kurma, madu, buah, dan seterusnya. Selebihnya, dijalani dengan iklhas, dibikin enjoy. Beribadah itu (menurut saya) semestinya menyenangkan, menentramkan, bukan menyiksa diri apalagi melukai orang lain.
Terkait soal waktu puasa yang cukup lama, saya mendengar ada beberapa dalil yang membolehkan mengikuti puasa sesuai waktu di Makkah atau di negara asal (dalam hal ini Indonesia). Tapi jujur saya tidak tahu benar dan tidaknya. Ilmu saya belum cukup untuk membahas hal itu. Tapi ada satu hadist yang mengatakan, “Kebaikan adalah apa yang membuat hati tenang.” Dan sejauh ini, yang membuat hati saya tenang adalah berpuasa dengan mengikuti terbit dan tenggelamnya matahari di sini (duh, malah kayak lagunya Raisa 😀 )
Ibu saya pernah bilang, “kalau sudah niat ya harus konsekuen”. Saya sudah berniat puasa di sini, maka saya harus siap menjalani segala konsekuensinya. Lagipula, saya seharusnya bersyukur karena bagaimanapun puasa tahun lalu lebih parah karena pas di puncak musim panas sehingga lebih dari 20 jam. Juga puasa di Swedia tetap lebih pendek waktunya daripada di Norwegia atau Islandia yang bisa tembus 22 jam.
Di manapun puasanya, berapapun lama waktunya, semoga Ramadan tahun ini membawa berkah bagi kita semua dan semesta alam. Di antara serangkaian doa yang kita panjatkan di bulan suci ini, jangan lupa menyelipkan doa untuk dunia (yang semakin hari semakin membuat miris saja). Mari meminta kedamaian dan kejernihan pikiran, agar bumi manusia senantiasa terpelihara, sekarang dan untuk seterusnya. 🙏🏼🙏🏼
Leave a Reply