14 Hari untuk Selamanya (Cerita Melahirkan di Swedia)

Senin (3/12) dini hari, saya terbangun karena sakit di perut dan pinggang bagian bawah. ”Wah, mulai kontraksi,” batin saya. Berusaha (sok) tenang, saya mempraktekkan teknik pernafasan dari sesi yoga yang sempat saya ikuti. Nyeri berkurang, tapi kontraksi masih berlanjut. Saya cek jam, masih berjarak 20-30 menit. Masih lama.

Tak lama kemudian suami saya bangun dan menemukan saya meringkuk di kasur. ”Kayaknya udah mau lahir nih,” ujar saya sok tahu.

Suami pun memutuskan bekerja dari rumah dan seharian itu kami dalam mode stand by. Jaga-jaga kalau si bayi memutuskan lahir sebelum hari perkiraan. Senin sore kontraksi makin kuat, saya pun memutuskan menelpon rumah sakit.

Di Swedia sendiri, untuk kelahiran, prosedurnya adalah menelpon lebih dahulu baru kemudian bidan akan memutuskan apakah sudah waktunya ke rumah sakit atau belum. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir kunjungan yang tidak perlu (terlalu awal misalnya) dan memastikan ketersediaan ruangan. Kecuali ada kondisi darurat seperti ketuban pecah, pendarahan berlebihan, jatuh atau trauma di perut, maka calon Ibu yang mau melahirkan harus menelpon terlebih dahulu. Rumah sakit hanya bersedia menerima pasien melahirkan yang sudah di fase aktif (minimal bukaan 4).

Bidan yang menjawab telepon saya mengatakan bahwa kontraksi saya masih di fase awal. Jadi tidak perlu bergegas ke rumah sakit. Kalau sakitnya tidak tertanggungkan bisa relaksasi dengan mandi atau berendam di air hangat dan/atau minum pengurang nyeri aka Alvedon yang merupakan merek painkiller paling jamak dipakai di Swedia πŸ˜„.

Senin tengah malam kontraksi makin menjadi. Saya pun menelpon lagi dan kali ini, bidan mempersilahkan saya datang. Sesampainya di rumah sakit, bidan yang bertugas menjalankan prosedur standar: mengecek detak jantung bayi dan frekuensi kontraksi saya, mengecek tekanan darah, menanyakan dan mencatat beberapa hal lalu menunggu 20 menit sebelum melakukan cek fisik untuk memastikan bukaan. Dan ternyata..

Belum fase aktif, sodara-sodara! πŸ˜†

Bidan yang menangani saya mengatakan: ”You’re doing great. Your body is preparing for the real contractions. But it’s not an active labor. The dilation is just a finger tip. So it’s better for you to relax at home. I’ll give you some painkillers to make you feel better (dan tentu saja yang dia maksud adalah Alvedon πŸ˜„ )

Setelah meminum obat dari bidan, saya pun pulang dan mencoba tetap tenang di rumah. Berendam di bath tub. Dipijat suami. Dan sebagainya. Tapi kontraksi tetap datang dan pergi. Seperti kenangan masa lalu yang menghantui (halah!)

Rabu (5/12) pagi kontraksi kuat kembali datang. Ah mungkin kali ini sudah benar-benar aktif. Saya menelpon, menjelaskan kondisi saya, lalu meluncur ke rumah sakit. Kawan yang mengantarkan bahkan sudah memeluk saya sembari bilang: ”I really hope the baby will be born today,”

Tapi ternyata tidak.

Setelah melalui prosedur yang sama, bidan menyatakan bahwa kontraksi saya belum memicu fase aktif persalinan. Memang ada progress dari kunjungan pertama, tapi belum signifikan. Dan lagi-lagi, dia hanya memberi saya painkiller lalu meminta saya pulang

Saat itu saya patah hati. Antara capek karena bolak-balik rumah sakit. Jengkel karena tidak dibolehkan menunggu di rumah sakit saja. Juga marah pada diri saya sendiri karena tidak bisa membedakan level-level kontraksi.

Bidan yang menangani saya pagi itu seperti membaca kekecewaan saya. Dia pun kemudian menjelaskan bahwa untuk anak kedua, dengan riwayat anak pertama SC sebelum fase aktif (saya baru bukaan dua ketika anak saya mengalami fetal distress dan dokter memutuskan untuk melakukan operasi cesar), juga dengan jarak umur yang cukup jauh, susah untuk mengidentifikasi kualitas dan kuantitas kontraksi. ”It’s like having a first child again. Your body needs time to adjust. And it can be long,” begitu jelasnya.

Baiklah. Saya menyerah. Sudah cukup saya (dan suami tentu saja) berdiam diri dalam fase menunggu beberapa hari terakhir itu. Sudah terlalu melelahkan baik secara fisik maupun mental. Maka kami pun memutuskan kembali ke rutin. Suami kembali bekerja di kampus. Saya kembali kursus bahasa Swedia. Kontraksi coba diabaikan dengan melakukan hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan kelahiran. Kalau tiba-tiba lahiran bagaimana? Well, come what may! Toh rumah sakit dekat dengan kampus saya dan kampus suami. Saya bertekad tidak akan ke rumah sakit sebelum ada tanda persalinan yang lain. Seperti air ketuban atau darah misalnya.

Di akhir pekan (8-9/12) tanda baru muncul. Mucus plug saya keluar. Kali ini saya tidak menelpon rumah sakit. Dari beberapa referensi yang saya baca, mucus plug bukanlah penanda signifikan. Kalau saya menelpon saat itu, paling juga masih bukaan satu dan hanya akan diminta pulang lagi. Malu akutuuuu πŸ˜„

Saya pun menenggelamkan diri dalam rutinitas. Bahkan mengikuti ujian nasional Bahasa Swedia (dan lulus! Yay!) pada tanggal 11&12 Desember, meskipun sejujurnya, ikut tes dengan perut senat senut itu berat, Rudolvo! Apalagi waktu listening, pas kontraksi datang, Bahasa Swedia terdengar seperti Bahasa Finlandia di telinga saya πŸ˜† . Tapi saya pikir, mungkin ujian justru bisa menginduksi kontraksi saya jadi lebih cepat. Hehehe.

Satu hari setelah ujian adalah tanggal perkiraan lahir si jabang bayi. Saya harap-harap cemas karena ada tanda baru yang datang: bloody show. Awalnya hanya sedikit. Lalu bertambah banyak di hari-hari berikutnya. Saya pun menelpon kembali, tapi bidan hanya mengatakan: ”That’s a good sign. You can come to the hospital but if it’s not an active labor, I’m sorry we’ll have to send you home again.”

Saya pun memutuskan menunggu saja di rumah.

Minggu (16/12), kontraksi yang datang mulai terasa berbeda. Rasanya seperti melingkari perut dan pinggang bagian bawah hingga ke pelvic area. Saya bersabar diri untuk tidak menelpon rumah sakit. Tapi Senin (17/12) pagi, saya benar-benar tak kuat lagi. Saya pun menelpon dan memutuskan untuk ke rumah sakit. Suami sempat galau karena hari itu dia harus mengajar di kota lain. Saya yang setengahnya masih pesimis meminta dia untuk tetap berangkat mengajar dan saya akan ke rumah sakit sendirian.

Sesampainya di rumah sakit, prosedur yang sama kembali dilakukan. Dari monitor saya bisa melihat bahwa kontraksi saya jauh lebih kuat dari yang sudah-sudah. Tapi detak jantung bayi saya stabil. Fyuh. Ini yang sejujurnya saya kuatirkan mengingat riwayat anak pertama saya. Kehamilan kali ini, saya memang berharap bisa melakukan VBAC (Vaginal Birth after Cesarean). Bukan apa-apa sih, saya bukan penganut anti SC atau anti VB. Buat saya keduanya sah-sah saja dilakukan selama mempertimbangkan kesehatan dan keselamatan ibu dan bayi. Tidak berarti yang satu lebih tinggi atau lebih baik dari yang lain. Saya sudah bosan dengan debat kusir ala netijen soal SC vs VB.

Everyone fights a battle you know nothing about. Say something nice or forever silent.

Saya menginginkan VBAC karena berharap proses recovery yang lebih cepat dibanding saat melahirkan anak pertama dulu. Mengingat, tidak ada keluarga yang bisa membantu di sini.

