Jangan Menulis di Majalah Kartini

Keinginan untuk menuliskan hal ini sebenarnya sudah ada sejak lama. Sengaja saya tunda-tunda dengan beberapa pertimbangan. Salah satunya adalah menunggu itikad baik dari salah satu majalah wanita paling tersohor di Indonesia itu.

Tapi setelah menunggu tiga tahun lebih (iya tiga tahun, Anda tidak salah baca 🙂 ), dan tak kunjung ada respon ataupun tindak lanjut dari pihak mereka, saya rasa saya tak perlu menunda-nunda lagi.

Jadi ceritanya, tahun 2017 silam, saya mengirim cerita pendek (cerpen) saya yang berjudul “Usai Kopi Ketiga Puluh” ke Majalah Kartini. Pihak redaksi membalas email saya dan menyampaikan bahwa cerpen saya akan dimuat tapi meminta ending-nya diubah sedikit. Saya menuruti permintaan tersebut dan jadilah cerpen saya dimuat di Majalah Kartini Edisi 2446 yang terbit awal April 2017.

Setahun kemudian, di bulan April juga, cerpen saya yang lain, “Salju Turun Sedikit Terlambat”, kembali dimuat di Majalah Kartini Edisi 2471. Lalu di bulan November 2018, giliran cerita bersambung (cerber) saya “Klub LDR” yang dimuat di Majalah Kartini (empat edisi berturut-turut).

Sayangnya, dari tiga karya tersebut, tidak satupun yang sudah dibayarkan honornya sampai sekarang.

Saya belum menerima honor sepeserpun dari Majalah Kartini untuk karya-karya saya yang sudah dimuat. Beberapa kali saya menanyakan hal ini ke pihak redaksi, yang tentu saja kurang tahu menahu soal keuangan, tapi tetap tidak ada kelanjutan. Komunikasi saya dengan pihak redaksi sebenarnya cukup baik, tapi mereka tidak mau memberikan kontak pihak keuangan semisal email atau nomor telepon. Saya berusaha mengontak ke semua akun media sosial Majalah Kartini, bahkan berkali-kali meminta bagian redaksi memforward email berisi invoice dari saya (yang menurut pengakuan pihak redaksi sudah dilakukan). Tapi hasilnya nihil.

Sementara tulisan-tulisan saya yang lain, yang dimuat di media-media lain, sudah dibayarkan honornya maksimal sebulan setelah tanggal penerbitan.

Rupa-rupanya saya tidak sendirian. Salah seorang penulis yang cerpennya juga dimuat di Majalah Kartini tapi belum menerima honor, menghubungi saya melalui Instagram. Dia mengeluhkan ketidakprofesionalan bagian keuangan Majalah Kartini dan bertanya apakah saya juga bernasib sama, yang tentu saja saya balas “iya” 😀 .

Salah seorang kawan pernah bercerita bahwa media semacam ini perlu ditelpon langsung untuk menagih honor. Tapi dengan situasi saya yang saat ini sedang tidak tinggal di Indonesia, opsi ini tidak bisa serta merta saya pilih. Plus, saya sendiri sudah meminta nomor kontak bagian keuangan ke bagian redaksi tapi mereka tidak memberikan dengan alasan tidak punya “kewenangan masalah honor”. Jadi saya benar-benar tidak tahu lagi bagaimana cara menagih apa yang menjadi hak saya.

Sehingga saya memutuskan untuk menuliskan unggahan ini. Dengan menulis begini minimal saya punya penyaluran emosi yang sehat 🙂 .

Bagi saya, ini bukan soal jumlah uang, tapi soal komitmen, soal menjawab apa yang menjadi hak penulis. Apalagi di Majalah Kartini jelas-jelas ditulis di halaman daftar isi, bahwa akan ada honor untuk setiap cerpen dan/atau cerber yang dimuat.

Kebahagiaan seorang penulis memang adalah ketika karyanya dibaca. Tapi itu bukan berarti dia bisa diperlakukan dengan semena-mena. Seharusnya, semua pekerja, termasuk penulis lepas macam saya ini, tetap dijawab hak-haknya. Dari kaca mata apapun: keadilan, hukum, hingga agama, sudah seharusnya setiap pekerja mendapatkan honor atas apa yang sudah dikerjakan. Bahkan kalau perlu, sebelum keringatnya kering, tanpa perlu bertanya apalagi mengiba-iba atas apa yang sudah jadi haknya.

Jadi, jangan menulis di Majalah Kartini. Kalau tidak ingin berakhir kecewa, seperti saya.

Salam,

Hayu Hamemayu

Advertisement

12 responses to “Jangan Menulis di Majalah Kartini”

  1. Setahuku sekarang majalahnya sudah tutup Mbak.. kalau ga salah yah. Haduh parah banget tapi sampai bertahun-tahun tidak bayar honor 😦

    1. Oh ya? Wah, pantesan sudah lama ga aktif di media sosial, tapi seharusnya ya dituntasin ya hutangnya meskipun sudah tutup 😅

  2. waduh.. turut prihatin mendengarnya.. walau akhirnya hanyas bisa “ikhlas”, sih.. semoga ada pengganti yang lebih..

    1. Hehehe, iya, aamiin, tengkyuh Zam 🙏🏼

  3. Iya Mbak, keliatannya udah lama mereka tutup deh. Tapi ya gitu enggak ada informasi atau kabar apapun, tau-tau hilang dari pasaran. Tapi media sosialnya masih aktif sih itu keliatannya yang FB.

    1. Memang sangat tidak profesional ya mereka. Sayang sekali padahal dulu pernah punya reputasi

  4. Wah… pembayaran honor kok bisa gitu ya. Batu tahu ada kasus seperti ini…

    1. Hehe, saya juga kaget awalnya. Selama ini kalau nulis di media lain tidak pernah seperti ini, selalu profesional 😊

  5. Saya lama bekerja di media. Semula di bagian redaksi, kemudian pindah ke deviasi usaha. Saya bekerja di sebuah surat kabar harian yang terbit di Sumatera. Koran saya terbilang surat kabar terbesar di wilayah Sumatera antara tahun 2005-2015. Ketika itu semuanya berjalan lancar. Bukan saja gaji kami yang tiga kali lebih besar dari gaji PNS. Segala honor menghonor semua beres.
    Tetapi, memasuki tahun 2016, pelan tapi pasti, kinerja keuangan koran kami menunjukkan grafik menurun. Segala upaya terus dilakukan, tetapi tidak membawa hasil. Malah semakin terjun bebas. Tahun 2020 sekitar 50% karyawan dirumahkan. Iklan turun. Penjualan koran terus turun.
    Sebelum segalanya semakin memburuk saya bersama beberapa rekan memilih resign.
    Saya menceritakan ini semata-mata hanya untuk mengingatkan teman-teman pengarang atau penulis yang honorariumnya belum dibayar atau pada akhirnya tidak dibayar karena medianya sudah tutup, agar mengikhlaskan saja. Ini bukan persoalan profesional atau tidak, tapi ini persoalan keuangan yang betul-betul sudah tidak dapat mampu lagi.
    Secara teoritis, sebuah perusahaan sebesar majalah Kartini tentu dengan mudah bisa menyelesaikan masalah keuangan yang tidak seberapa itu. Taruhlah misalnya mereka nunggak sekitar 100 atau 200 juta, itu pasti bisa diselesaikan karena aset mereka pasti besar.
    Tetapi persoalannya tidak sesederhana itu … Rumit dan berbelit-belit. Posisi saya ketika masih bekerja di koran saya itu cukup mentereng, salah seorang direktur, tetapi “kekuasaan” saya yang besar itu tidak bisa menyelesaikan persoalan receh seperti yang dihadapi teman kita ini.
    Salam kreatif. Teruslah berkarya …

    1. Halo Mas, terima kasih info dan supportnya, saya insyaAllah sudah ikhlas kok, waktu itu saya kecewa karena seandainya saja mereka menyampaikan permasalahan yang dihadapi menurut saya itu lebih fair, tapi sekarang saya sudah ga mikir lagi malahan Mas, hehe

  6. Turut prihatin ya mbak atas musibah yang terjadi.
    Saya sengaja searching di Google dengan keyword “Majalah Kartini” ternyata salah satunya ada wordpress mbak yang menuliskan soal keluhan ini.
    Setahu saya Trinaya Media (yang menaungi Majalah Kartini) ternyata punya masalah keuangan dan terlibat wanprestasi. Mereka berhutang ke PT. Temprint hingga ratusan juta rupiah.
    Untuk lebih lengkapnya bisa klik tautan ini: https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/download_file/11ea53f805680a00b00e323234353239/zip/870b8a73d2dadd08b54e2054056ba8d4
    Tetap semangat dan jangan berhenti berkarya ya mbak!

    1. Halo Mas, terima kasih supportnya, saya sudah lupa kok Mas malahan, hahahaha, sudah lama kejadiannya, dan insyaAllah sudah mengikhlaskan 🙂

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

A WordPress.com Website.

%d bloggers like this: