Hidup seringkali membawa kita pada pilihan-pilihan yang sulit. Satu pilihan yang memaksa kita untuk membuat keputusan yang tidakΒ hanya tidak mengenakkan, tapi juga tidak populis atau bahkan mengherankan.
Entah sudah seberapa sering hidup membawa saya pada keputusan-keputusan seperti itu. Setidaknya ada beberapa keputusan, yang saya ingat sempat menimbulkan gejolak, tidak hanya dalam batin saya tapi juga dalam lingkungan sosial dan keluarga. Pertama, ketika saya memutuskan untuk mengambil jurusan IPS (Sosial) ketika SMA. Satu jurusan yang kerap dianggap sebelah mata hanya karena ia tidak mempelajariΒ Kimia dan Fisika. Banyak yang mempertanyakan. Tak sedikit yang meragukan. Tapi saya yakin saya telah membuat keputusan yang benar dengan mengikuti kataΒ hati saya. Kedua, memutuskan untuk menikah di usia yang relatif muda (saya belum genap 23 tahun waktu itu). Ketika saya baru saja lulus dan bekerja satu tahun di almamater, kemudian justru mengundurkan diri dariΒ salah satu kampus yang paling diinginkan di Indonesia tersebut.
Sejak itu, entah sudah berapa desahan dan gelengan kepalaΒ yang mengiringi keputusan-keputusan yang saya buat. Di keluarga, barangkali saya sudah dikenal dengan sebutan “dia yang pikirannya tak bisa ditebak” Β :D.
Dan yang terbaru adalah keputusan untuk meninggalkan karir saya sebagai dosen di Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), dan pindah ke Lund, Swedia, 14.000km lebih dari kampung halaman saya, untuk mendampingi suami yang sedang menempuh studi doktoral di Lund University.
Hari-hari menjelang keputusan adalah perang batin dalam diri saya. Di satu sisi, ada keengganan meninggalkan karir yang sedang bagus-bagusnya. Bagaimanapun, selama tiga tahun berkarya di UAJY, saya mendapatkan ruang ekspresi yang selama ini saya cari. Saya berhasil mewujudkan impian bahwa bekerja itu tidak hanya soal penghidupan tapi juga kehidupan. Karir akademik saya juga tercatat baik. Saya diangkat tetap dalam waktu satu tahun lebih sedikit. Disahkan pangkat Asisten Ahlinya (salah satu kepangkatan dalam karir akademik dosen) oleh negara dalam kurun waktu dua tahun. Lalu hampir masuk dalam daftarΒ sertifikasi dosen kalau saja saya tidak mengundurkan diri. Haha. Selain itu, menjadi perempuan terdidik yang tidak memiliki profesi sering membawa beban tersendiri. Pandangan-pandangan kasihan. Serta komentar: “Sayang ya ijasah S2nya” atau “Trus nanti mau ngapain, masak nganggur doang?” sempat melambatkan langkah saya. Seolah menjadi ibu rumah tangga saja tidak cukup, padahal bukankah itu sebaik-baiknya profesi?
Tapi di sisi lain, Β ada suami yang membutuhkan saya dan merindukan anaknya. Lalu ada anak yang membutuhkan kehadiran ayahnya. Saya merasa jahat kalau terus-terusan menjadi penghalang di antara mereka.
Saya bukannya tak mengusahakan hal lain, mencari sekolah misalnya, karena dengan saya bersekolah, saya bisa menemani suami tanpa perlu mengundurkan diri. Tapi rupanya, Tuhan lagi-lagi menginginkan saya memilih. Saya tak diperbolehkan menggenggam keduanya. Mungkin agar saya tak rakus. Maka terhitung adaΒ lima aplikasi doktoral saya di berbagai kampus di Swedia, Denmark, dan Norwegia yang ditolak.
Tentu saja saya sedih. Sering saya menangis frustasi. Lalu suatu hari,Β Bapak saya bilang, hidup adalah soal mencari ketentraman batin. Kalau keadaan yang saya alami atau hal yang sayaΒ lakukan tidak lagi menentramkan batin saya, maka ada yang salah dengan keadaan/hal itu. Maka bismillah, berbekal restu dari orang tua, juga dukungan dari sahabat-sahabat terbaik saya, saya pun berangkat ke Lund, tanpa status mahasiswa S3. Tanpa rencana di kepala mau melakukan apa selama di sini (selain makan, tidur dan jalan-jalan tentunya, hahaha).
Suami saya bukan tidak mengalami perang batin juga. Saya tahu dia enggan menghalangi karir saya meski menginginkan saya ada di dekatnya. Beberapa kali dia berujar, apa dia sudahi saja program doktoralnya itu. Satu hal yang saya bantah mati-matian karena kesempatan seperti ini tidak datang dua kali. Nyatanya saya yang sudah mencoba berulang kali saja masih belum berhasil (kalau tidak mau menyebutnya gagal, hehe). Kami terus mencari solusi bersama-sama. Kami diskusi berulang-ulang. Hingga sampai di satu titik bahwa yang paling baik bagi kami adalah bersama, bagaimanapun keadaannya.
Delapan bulan lalu, saat suami saya berangkat, saya menjanjikan satu hal: saya akan menyusulnya, one way or another, dengan atau tanpa sekolah S3. Saya ingin memenuhi janji itu. Dan lebih dari itu, saya pun ingin bahagia. Saya ingin mendapatkan ketentraman batin saya. Dan tidak ada yang lebih menentramkan batin saya selain bersama orang-orang yang saya sayangi. MakaΒ di sinilah saya sekarang. Di kota kecil di bagian selatan Swedia. Satu kota yang lebih dekat ke DenmarkΒ dari pada ke ibu kota Stockholm :D. Di Lund.
Apakah ini keputusan yang terbaik, saya yakin iya. Apakah ini keputusan yang tepat, saya belum tahu, biarlah waktu yang kemudian membuktikannya, seperti yang sudah-sudah.
Postingan ini bukan klarifikasi. Bukan pula pembenaran yang dicari-cari. Saya menuliskan ini sekedar sebagai refleksi pribadi. Agar saya ingat, lima atau sepuluh tahun dari sekarang, saya pernah berada di sebuah persimpangan, dan saya tahu, saya memilih jalan yang menentramkan batin saya.
Jalan tak pernah berdusta, apakah ia harus membujur ke selatan atau utara
Apakah ia harus berkelok atau lurus saja
Apakah ia siap menerimamu berjalan pelahan menyusurinya
Ia mungkin akan mengajakmu bercakap tentang cuaca, tentang debu, tentang sepasang sepatu yang kau kenakan, tentang matahari.
Jalan tak pernah diberitahu dimana akhirnya
Tak pernah diajar merencanakan arah selanjutnya
Ia hanya boleh rebah, begitu saja, dan menjadi sahabatmu. (Sapardi Djoko Damono)
Leave a Reply