Anyway, setelah dicek ini itu, bidan menyampaikan saya bukaan dua. Dalam hati saya bersyukur karena ada progress sekaligus kuatir karena baru 2 gini aja sakitnya bukan main. πŸ˜…

Melihat saya mengernyit kesakitan, bidan sempat bimbang soal menyuruh saya pulang dulu. Dia pun berkonsultasi dengan rekannya lalu berujar: ”We think it’s better for you to wait at home. If you’re progressing well, you can come again either tonight or tomorrow.”

Duh, ditolak tiga kali. Sekali lagi dapat payung cantik ga, bu bidan?

Saya yang sudah malas berargumen hanya mengangguk dan meninggalkan ruang periksa sambil menahan kontraksi. Saya berusaha berjalan ke tempat pemberhentian bus, tapi kontraksi semakin kuat. Akhirnya saya menghubungi salah seorang kawan dan memintanya mengantar saya pulang. Sambil menunggu kawan saya itu, saya memberitahu suami bahwa dia bisa mengajar dengan tenang karena saya baru bukaan dua. Kalaupun lahir hari itu, masih malam nanti paling cepat.

Saya pun pulang dengan teman saya dan bahkan sempat fika bersama di rumah. Mengobrol membantu mengalihkan perhatian saya dari rasa sakit. Jam 12.30 teman saya itu pamit dan saya mencoba beristirahat. Tapi rasa sakit yang datang semakin sering dan kuat. Saya berusaha bertahan. Menjerit dan menangis memanggil Ibu dan suami saya (yang tidak ada gunanya lha wong saya sendirian di rumah πŸ˜„ ). Saya berusaha mengatur nafas. Berusaha rileks. Tapi sakitnya tetap tidak tertanggungkan.

Akhirnya, sekitar pukul 15.00 saya meminta teman saya yang lain untuk mengantar saya kembali ke rumah sakit. Setelah sebelumnya saya menelpon dan bahkan tidak sanggup menyebutkan personnummer saya sehingga bidan pun langsung bilang: ”Yes, just go to the hospital now.” Saya juga mengirim pesan pendek-pendek ke suami: ”Hayu ga kuat.” ”Hayu ke rumah sakit lagi.”

Di jalan, kontraksi semakin menjadi-jadi. Kawan saya berbaik hati meminjami tangannya. ”Here, squeeze my hand,” ujarnya. Saya pun nyengir dan meremas tangannya setiap kali kontraksi datang. Yang rasanya seperti tanpa jeda.

Sesampainya di rumah sakit, saya bilang ke teman saya itu: β€œIt’s okay, you don’t need to stay, I’ve told Zaki and I think he’s on his way,”.

“No, don’t worry, I’ll stay until he’s here,” bantahnya.

Di Swedia, calon ibu yang mau melahirkan boleh didampingi oleh maksimal dua orang. Dan itu bisa siapa saja yang dipilih oleh calon ibu. Tidak harus pasangan atau keluarga. Maka meskipun teman saya itu tidak ada pertalian darah dengan saya, dia boleh masuk dan menemani.

Kami lalu menuju labor ward nomor 3. Saya langsung dipasangi alat monitor detak jantung dan kontraksi. Juga ditawari pilihan pengurang nyeri. β€œWe’ll start with Alvedon.” Bahkan dalam rasa sakit yang menjadi itupun rasanya saya ingin ketawa. Alvedon lagi? Seriously? Ga mempan buuuuu.

Painkiller selanjutnya adalah lustgas (gas tawa) yang berisi campuran oksigen dan nitrogen. Bidan memberi tahu saya cara menggunakannya. Sementara perawat memasang katup di lengan kanan saya kalau-kalau saya butuh injeksi atau tranfusi. Semua penanda vital terlihat normal. Bidan yang mengecek fisik memberitahukan kalau saya sudah bukaan 4.

Akhirnya, saya tidak ditolak lagi πŸ˜„ .

Menit-menit berikutnya adalah menit-menit panjang berisi teriakan tertahan saya dan tarikan nafas yang berusaha diatur sebaik mungkin. Saya tetap kesakitan. Painkiller selanjutnya adalah injeksi morfin. Jujur saya tidak tahu apakah ketiga painkiller itu berpengaruh karena nyatanya saya tetap merasakan sakit. Tapi setidaknya gas yang saya hirup membuat perhatian saya sedikit teralihkan.

