*Salah satu cerpen dalam buku kumpulan cerpen Siklus Cinta (2016) karya saya dan Tietha Birgitta. Bagi yang berminat, kumpulan cerpen ini bisa dibeli di Poyeng Hobby di Jogja dan Tobucil di Bandung.

Perempuan dalam kotak suara memberikan pengumuman dalam bahasa Jepang yang hanya bisa kupahami sepatah-patah. Meski sudah tiga bulan aku di sini, kemampuan bahasa Jepangku masih sangat pas-pasan, kalau tidak mau menyebutnya parah. Aku masih saja lebih sering menggunakan Bahasa Inggris yang memang jauh lebih kukuasai. Bahkan di tempat kerja pun. Aku mencampuradukkan bahasa Jepang dan Inggris sesukaku.
Tapi anehnya, tidak ada kendala berarti yang kualami di sini. Tidak di kantor. Tidak juga di lingkungan tempatku tinggal. Aku dan orang Jepang di sini berkomunikasi dengan baik-baik saja. Pada akhirnya, kupikir bahasa hanyalah sebatas alat. Pemahaman manusia jauh melampaui itu semua. Buktinya, aku masih bisa bertahan di Osaka dengan berbekal pengetahuan standar seperti “arigato”, “sumimasen” dan kata-kata sederhana lainnya.
Setengah menggigil, kurapatkan jaket berwarna pink yang tengah kukenakan. Stasiun-stasiun kereta bawah tanah di Osaka bisa jadi sangat berangin menjelang musim dingin seperti ini. Di dalam kereta terasa sangat nyaman karena semua tempat duduk dilengkapi penghangat. Tapi di peron, dinginnya bisa menusuk hingga tulang. Apalagi kalau berdiri di dekat lorong stasiun. Persis seperti yang sekarang ini kulakukan.
Tapi aku punya alasan khusus kenapa memilih menunggu di dekat lorong meski harus menahan dingin seperti ini.
Karena hanya dengan berdiri seperti inilah aku bisa selalu melihat laki-laki itu. Laki-laki yang sudah kutemui sejak pertama kali aku berangkat kerja dari Stasiun Dobutsuen-Mae ini. Laki-laki yang tidak sengaja bertubrukan denganku saat aku kebingungan mencari jalur kereta di hari-hari awalku di sini. Laki-laki yang membantuku merapikan berkas-berkas yang berserakan gara-gara bertubrukan dengannya. Waktu itu, komunikasi kami hanya sebatas senyum maklum darinya dan aku yang mengulang-ngulang kata “sorry” dan “thank you”. Aku tidak pernah mengira bahwa sejak hari itu, laki-laki ini akan selalu “ada” dalam keseharianku di Osaka.
Leave a Reply