Saya batal Golput tahun ini.
Pemilu tahun ini terasa lebih dilematis daripada sebelum-sebelumnya. Kenapa? Karena pilihannya bukan lagi madu lawan cuka. Tapi cuka merek A atau cuka B. Sama saja asamnya.
Salah satu kandidat sama sekali bukan pilihan untuk saya. Mereka yang masa kecilnya mempertanyakan ketiadaan pilihan (kenapa harus suka kuning kalau sukanya warna lain, misalnya), masa pembentukannya menonton Batas Panggung, masa dewasanya akrab dengan multikulturalisme, pasti paham mengapa.
Jadi pilihannya hanya ada satu,
atau Golput.
Sejak memilih pertama di Pemilu 2004, saya bergonta-ganti pilihan mengikuti nilai dan prinsip yang diperjuangkan. Idealnya kan begitu. Politik adalah seni tentang prinsip-prinsip pemerintahan, bukan soal populisme dan pelanggengan kekuasaan. Saya tak pernah terikat partai. Merasa harus memilih ini karena begini. Atau itu karena partainya begitu. Saya mencari nilai. Melihat apa yang ditawarkan oleh orang-orang itu. Lalu memilih yang benar menurut akal dan nurani saya.
Tahun 2009 saya Golput. Semesta sepertinya berkonspirasi demikian. Saya bangun kesiangan dan ban motor saya bocor tiga kali selama perjalanan menuju TPS (saya tinggal di Jogja tapi masih terdaftar di Gunungkidul). Alhasil begitu sampai, TPS sudah tutup. Saya tak menyesal, toh saya belum benar-benar yakin siapa yang akan saya pilih saat itu.
Tahun 2014 saya vokal dengan pilihan saya. Bahkan menunjukkan dukungan secara terang-terangan. Saya merasakan hawa baru sekaligus harapan baru bagi Indonesia. Rasanya seperti memilih Obama dalam versi yang lebih dekat, lebih terjangkau, dan lebih relatable.
Tapi tahun ini, keraguan langsung muncul saat pengumuman calon kandidat. Sejujurnya saya mengharapkan lebih dari dua calon. Mungkin tiga, atau syukur-syukur empat. Barangkali akan lebih dinamis. Tidak terjebak dalam oposisi biner seperti sekarang.
Saya makin ragu saat tak satupun kandidat membahas substansi masalah. Ribut soal ukuran tempe. Saat mereka sibuk menyerang lawan bukan memperjuangkan nilai. Juga karena tak ada yang serius membahas isu-isu tentang perubahan iklim atau pelanggaran HAM.
Bahkan hingga sosialisasi Pemilu di Lund, juga ketika amplop surat suara saya terima, saya masih bertanya-tanya, haruskah saya memilih atau Golput saja?
Setelah merenung cukup lama, membaca lagi di sana-sini, mempertimbangkan berbagai kemungkinan, saya akhirnya memilih cuka dengan tingkat keasaman yang bisa saya โtolerirโ. Cuka yang masih mungkin memberikan ruang untuk usulan dan kritik. Cuka yang bisa diajak โngobrolโ, bukan yang gelap mata dan membenarkan segala cara. Plus, saya tidak bisa (dan sedikit takut) membayangkan kalau sampai cuka yang satunya yang menang.
Jadi, sayapun batal Golput tahun ini. Kalau, kamu?
Leave a Reply