Sekitar pukul setengah 5 suami sampai di rumah sakit. Begitu masuk ruangan melahirkan, pertanyaan pertamanya adalah: β€œIni sudah boleh di sini kan? You won’t send us home again, will you?”

Yaelah Bang, uda aktif labor pake banget ini. Ga lihat istrimu sudah meronta-ronta enggak keruan? πŸ˜†

Suami saya lalu menghampiri saya, memeluk saya, membisiki saya banyak hal. Saya hanya bisa mengangguk lemah. Meremas bajunya (belakangan saya tahu kulitnya ikut teremas juga πŸ˜… ), dan melantunkan istighfar dan doa:

“Allahumma yassir wa laa tu’assir..” Beri kemudahan ya Allah, beri kemudahan..

Jujur yang ada di bayangan saya saat itu adalah perjuangan Maryam melahirkan Isa AS. Surah yang kerap saya dengarkan di trimester akhir kehamilan itu seperti diputar jelas di benak saya. Maryam yang menahan sakit karena melahirkan. Maryam yang bersandar di pohon kurma. Ya Allah, ternyata rasanya seperti ini.

Entah pukul berapa, bidan memberitahu bahwa saya sudah bukaan 8 dan menanyakan apakah saya ingin menggunakan epidural. Saya mengangguk cepat, tapi lalu berubah pikiran. β€œIs there any side effect? What would you recommend? Do you think I can do it without epidural?” tanya saya dengan nafas tersengal. Bidan tersebut menjawab: β€œNo, there’s no side effect. It’s just if you wanted to have it we should do it now otherwise it’s gonna be useless. It’s up to you. But I think you’re a strong woman and it’s not long anymore so I think you can do it without epidural.”

Berbekal itu, saya menuju bukaan 10 tanpa epidural. Bidan memberi instruksi agar saya mengejan dan mengatur nafas sesuai arahannya. Juga memberi tahu bagaimana posisi kepala saya seharusnya. Satu kali. Jeda. Dua kali. Jeda. Sayup-sayup saya mendengar asisten perawat berkata: β€œOh I can see the hair, do you want to touch it?” Saya menggeleng. Suami berbisik pelan: β€œSedikit lagi sayang, adek sudah kelihatan, ayo, bismillah.”

Detik sesudahnya saya mengejan dan alhamdulillah, pukul 18.25, si jabang bayi, our baby K, lahir di dunia. Rasanya langsung lega. Kontraksi pergi. Berganti pegal dan senut-senut di sana-sini. Tapi waktu melihat dan mendengar bayi merah kebiruan itu menangis, saya tidak peduli lagi. Alhamdulillah. Alhamdulillah. I did it.

Bidan langsung menelungkupkan bayi mungil itu dalam dekapan saya. Suami memeluk saya. Melantunkan adzan di telinga putri kedua kami. Lalu 10 menit kemudian, plasentanya lahir. Saya sudah tidak peduli lagi dengan apapun yang dilakukan bidan di bawah sana πŸ˜† . Dijahit berapa saya tidak mau tahu. Saya hanya merasa bahagia, sekaligus capek, sekaligus rasanya kok ngantuk sekali πŸ˜… .

Suami ditawari kesempatan untuk memotong tali plasenta. Yang tentu saja dia ambil. Lalu kami diberi waktu untuk menikmati momen pertama dengan si bayi bertiga. β€œI’ll be back with a fika,” kata bidan sambil menepuk punggung saya. Ah iya, saya hampir lupa ini Swedia, fika itu wajib hukumnya. Habis melahirkan sekalipun. πŸ˜„

Tak lama bidan kembali datang dengan senampan sandwhich, teh panas (saya sempat ditanyai mau teh atau kopi dan saya memilih teh), dua gelas apple cider tanpa alkohol, dan bendera Swedia.img_3115

What a Swedish way to welcome a newborn πŸ˜„

Saya merasa, sandwhich malam itu adalah sandwhich terenak yang pernah saya makan πŸ˜‚ . Padahal hanya berisi keju, paprika dan mentimun. Memang benar kata orang, makanan terenak adalah makanan yang dimakan paska melahirkan πŸ˜„ .

