Menyuruh Anak ke Warung

Bagi sebagian orang tua, menyuruh anak membeli sesuatu di warung mungkin hanyalah perkara sepele. Hanya soal permintaan tolong sederhana yang tidak perlu dibesar-besarkan. Apa sih istimewanya mengirim anak berbelanja?

Tapi buat saya, menyuruh anak ke warung adalah momen serius yang terkait banyak hal. Tidak hanya soal memberi kepercayaan, tapi juga soal kemandirian, rasa percaya diri hingga melatih keberanian. Dan bukan hanya untuk si anak. Tapi juga untuk saya sendiri, sebagai ibu.

Momen menyuruh anak ke warung ini baru saja saya alami akhir pekan kemarin. Saat saya meminta anak sulung saya membeli roti dan susu di toko dekat rumah. Sudah lama memang saya berencana melakukan hal ini. Selain untuk melatih anak saya, juga untuk melatih saya melepas anak pergi sendiri. Sebenarnya sudah beberapa kali anak saya pergi tanpa saya atau Ayahnya. Tapi selalu dalam rombongan. Entah itu teman sekolah, anggota keluarga besar, atau tim sepak bola. Belum pernah dia pergi melakukan sesuatu sendirian.

Maka ketika akhir pekan lalu stok susu dan roti kami habis, saya pun menawarinya untuk membeli dua hal itu di warung yang berjarak sekitar 350m dari rumah. Sebelum-sebelumnya saya sudah berulang kali mengatakan bahwa akan ada saat di mana saya memintanya pergi berbelanja tanpa saya. Sehingga ketika hari itu tiba, dia tidak kaget. Setelah menjelaskan ini-itu dan memberinya arahan yang dirasa perlu, saya membekalinya uang 50 kronor, tas belanja dan ponsel saya untuk berjaga-jaga, lalu melepasnya berangkat belanja sendiri. Estimasi saya, aktivitas berbelanja itu akan dia lakukan dalam kurun waktu 15 menit. Dan saat itulah saya sadar, 15 menit itu adalah salah tingkah terpanjang pertama saya sebagai ibu 😄

Harus saya akui saya gugup. Sekaligus cemas. Waktu anak saya bilang: “Bye, Bunda. I hope I’ll be back with some foods,” saya sampai meralat: “Not bye, I’ll see you again soon,” karena tak mau kepikiran aneh-aneh 😅 Lalu selama dia pergi, saya menatap keluar jendela sembari menggendong anak kedua saya. Komat-kamit merapal doa. Berharap tidak ada hal buruk yang akan menimpa anak saya.

Sesekali saya melirik jam dinding. Yang rasanya berjalan lamban sekali. Sementara dalam batin saya segala macam rasa berkecamuk. Pikiran-pikiran buruk melintas, tapi saya meyakinkan diri bahwa Swedia adalah negara yang aman. Dan toko yang dia tuju tidak jauh. Papan namanya bahkan terlihat dari halaman apartemen kami.  Anak saya juga hanya akan membeli dua hal. Dia sudah hapal letak raknya. Dia tahu berapa yang harus dia bayar. Dia paham bahasa Swedia. Dia fasih bahasa Inggris. Seharusnya tidak ada masalah.

Tapi tetap saja hati saya dag dig dug. Telapak tangan saya berkeringat. Dan saya masih terus berdoa semoga tidak ada hal buruk apapun yang terjadi pada anak saya. Semua itu tumpang tindih dengan suara-suara yang menyerukan protes “Demi apa kamu melakukan ini, Hayu?”, “Kalau sampai ada apa-apa gimana?” dan sejenisnya.

Maka ketika saya melihat cengiran lebarnya di ujung kompleks apartemen kami. Saya lega bukan main. Bersyukur karena berhasil melewati momen ini tanpa ada hal-hal yang tidak kami inginkan. Saya bergegas membuka pintu dan bilang: “Well done,” Sementara anak saya hanya tertawa. Lalu saya pun mengaku: “I’m proud of you, but I was nervous to be honest.”

Anak saya langsung menimpali: “Me too. It was nerve wracking.”

Dan kami pun tergelak.

Saya memang tak pernah menyembunyikan perasaan saya pada anak saya. Saya tidak segan menunjukkan kalau saya bisa rapuh. Bahwa saya tidak selalu kuat. Saya bisa takut, cemas, dan sangat mungkin melakukan kesalahan. Buat saya, penting bagi anak saya untuk tahu bahwa Ibunya hanyalah manusia biasa.

Memang, saya akan mengusahakan banyak hal untuk membantu dan melindungi anak-anak saya. Tentu saja, saya akan berusaha sebaik mungkin menjalankan peran sebagai Ibu. Tapi saya tak mau mereka menganggap saya sebagai seseorang yang tak bisa menangis atau terluka. Saya ingin mereka paham bahwa menjadi ibu tidak kemudian berarti menjadi manusia super. Saya tidak ingin berpura-pura menjadi orang lain di depan anak saya sendiri.

Harapan saya, kelak ketika mereka memutuskan menjadi Ibu, mereka tahu mereka tidak perlu menjadi siapapun selain diri mereka sendiri.

Saya tahu momen-momen seperti ini akan lebih banyak terjadi di masa yang akan datang. Saat melepas anak saya bersekolah di tempat atau negara lain. Saat dia memutuskan untuk tinggal jauh dari rumah. Atau karena alasan-alasan lain. Lalu kalikan dua karena anak saya ada dua 😀 . Jadi perasaan seperti ini mungkin tak akan benar-benar berhenti.

Saya juga tahu saya tak akan pernah terbiasa. Bahkan ketika mereka sudah dewasa pun, saya akan tetap merasakan salah tingkah seperti yang saya rasakan saat menyuruh mereka membeli susu dan roti di warung. Tapi kecemasan saya bukanlah tanggung jawab mereka. Sehingga mereka tidak perlu menukarkan kebahagiaan mereka demi saya. Mereka berhak atas hidup dan kebahagiaan mereka sendiri.

Belakangan anak pertama saya sering bilang: “When I grow up, I want to live with you forever.”

Saya pun menjawab: “Thanks, honey. That’s very sweet of you. But even if you changed your mind, I wouldn’t mind.”

Karena seperti saat saya mengirim mereka ke warung, saya tak akan membatasi jangkauan langkah kaki mereka, saya hanya akan memastikan bahwa mereka selalu punya saya, untuk kembali.

img_5162
My emotions as illustrated by my fist born drawing 🙂
Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

A WordPress.com Website.

%d bloggers like this: