Tiga bulan terakhir, pemberitaan tentang Greta Thunberg, anak muda Swedia yang mogok sekolah karena mengkampanyekan perubahan lingkungan memenuhi media dan lini masa saya. Di waktu yang hampir bersamaan, muncul kabar tutupnya Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan, Bantul, dan keresahan warga Jogja soal mau dibawa ke mana sampah-sampah mereka. Belum soal kabar paus yang mati karena menelan berkilo-kilo plastik. Semua hal ini membangkitkan keinginan lama saya untuk menulis tentang pengelolaan sampah di Swedia.
Swedia memang bisa dibilang sangat serius soal pengelolaan sampah dan kepedulian lingkungan. Greta adalah bukti nyata bagaimana kesadaran lingkungan menjadi keseharian di negara ini. Dan dia tidak sendirian. Banyak Greta-Greta yang lain yang menjadikan kesadaran lingkungan sebagai gaya hidup. Mereka adalah hasil dari sistem yang sudah disiapkan sedari awal. Pilah-pilih sampah sudah diajari sejak dini. Reduce, reuse, recycle bukan hanya berhenti sebagai slogan. Bahkan, sekolah-sekolah berlomba-lomba menjadi green flag school, salah satu program EU untuk menginisiasi dan melibatkan anak-anak muda dalam menjaga lingkungan, dimulai dari ruang kelas mereka.
Dibandingkan negara-negara Eropa yang lain, Swedia juga termasuk yang terdepan dalam menciptakan lingkungan bebas sampah. Berbagai usaha dilakukan untuk memaksimalkan hal ini. Mulai dari memberikan pajak tinggi untuk produk dan jasa tertentu, hingga memperkenalkan sistem deposit (panta) untuk botol serta kaleng bertanda khusus yang bisa dimasukkan kembali ke mesin daur ulang. Sebagai “imbalannya” kita mendapat pengembalian uang berupa voucher belanja.
Selain itu, sampah di Swedia dipilah ke dalam setidaknya sepuluh kategori: plastik (lunak maupun keras), karton, kertas, makanan, kaca, besi, elektronik, tekstil, panta, dan sampah lainnya (yang tidak termasuk kategori sebelumnya). Di minggu-minggu pertama tinggal di Swedia, saya dibuat repot dengan banyaknya pemisahan yang harus saya lakukan. Tapi kerepotan itu tidak sebanding dengan fakta bahwa dengan dipisah sedemikan rupa, sampah-sampah tersebut bisa dikelola dengan baik. Beberapa jenis sampah didaur ulang, yang lain dibakar dengan karbon rendah untuk pemanas di bus dan apartemen, sementara sampah makanan diubah menjadi bahan bakar biogas yang ramah lingkungan.
Tak hanya negara, korporasi pun melakukan usaha untuk mengurangi dampak produk mereka terhadap lingkungan. H&M misalnya. Perusahaan garmen asal Swedia ini menjalankan program sustainability dengan menjalankan skema daur ulang di mana pelanggan bisa menukarkan baju-baju bekas mereka (merek apapun tidak harus H&M) dengan voucher diskon. Selain H&M, perusahaan produk olahan susu, Skånemejerier, juga memberikan tips agar tak membuang susu yang belum habis atau yang belum habis masa berlakunya, di kemasan mereka. Bukannya menghimbau konsumen untuk mengonsumsi lebih banyak produk, mereka justru menyarankan agar mengurangi sampah yang dihasilkan.
Sebegitu pedulinya Swedia pada prinsip daur ulang, mall barang bekas pertama di dunia, ReTuna Återbruksgalleria, juga bisa ditemukan di negara ini. Tepatnya di kota Eskilstuna, tidak begitu jauh dari ibukota Stokholm. Tak heran Swedia berhasil mendaur ulang sampahnya hingga 69-85% untuk sampah botol, kaleng dan kemasan di tahun 2017 (sumber: Sweden.se).
Apa kabar, Indonesia?
Keseriusan Swedia dalam memperlakukan sampah membuat saya mempertanyakan kapasitas negara saya sendiri. Benarkah kita begitu juah tertinggal? Benarkah kita begitu tidak terdidik dalam hal sampah dan lingkungan?
Jawabannya ternyata tidak.
Kita bukan tidak tahu. Bukan juga tertinggal atau tidak tercerahkan. Kita hanya lupa.
Semua hal yang dilakukan Swedia pada dasarnya sudah pernah kita lakukan. Mungkin bukan dalam skala yang sama, tapi minimal semangatnya serupa. Sewaktu saya kecil misalnya, kemasan daun untuk membungkus makanan masih jamak ditemui. Nasi bungkus sarapan saya setiap pagi saat SD masih berbungkus daun jati. Atau minimal daun pisang dan kertas koran. Bahkan banyak yang membawa mangkuk atau piring sendiri saat membeli bubur atau nasi di warung-warung. Tapi, semua berubah sejak negara api plastik menyerang. Hampir semua makanan di pasar tradisional dibungkus dengan plastik. Dan entah karena alasan apa, orang mulai malu membawa wadah sendiri saat berbelanja.
Green flag school itu sendiri pada hakikatnya tidak jauh berbeda dengan kerja bakti. Ramai-ramai menjaga kebersihan dan kehijauan sekolah. Saya ingat dulu kami diajari menanam tanaman di sudut-sudut sekolah. Atau membuat kerajinan dari barang bekas. Tapi lagi-lagi, dengan alasan modernitas, kegiatan tersebut tak lagi sering diadakan.
Dulu, warga di kampung saya juga masih memilah-milah sampah sendiri. Sampah organik dipendam di tanah dan dijadikan pupuk. Sisa makanan untuk pakan ikan atau ayam. Tidak ada yang tidak digunakan. Bahkan kain-kain perca sisa pakaian pun digunakan lagi. Digunting lalu dijadikan hiasan taplak, dibuat boneka atau bunga, dan yang paling rendah kastanya, dijadikan kain pel atau gombal serba guna 😀 . Hal-hal yang demikian sudah dilakukan jauh sebelum konsep “reuse” dan “recycle” ramai dibicarakan.
Sayangnya pola hidup yang semacam ini sudah semakin susah ditemui. Berganti dengan model serba praktis, instan, dan enggan repot. Dan pelan tapi pasti, kita pun lupa pada kebiasaan baik itu.
Mengubah Pola Pikir
Langkah pertama untuk mengingat kembali kesadaran akan sampah dan lingkungan, menurut saya, adalah dengan mengubah pola pikir. Pertama, pola pikir bahwa perubahan iklim adalah ancaman di masa depan. Ini pemikiran yang keliru besar. Perubahan iklim adalah realita yang harus dihadapi saat ini. Sehingga berdiam diri bukanlah lagi sebuah opsi. Apalagi mentalitas “njagakke” yang membuat kita merasa “ah nanti juga ada orang lain yang melakukan.”
Kesadaran ini perlu dimulai dari diri sendiri dan dari hal-hal kecil. Sudah banyak pegiat-pegiat lingkungan yang mengkampanyekan pengurangan sampah seperti kantong plastik, sedotan plastik, styrofoam, dll. Kita bisa meniru, menyebarluaskan dan syukur-syukur mengembangkannya. Sudah ada juga inisiasi pengolahan sampah seperti bank sampah di Bantul. Tapi, inisiasi dari masyarakat ini juga perlu mendapat respon dari pemerintah.
Masukkan kesadaran lingkungan dalam kurikulum sekolah. Buat kebijakan yang serius soal pengelolaan sampah. Alokasikan dana untuk investasi dan riset. Swedia sudah berhasil membuat bahan bakar dari apel yang melimpah ruah di musim gugur. Saya membayangkan, kita bisa melakukan hal yang sama dengan rambutan atau mangga di Indonesia yang jumlahnya juga berlimpah di musimnya. Dengan begitu, barangkali istilah yang cocok untuk TPST bukan lagi Pembuangan Sampah melainkan Pengelolaan Sampah. Sehingga masyarakat akan secara tidak langsung terdidik untuk mengelola sampahnya dan bukan sekadar membuangnya.
Selanjutnya, yang tak kalah penting adalah mengurangi konsumsi atau memperpanjang umur barang dengan memilih menggunakan barang bekas. Sejak tinggal di Swedia, saya menyadari bahwa barang bekas begitu dihargai di sini. Toko dan pasar barang bekas selalu ramai pengunjung. Mereka juga tidak terlalu peduli soal penampilan dalam arti bisa tidak berganti pakaian berhari-hari. Mungkin karena udara bersih dan cuaca yang tidak gerah sehingga bajupun tidak mudah kotor. Plus, mereka tidak merasa malu kalau baju yang dipakai hari ini sama dengan yang dipakai kemarin.
Kamu sendiri, sudah ngapain, Hay?
Belum banyak. Saya harus akui itu. Tapi sejak lebih dari sepuluh tahun lalu, saya berusaha melakukan beberapa hal. Diantaranya, menggunakan popok kain untuk anak-anak saya. Belum 100% sih, tapi sudah lumayan mengurangi jumlah popok sekali pakai yang susah sekali diurai. Setidaknya mengurangi rasa bersalah saya setiap kali membuang sampah popok ke tempat pembuangan. Hehe.
Lalu, menggunakan pembalut kain, membawa kantong belanja juga botol plastik sendiri, memilih berkendara dengan transportasi umum (juga sebisa mungkin dengan kereta bukan pesawat terbang), memilih tiket dengan kompensasi karbon, tidak mencetak bukti transaksi ATM melainkan memotretnya, dan sebisa mungkin berbelanja barang bekas.
Dengan semua usaha itu, mungkin saya belum bisa menjadikan bumi lebih baik, tapi minimal, saya bisa membuatnya tidak bertambah buruk. Tidak hanya untuk anak-anak saya nanti, tapi juga untuk diri saya sendiri, hari ini.
Leave a Reply