Sekitar pukul 21.00, bidan dan perawat yang membantu persalinan saya pamit karena sudah waktunya mereka berganti shift. Si bidan menyerahkan kartu kelahiran dengan data anak saya, lalu secara mengejutkan (karena orang Swedia tidak biasa kontak fisik), memeluk saya sambil berujar: ”You’re doing really great for someone who gives vaginal birth for the first time. You’re a strong woman. Stort grattis. I wish you and your baby a good luck.” Dan saya hanya bisa mengucapkan terima kasih berkali-kali. Then we bid a farewell. Oh ya, ngomong-ngomong, bidan yang membantu persalinan saya adalah bidan yang menolak kedatangan saya pertama kali. Yang mengatakan bukaan saya ”just a finger tip”. Selama proses persalinan dia begitu telaten dan sabar. Saya sangat bersyukur bisa dibantu oleh bidan yang berpengalaman, profesional, supportif dan baik hati seperti dia (du Γ€r fantastisk, Anne Marie! Tusen tack!)

Beberapa jam sesudah kelahiran, apabila tidak ada komplikasi, ibu dan bayi bisa langsung pindah ke Family BB hotel. Semacam ruang rawat inap kalau di Indonesia tapi dengan desain dan nuansa hotel bukan rumah sakit. Sayangnya, ternyata saya mengeluarkan cukup banyak darah, 1 liter lebih, sehingga harus diobservasi di bangsal BB-avdelning. Bangsal ini berisi ibu-ibu hamil atau setelah melahirkan yang mengalami masalah baik dengan bayinya atau dengan tubuhnya sendiri. Dalam kasus saya, karena saya pingsan dua kali pas ke kamar mandi dan hemoglobin serta iron saya drop, maka saya harus dirawat di sana. Bayi saya sendiri baik-baik saja. Semua tes setelah kelahiran menunjukkan kondisi normal. Saya hanya harus menunggu badan saya pulih dulu.

Setelah 4 malam dan dua kantung tranfusi darah, saya membaik. Bisa jalan, mandi, tanpa jatuh pingsan. Lalu kami diperbolehkan pulang. Meskipun saya masih harus menggunakan kateter karena bladder saya belum kembali normal dan masih harus kontrol ke rumah sakit. Tapi saya sudah lega. Penantian panjang 14 hari itu terbayar sudah. Kini hari-hari diisi dengan mengurusi bayi kecil yang tiba-tiba saja menjadi bagian penting dari keluarga kami. Kadang masih ada rasa janggal. Meminjam istilah anak pertama saya: ”It’s weird sometimes to realize that there’s a new baby in this house.” πŸ˜„

Melahirkan anak saat jauh dari support system memang tidak bisa dibilang mudah. Terutama ketika negara tempat tinggal sekarang menuntut kita untuk beradaptasi dan mengubah kebiasaan (semisal tentang tidak bisa menunggu bukaan di rumah sakit). Tapi sungguh, saya bersyukur karena meskipun jauh dari orang tua dan sanak saudara, saya dikelilingi teman-teman yang baik. Yang sejak awal sudah menyatakan keinginan dan kesanggupannya untuk membantu saya. Kawan yang satu selalu siap menjadi ”baby taxi”. Kawan yang lain menampung dan menjaga anak pertama saya ketika saya masih di rumah sakit. Kawan yang lainnya lagi selalu stand by kalau-kalau saya butuh bantuan. Bahkan ketika kontraksi datang dan pergi tanpa tahu di mana ujungnya, mereka semua berdoa agar saya melahirkan sebelum mereka pergi berlibur saat natal. Saya tidak tahu doa siapa yang diamini malaikat dan dikabulkan Tuhan. Tapi saya merasa, anak saya benar-benar lahir di waktu yang tepat. Bukan tepat di hari perkiraan. Tapi tepat di saat saya siap. Tepat ketika saya sudah selesai ujian nasional. Tepat ketika Ayahnya merampungkan jadwal mengajarnya semester ini. Tepat ketika kakaknya libur sekolah. Tepat ketika kawan-kawan saya masih berada di Lund dan siap membantu saya kapanpun saya perlu.

