*dimuat di Media Indonesia, 3 Desember 2017

“Hhhh hhhh hhhh,” aku berlari terengah-engah menuju tempat pemberhentian bus. Dan saat itulah lagi-lagi aku melihat dia. Dia yang selalu tersenyum setiap kali mata kami bertemu. Dia yang selalu menyapa “hej hej [1]” setiap pagi saat aku terburu-buru mengejar bus dan melewati kiosnya. Begitu terus setiap hari. Tak peduli aku balas tersenyum atau tidak. Tak peduli aku membalas sapaannya atau tidak. Awalnya aku risih. Aku tak merasa mengenalnya. Tapi lama-lama aku terbiasa. Dan sekarang senyum dan sapaannya sudah menjadi bagian dari keseharianku.
Dialah salah satu dari dua penjual bunga yang ada di Clemenstorget. Kiosnya berada lebih dekat dengan jalan raya. Karena itu jadi lebih sering kulewati daripada kios yang satunya. Aku tak pernah tahu siapa namanya atau kapan dan dari mana dia datang. Setiap kali aku melewati area itu untuk berangkat kerja, dia sudah duduk manis di belakang puluhan ember berisi bunga-bunga segar. Kadang mawar. Kadang lili. Kadang tulip. Tergantung musim. Dia juga masih duduk di situ ketika aku pulang. Kadang bunga yang dijualnya tak banyak bersisa. Kadang ember-ember berisi bunga itu tampak tak mengalami banyak perubahan. Dia tetap berjualan ketika salju atau hujan turun. Juga ketika angin bertiup kencang mengacak-acak tenda kiosnya. Dia tetap duduk di sana. Tersenyum manis dan menyapa “hej hej.”
Menurutku dia sudah berjualan di Clemenstorget sejak lama. Minimal dia sudah ada di sini saat aku pindah enam bulan lalu. Kalau dilihat dari perawakan dan penampilannya yang khas (dia selalu mengenakan tutup kepala warna biru), aku menebak dia orang Roma, yang memang cukup banyak jumlahnya di sini. Aku sendiri belum pernah membeli bunga darinya. Aku tak merasa perlu menaruh bunga di apartemenku. Demi apa? Aku toh bukan penggemar bunga juga. Membeli bunga tidak pernah menjadi prioritasku.
Ketidaksukaanku pada bunga barangkali sedikit banyak dipengaruhi oleh karakter dasarku yang tidak hangat. Selama ini aku memang dikenal sebagai “si dingin”. Aku tak mudah bergaul. Cenderung penyendiri. Sinis pada banyak hal. Aku juga tak pandai mengekspresikan perasaan. “Your face needs deliverance,” kata seorang rekan padaku suatu ketika. Aku bukan tipe orang yang murah senyum. Apalagi ramah dan suka menyapa. Sama sekali tidak seperti si penjual bunga itu.
Leave a Reply