*Dimuat di Majalah Kartini Edisi November 2018 – Januari 2019
Prolog
Simply Coffee hari ini tak terlalu ramai. Aku duduk di salah satu sudut dan sedang mengecek pesan di grup WhatsApp, saat barista datang membawa pesananku. Kulirik sekilas tanda nama di dada kirinya: “Bas”. Sudah jadi kebiasaanku memang untuk selalu mencari tahu siapa orang yang akan atau sedang kuajak bicara. Bagian dari pekerjaanku sebagai communication manager mungkin.
“Makasih, Bas,” ucapku padanya.
Dia tampak terkejut.
“Benar Bas, kan?” ujarku sambil menunjuk tanda namanya.
“Oh iya, sorry. Aku cuma kaget karena enggak biasanya disapa dengan nama,” jawabnya.
“Hahaha. Kayaknya itu tujuan pakai tanda nama deh, supaya orang tahu namamu,” kataku.
“Mungkin. Cuma enggak semua orang cukup peduli untuk memperhatikan,” dalihnya.
“Enjoy your coffee,” tambahnya sambil tersenyum sebelum berlalu.
Aku balas tersenyum dan kembali ke kesibukanku mengecek grup WhatsApp. Hari ini adalah pertemuan pertama Klub LDR, sebuah klub yang berisi sekelompok orang bernasib sama: mau tak mau, suka tak suka, harus-wajib-kudu menjalani LDR alias Long Distance RelationSHIT! Sorry, maksudku, RelationSHIP!
Anggotanya ada lima yaitu aku sendiri, Nes, pendiri sekaligus ketua klub yang ditinggal pacarnya kuliah lagi di Eropa utara; Tik, enterpreneur muda yang suaminya bekerja di Kapal Pesiar; Rum, bankir kece yang pacarnya kerja di pertambangan; Bu Kas, anggota paling senior, ibu rumah tangga yang suaminya mengelola bisnis di Dubai; dan Mbak Im, asisten rumah tangga yang bekerja di rumah bu Kas dan meninggalkan suaminya di kampung halaman bersama anak-anaknya.
Klub ini terbentuk gara-gara aku menulis pengalaman LDRku di blog yang kemudian rajin dikunjungi dan dikomentari oleh mereka, kecuali mbak Im yang ikut bergabung karena ajakan Bu Kas. Setelah sering bertukar komentar dan saling tahu bahwa ternyata kami tinggal di kota yang sama, tercetus ide untuk membuat klub. Sebuah klub yang punya agenda rutin bertemu sebulan sekali setiap akhir minggu kedua. Macam arisan sosialita di kota-kota besar itulah. Dengan bertemu langsung, kami bisa sharing, ngobrol, curhat, bercanda, dan saling menghibur secara intens. Sehingga LDR kami akan terasa lebih tertanggungkan. Minimal kami punya support group untuk sekadar berkeluh kesah. Karena menurut kami, tidak ada yang lebih memahami LDR selain orang yang sedang atau pernah menjalaninya.
Ngomong-ngomong, LDR kali ini bukanlah yang pertama buatku. Dalam dunia percintaan sepertinya aku memang kena kutuk: harus selalu menjalani LDR. Bagaimana enggak? Ini adalah LDR kelimaku dalam dua belas tahun. Iya. Kelima. Gila, kan?
Leave a Reply