Cerita kelahiran di Swedia ini bukanlah cerita yang sempurna. Saya masih harus berkutat dengan berbagai ketidaknyamanan paska melahirkan. Dengan kecemasan dan kekhawatiran khas ibu baru (punya anak lagi setelah 8 tahun ternyata kayak punya anak pertama lagi, lupa semua ilmunya πŸ˜€ ). Dengan segala hal ini-itu. Tapi saya bersyukur menjalani ini semua bersama orang-orang terbaik yang bisa saya miliki. Dengan si kakak yang sudah cukup besar untuk diajak bekerjasama. Dengan suami yang meskipun tidak biasa (dan tidak bisa) melihat saya sakit, selalu ada di samping saya, mendukung saya, memastikan saya (dan anak-anaknya) terawat dan terjaga dengan baik.

Memang, perlu waktu untuk menyesuaikan diri.

Change needs time.

Dari semula berdua, bertiga, lalu kini berempat, pasti ada hal-hal yang berubah. Jadwal yang perlu ditata lagi. Rutin yang perlu diperbarui.

14 hari menuju kelahiran anak kedua saya adalah salah satu momen yang akan saya ingat untuk selamanya. Sebagai bagian dari perjalanan The Unsettled Family menjadi empat sekawan. Sebuah perjalanan yang mengajari kami semua betapa Tuhan sudah mengatur segala sesuatunya dengan baik. Dan betapa doa-doa yang dipanjatkan, baik oleh keluarga, teman dan kami sendiri, tidak pernah sia-sia. Untuk mereka-mereka yang selalu mendukung kami dengan doa di manapun berada, terima kasih banyak, ya. πŸ™πŸΌπŸ˜Š

 

 

Advertisement

15 responses to “14 Hari untuk Selamanya (Cerita Melahirkan di Swedia)”

  1. Ya Allah ternyata perjuangan nya. Beneran baru tahu aku kalo ditolak gitu. Mungkin karena jarak kelahiran itu tadi ya?? Soalnya kalo dokter kandunganku dulu pernah ngasih tahu kalo anak kedua seharusnya persalinan bakal lebih cepat. Terus bagian yg epidural bukaan 8 masih bisa, sementara pas di Jogja aku minta epidural dibukakan 6 bidannya bilang udah ga guna:(, harusnya pas bukaan 4 katanya. Hiiks. Padahal pas itu udah ga kuat banget, dan dengan kontraksiku yg “lemah” diperkirakan bukaan lengkap pukul 8 malam. Kondisinya mirip, hasil lab ku pas masuk UGB, hemoglobin sampai 8. Jadi sebelum akhirnya sc emergency nakes kudu nyiapin kantong darah dulu buat jaga2, tapi Alhamdulillah ga kepakai. Anyway, selamat ya Hayu atas kelahiran anak keduanya, smoga baby K sehat selalu dan jadi kebanggaan ortunya:)

    1. Kalau soal ditolak berkali-kali emang krn sistem sini ga bisa β€œpesen kamar” buat nunggu dulu, Dian. Soal kontraksi fase awal yg lama itu katanya salah satunya karena mmg jarak lama dan dulu pas anak pertama blm fase aktif. Iya sih anak kedua katanya lebih cepet, mungkin maksudnya dari fase aktif (bukaan 4) ke bukaan sempurna, soalnya aku kmrn jg relatif cepet, dari 4 ke 10 cuma 3 jam. Di sini epidural boleh dari bukaan 4 sampe bukaan 8 klo ga salah. Oh yang siapa ini yg sesar? Dua-duanya?

      Aamiin, mksh bnyk ya πŸ™πŸΌπŸ˜˜

  2. Di Helsingborg ga ada BB hotel. Di sini cuma ada kamar rawat biasa, yang biasanya 1 kamar untuk 2 orang. Jadi kemarin aku sempet nunggu lama di ruang bersalin karena ga ada kamar yang kosong. Soal ditolak2, emang mereka tegas banget ya. Aku juga pas mau lahiran adek E, sempet nelpon trus disuruh nunggu 1 jam, tapi baru juga 5 menit langsung kontraksi hebat, jadi nelp balik sambil teriak2 di latar..

    Grattis lagi!!

