*Dimuat di Majalah Kartini Edisi November 2018 – Januari 2019
Kulangkahkan kaki memasuki Simply Coffee dengan lesu. Aku sempat berpikir untuk tidak datang di pertemuan hari ini. Tapi pasti perasaanku akan jadi lebih buruk kalau aku tidak datang. Bagaimanapun, klub ini adalah salah satu fondasi kekuatanku menjalani LDR.
“Hai Nes, gimana kabarnya Yan?” tanya Rum saat aku baru saja duduk di sudut langganan kami.
Aku tak langsung menanggapi. Baru Rum yang datang siang itu. Tik, Bu Kas dan Mbak Im belum terlihat batang hidungnya. Di luar sedang hujan lebat. Mungkin mereka terjebak macet.
“Baik … mungkin,” jawabku akhirnya dengan ekspresi tak yakin.
Rum langsung menyadari mendung di wajahku.
“Wow, jangan bilang kalian sedang bertengkar. Kok bisa? Apa masalahnya?” goda Rum sambil menyondongkan badan ke arahku, menunggu cerita lengkap.
Aku hanya mendesah. Sudah beberapa minggu ini memang LDRku dan Yan bermasalah. Berawal dari jadwal telepon yang menyita waktu dan tenaga. Kerjaku yang jadi berantakan. Yan yang seperti asyik dengan kehidupan barunya. Dua Sabtu terakhir ini saja, dia menerima panggilan video saat sedang jalan-jalan ke luar kota. Sementara aku di sini, tenggelam dalam rutin yang begitu-begitu saja. Hidup Yan bergerak maju ke depan, penuh hal-hal baru. Sedangkan hidupku terjebak dalam kubangan yang sama dan setiap sudut kota seperti menyiksaku dengan kenangan bersama Yan.
Belum soal Ann. Meski aku sudah meminta, Yan tak bisa benar-benar menjaga jaraknya. Pernah suatu ketika aku menelponnya di siang hari karena sedang tak enak badan. Dan aku bisa mendengar suara Ann menggoda Yan dari kejauhan. Wajar sih, karena di jam itu Yan sudah berada di kantor dan mereka satu ruangan jadi Ann pasti tahu kalau Yan sedang menerima telpon. Tapi tetap saja. Suara Ann hanya membuatku makin meriang.
“Kenapa sih kamu enggak pulang saja summer nanti,” rajukku saat itu.
“Kan aku sudah bilang aku ada summer course,” jawab Yan sabar.
“Iya, tapi masak kamu enggak bisa ijin? Atau menunda ikut tahun depan? Atau apapun. Swedia kan negara sosialis. Kamu berhak cuti kalau memang kamu mau. Jangan-jangan kamu saja yang enggak mau pulang,” tembakku asal.
“Nes, aku benar-benar enggak bisa ngomongin itu sekarang. Aku lagi kerja, Nes. Please,” kata Yan.
Dan kalimat itu membuatku murka. Langsung kuputus panggilan teleponku dan kubanting ponselku ke atas kasur. Aku benar-benar merasa bukan lagi bagian dari prioritas Yan. Terus kenapa kalau dia lagi kerja? Apa aku tidak lagi punya hak untuk menghubunginya kapanpun aku mau? Apa Yan bahkan tak peduli kalau aku sedang tak enak badan? Aku mengamuk dalam hati.
Yan mengirim pesan agar aku beristirahat dan bahwa dia akan menelponku lagi malam harinya. Tak kubalas. Aku juga tak mengangkat teleponnya. Tidak malam itu. Tidak juga hari-hari setelahnya. Aku ingin Yan tahu bahwa dia sudah bersikap tidak adil padaku. Dan aku ingin dia merasakan yang aku rasakan.
“Entahlah Rum. Aku bingung,” jawabku setelah terdiam lama.
Leave a Reply