    1. Oh yaaa? Jadi di patient hotel gitu? Kmrn di BB Advelning juga harusnya sekamar dua pasien, tapi untung pas sepi jd suamiku bisa ikut nginep dan tidur di kasur pasien satunya πŸ˜…. Tegas banget alias tega πŸ˜„. Oh ya? Nunggu ada kmr gt? Tapi untung masih dpt di Hbg ya ga disuruh di kota lain, aku jg bersyukur bgt dapet di Lund

      1. ga hotel sih. beneran kamar rawat biasa di BB. Tapi selama hamil 2x aku ga pernah dikasih tau bakal dioper2 ke kota lain kalau kamar penuh. Jadi selalu dari awal emang mikirnya bakal lahiran di Hbg. Dan kmrn akhirnya ya gitu, selama nunggu ada kamar kosong, setelah lahiran nunggu di kamar bersalinnya.

      2. Oh gitu, wah enak ya, kalau di Lund dari awal malah udah dikasih tahu bakal diminta ke kota lain kalau penuh, terutama pas kalau lahiran pas summer

  3. Barakalloh Hayu, atas kelahiran putri kedua, semoga senantiasa sehat dan membawa manfaat kebaikan dunia akhirat, aamiin.
    Perkenalkan saya Lala, bolehkah saya berkorespondensi secara pribadi dengan Hayu, terkait persiapan ikut suami belajar ke Swedia, sebagai bekal dan referensi saya karena ini pertama kalinya keluarga kecil saya pergi jauh.
    Semoga berkenan, terimakasih.

    1. Aamiin, terima kasih banyak doanya. Salam kenal Lala 😊.

      Tentu saja boleh, saya bisa dihubungi di email: dhrahmitasari@gmail.com

  4. […] *originally published for The Newbie Guide to Sweden on January 3, 2019. For the version in Indonesian, click here. […]

  5. Mbak Hayyy… aku terharuuu bacanyaa… huhu.. selamattt ya, Mbak.. Pasti jadi pengalaman banget ya, melahirkan di luar negeri yang jauh dari ibu. Semoga segera sehat lagi ya, Mbak.. Berbahagia selalu untuk Mbak Hayu dan keluarga. Btw, mau tanya nih, Mbak. Fika itu apa ya? semacam acara gitu?

    1. Makasih Dilaaa, aamiin πŸ™πŸΌπŸ˜Š. Fika itu secara sederhana adalah semacam coffee break. Waktu untuk minum kopi (atau teh) dan makan cemilan di sela-sela kerja/kuliah (biasanya pagi jam 10 dan sore jam 3 atau 4). Tapi bisa juga setelah makan siang/malam. Budaya ngopi di sini emang kuat banget jadi dikit dikit fika dikit dikit fika πŸ˜„

  6. Hay…
    Ikut tegang aku bacanya..membayangkan kalian di sana (terutama kamu) berjuang sendirian jauh dr keluarga…duh, well done, jeng! Salute….

    Ikut seneng dgn kehadiran dekbay baby K 😘😘…menambah petualangan baru dan pengalaman baru. Yang pasti..nambah adventurer mate hehee..(bener gak nulisnya hihii…) Soal “rasa aneh” dgn kehadiran anggota baru, ya…sama! Apalagi aku yg sdh merasa settle dgn 2 anak ideal cow-cew, ketika nambah lagi tuh…kadang suka nanya sama Tuhan “Kok ada lagi? Why…why..” hahaa…drama y…

    Good fortune for your life y…keep shining n inspiring πŸ˜‰

    *Peluk cium buat Hayya, salam hormat untuk Pak Zaki…

    1. Aamiin, makasih mbak, semoga mbak Wulan sekeluarga juga sukses menaklukkan Penang yaaa, duh aku kangen Nasi Kandar Deen Maju, bubur Ali lebuh trang, nasi lemak lebuh pantai πŸ˜‹πŸ˜‹πŸ˜‹

  7. Bu Hayu, aku terharu.
    Semoga semuanya sehat nggih bu. Ohya bu, penasaran knpa Babynya gak sisan dikasih nama yg berawalan H ? Pdhal aku ngiranya bakal pke H lg biar samaan.

    1. Aamiin, mksh Sita 😘

      Hahaha, karena semua orang pasti mikir gitu, jadi sengaja ga kasih awalan H 😝

      Enggak sih, sebenarnya karena uda suka sama nama ini aja, lagian awalan nama depanku kan sebenarnya D, suamiku Z, jd ya ga ada yg sama πŸ˜„

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

A WordPress.com Website.

%d bloggers like this: