Senin (3/12) dini hari, saya terbangun karena sakit di perut dan pinggang bagian bawah. βWah, mulai kontraksi,β batin saya. Berusaha (sok) tenang, saya mempraktekkan teknik pernafasan dari sesi yoga yang sempat saya ikuti. Nyeri berkurang, tapi kontraksi masih berlanjut. Saya cek jam, masih berjarak 20-30 menit. Masih lama.
Tak lama kemudian suami saya bangun dan menemukan saya meringkuk di kasur. βKayaknya udah mau lahir nih,β ujar saya sok tahu.
Suami pun memutuskan bekerja dari rumah dan seharian itu kami dalam mode stand by. Jaga-jaga kalau si bayi memutuskan lahir sebelum hari perkiraan. Senin sore kontraksi makin kuat, saya pun memutuskan menelpon rumah sakit.
Di Swedia sendiri, untuk kelahiran, prosedurnya adalah menelpon lebih dahulu baru kemudian bidan akan memutuskan apakah sudah waktunya ke rumah sakit atau belum. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir kunjungan yang tidak perlu (terlalu awal misalnya) dan memastikan ketersediaan ruangan. Kecuali ada kondisi darurat seperti ketuban pecah, pendarahan berlebihan, jatuh atau trauma di perut, maka calon Ibu yang mau melahirkan harus menelpon terlebih dahulu. Rumah sakit hanya bersedia menerima pasien melahirkan yang sudah di fase aktif (minimal bukaan 4).
Bidan yang menjawab telepon saya mengatakan bahwa kontraksi saya masih di fase awal. Jadi tidak perlu bergegas ke rumah sakit. Kalau sakitnya tidak tertanggungkan bisa relaksasi dengan mandi atau berendam di air hangat dan/atau minum pengurang nyeri aka Alvedon yang merupakan merek painkiller paling jamak dipakai di Swedia π.
Senin tengah malam kontraksi makin menjadi. Saya pun menelpon lagi dan kali ini, bidan mempersilahkan saya datang. Sesampainya di rumah sakit, bidan yang bertugas menjalankan prosedur standar: mengecek detak jantung bayi dan frekuensi kontraksi saya, mengecek tekanan darah, menanyakan dan mencatat beberapa hal lalu menunggu 20 menit sebelum melakukan cek fisik untuk memastikan bukaan. Dan ternyata..
Belum fase aktif, sodara-sodara! π
Bidan yang menangani saya mengatakan: βYouβre doing great. Your body is preparing for the real contractions. But itβs not an active labor. The dilation is just a finger tip. So itβs better for you to relax at home. Iβll give you some painkillers to make you feel better (dan tentu saja yang dia maksud adalah Alvedon π )
Setelah meminum obat dari bidan, saya pun pulang dan mencoba tetap tenang di rumah. Berendam di bath tub. Dipijat suami. Dan sebagainya. Tapi kontraksi tetap datang dan pergi. Seperti kenangan masa lalu yang menghantui (halah!)
Rabu (5/12) pagi kontraksi kuat kembali datang. Ah mungkin kali ini sudah benar-benar aktif. Saya menelpon, menjelaskan kondisi saya, lalu meluncur ke rumah sakit. Kawan yang mengantarkan bahkan sudah memeluk saya sembari bilang: βI really hope the baby will be born today,β
Tapi ternyata tidak.
Setelah melalui prosedur yang sama, bidan menyatakan bahwa kontraksi saya belum memicu fase aktif persalinan. Memang ada progress dari kunjungan pertama, tapi belum signifikan. Dan lagi-lagi, dia hanya memberi saya painkiller lalu meminta saya pulang
Saat itu saya patah hati. Antara capek karena bolak-balik rumah sakit. Jengkel karena tidak dibolehkan menunggu di rumah sakit saja. Juga marah pada diri saya sendiri karena tidak bisa membedakan level-level kontraksi.
Bidan yang menangani saya pagi itu seperti membaca kekecewaan saya. Dia pun kemudian menjelaskan bahwa untuk anak kedua, dengan riwayat anak pertama SC sebelum fase aktif (saya baru bukaan dua ketika anak saya mengalami fetal distress dan dokter memutuskan untuk melakukan operasi cesar), juga dengan jarak umur yang cukup jauh, susah untuk mengidentifikasi kualitas dan kuantitas kontraksi. βItβs like having a first child again. Your body needs time to adjust. And it can be long,β begitu jelasnya.
Baiklah. Saya menyerah. Sudah cukup saya (dan suami tentu saja) berdiam diri dalam fase menunggu beberapa hari terakhir itu. Sudah terlalu melelahkan baik secara fisik maupun mental. Maka kami pun memutuskan kembali ke rutin. Suami kembali bekerja di kampus. Saya kembali kursus bahasa Swedia. Kontraksi coba diabaikan dengan melakukan hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan kelahiran. Kalau tiba-tiba lahiran bagaimana? Well, come what may! Toh rumah sakit dekat dengan kampus saya dan kampus suami. Saya bertekad tidak akan ke rumah sakit sebelum ada tanda persalinan yang lain. Seperti air ketuban atau darah misalnya.
Di akhir pekan (8-9/12) tanda baru muncul. Mucus plug saya keluar. Kali ini saya tidak menelpon rumah sakit. Dari beberapa referensi yang saya baca, mucus plug bukanlah penanda signifikan. Kalau saya menelpon saat itu, paling juga masih bukaan satu dan hanya akan diminta pulang lagi. Malu akutuuuu π
Saya pun menenggelamkan diri dalam rutinitas. Bahkan mengikuti ujian nasional Bahasa Swedia (dan lulus! Yay!) pada tanggal 11&12 Desember, meskipun sejujurnya, ikut tes dengan perut senat senut itu berat, Rudolvo! Apalagi waktu listening, pas kontraksi datang, Bahasa Swedia terdengar seperti Bahasa Finlandia di telinga saya π . Tapi saya pikir, mungkin ujian justru bisa menginduksi kontraksi saya jadi lebih cepat. Hehehe.
Satu hari setelah ujian adalah tanggal perkiraan lahir si jabang bayi. Saya harap-harap cemas karena ada tanda baru yang datang: bloody show. Awalnya hanya sedikit. Lalu bertambah banyak di hari-hari berikutnya. Saya pun menelpon kembali, tapi bidan hanya mengatakan: βThatβs a good sign. You can come to the hospital but if itβs not an active labor, Iβm sorry weβll have to send you home again.β
Saya pun memutuskan menunggu saja di rumah.
Minggu (16/12), kontraksi yang datang mulai terasa berbeda. Rasanya seperti melingkari perut dan pinggang bagian bawah hingga ke pelvic area. Saya bersabar diri untuk tidak menelpon rumah sakit. Tapi Senin (17/12) pagi, saya benar-benar tak kuat lagi. Saya pun menelpon dan memutuskan untuk ke rumah sakit. Suami sempat galau karena hari itu dia harus mengajar di kota lain. Saya yang setengahnya masih pesimis meminta dia untuk tetap berangkat mengajar dan saya akan ke rumah sakit sendirian.
Sesampainya di rumah sakit, prosedur yang sama kembali dilakukan. Dari monitor saya bisa melihat bahwa kontraksi saya jauh lebih kuat dari yang sudah-sudah. Tapi detak jantung bayi saya stabil. Fyuh. Ini yang sejujurnya saya kuatirkan mengingat riwayat anak pertama saya. Kehamilan kali ini, saya memang berharap bisa melakukan VBAC (Vaginal Birth after Cesarean). Bukan apa-apa sih, saya bukan penganut anti SC atau anti VB. Buat saya keduanya sah-sah saja dilakukan selama mempertimbangkan kesehatan dan keselamatan ibu dan bayi. Tidak berarti yang satu lebih tinggi atau lebih baik dari yang lain. Saya sudah bosan dengan debat kusir ala netijen soal SC vs VB.
Everyone fights a battle you know nothing about. Say something nice or forever silent.
Saya menginginkan VBAC karena berharap proses recovery yang lebih cepat dibanding saat melahirkan anak pertama dulu. Mengingat, tidak ada keluarga yang bisa membantu di sini.
Anyway, setelah dicek ini itu, bidan menyampaikan saya bukaan dua. Dalam hati saya bersyukur karena ada progress sekaligus kuatir karena baru 2 gini aja sakitnya bukan main. π
Melihat saya mengernyit kesakitan, bidan sempat bimbang soal menyuruh saya pulang dulu. Dia pun berkonsultasi dengan rekannya lalu berujar: βWe think itβs better for you to wait at home. If youβre progressing well, you can come again either tonight or tomorrow.β
Duh, ditolak tiga kali. Sekali lagi dapat payung cantik ga, bu bidan?
Saya yang sudah malas berargumen hanya mengangguk dan meninggalkan ruang periksa sambil menahan kontraksi. Saya berusaha berjalan ke tempat pemberhentian bus, tapi kontraksi semakin kuat. Akhirnya saya menghubungi salah seorang kawan dan memintanya mengantar saya pulang. Sambil menunggu kawan saya itu, saya memberitahu suami bahwa dia bisa mengajar dengan tenang karena saya baru bukaan dua. Kalaupun lahir hari itu, masih malam nanti paling cepat.
Saya pun pulang dengan teman saya dan bahkan sempat fika bersama di rumah. Mengobrol membantu mengalihkan perhatian saya dari rasa sakit. Jam 12.30 teman saya itu pamit dan saya mencoba beristirahat. Tapi rasa sakit yang datang semakin sering dan kuat. Saya berusaha bertahan. Menjerit dan menangis memanggil Ibu dan suami saya (yang tidak ada gunanya lha wong saya sendirian di rumah π ). Saya berusaha mengatur nafas. Berusaha rileks. Tapi sakitnya tetap tidak tertanggungkan.
Akhirnya, sekitar pukul 15.00 saya meminta teman saya yang lain untuk mengantar saya kembali ke rumah sakit. Setelah sebelumnya saya menelpon dan bahkan tidak sanggup menyebutkan personnummer saya sehingga bidan pun langsung bilang: βYes, just go to the hospital now.β Saya juga mengirim pesan pendek-pendek ke suami: βHayu ga kuat.β βHayu ke rumah sakit lagi.”
Di jalan, kontraksi semakin menjadi-jadi. Kawan saya berbaik hati meminjami tangannya. βHere, squeeze my hand,β ujarnya. Saya pun nyengir dan meremas tangannya setiap kali kontraksi datang. Yang rasanya seperti tanpa jeda.
Sesampainya di rumah sakit, saya bilang ke teman saya itu: βItβs okay, you donβt need to stay, Iβve told Zaki and I think heβs on his way,β.
“No, donβt worry, Iβll stay until heβs here,β bantahnya.
Di Swedia, calon ibu yang mau melahirkan boleh didampingi oleh maksimal dua orang. Dan itu bisa siapa saja yang dipilih oleh calon ibu. Tidak harus pasangan atau keluarga. Maka meskipun teman saya itu tidak ada pertalian darah dengan saya, dia boleh masuk dan menemani.
Kami lalu menuju labor ward nomor 3. Saya langsung dipasangi alat monitor detak jantung dan kontraksi. Juga ditawari pilihan pengurang nyeri. βWeβll start with Alvedon.β Bahkan dalam rasa sakit yang menjadi itupun rasanya saya ingin ketawa. Alvedon lagi? Seriously? Ga mempan buuuuu.
Painkiller selanjutnya adalah lustgas (gas tawa) yang berisi campuran oksigen dan nitrogen. Bidan memberi tahu saya cara menggunakannya. Sementara perawat memasang katup di lengan kanan saya kalau-kalau saya butuh injeksi atau tranfusi. Semua penanda vital terlihat normal. Bidan yang mengecek fisik memberitahukan kalau saya sudah bukaan 4.
Akhirnya, saya tidak ditolak lagi π .
Menit-menit berikutnya adalah menit-menit panjang berisi teriakan tertahan saya dan tarikan nafas yang berusaha diatur sebaik mungkin. Saya tetap kesakitan. Painkiller selanjutnya adalah injeksi morfin. Jujur saya tidak tahu apakah ketiga painkiller itu berpengaruh karena nyatanya saya tetap merasakan sakit. Tapi setidaknya gas yang saya hirup membuat perhatian saya sedikit teralihkan.
Sekitar pukul setengah 5 suami sampai di rumah sakit. Begitu masuk ruangan melahirkan, pertanyaan pertamanya adalah: βIni sudah boleh di sini kan? You wonβt send us home again, will you?”
Yaelah Bang, uda aktif labor pake banget ini. Ga lihat istrimu sudah meronta-ronta enggak keruan? π
Suami saya lalu menghampiri saya, memeluk saya, membisiki saya banyak hal. Saya hanya bisa mengangguk lemah. Meremas bajunya (belakangan saya tahu kulitnya ikut teremas juga π ), dan melantunkan istighfar dan doa:
“Allahumma yassir wa laa tu’assir..β Beri kemudahan ya Allah, beri kemudahan..
Jujur yang ada di bayangan saya saat itu adalah perjuangan Maryam melahirkan Isa AS. Surah yang kerap saya dengarkan di trimester akhir kehamilan itu seperti diputar jelas di benak saya. Maryam yang menahan sakit karena melahirkan. Maryam yang bersandar di pohon kurma. Ya Allah, ternyata rasanya seperti ini.
Entah pukul berapa, bidan memberitahu bahwa saya sudah bukaan 8 dan menanyakan apakah saya ingin menggunakan epidural. Saya mengangguk cepat, tapi lalu berubah pikiran. βIs there any side effect? What would you recommend? Do you think I can do it without epidural?β tanya saya dengan nafas tersengal. Bidan tersebut menjawab: βNo, thereβs no side effect. Itβs just if you wanted to have it we should do it now otherwise itβs gonna be useless. Itβs up to you. But I think youβre a strong woman and itβs not long anymore so I think you can do it without epidural.”
Berbekal itu, saya menuju bukaan 10 tanpa epidural. Bidan memberi instruksi agar saya mengejan dan mengatur nafas sesuai arahannya. Juga memberi tahu bagaimana posisi kepala saya seharusnya. Satu kali. Jeda. Dua kali. Jeda. Sayup-sayup saya mendengar asisten perawat berkata: βOh I can see the hair, do you want to touch it?β Saya menggeleng. Suami berbisik pelan: βSedikit lagi sayang, adek sudah kelihatan, ayo, bismillah.β
Detik sesudahnya saya mengejan dan alhamdulillah, pukul 18.25, si jabang bayi, our baby K, lahir di dunia. Rasanya langsung lega. Kontraksi pergi. Berganti pegal dan senut-senut di sana-sini. Tapi waktu melihat dan mendengar bayi merah kebiruan itu menangis, saya tidak peduli lagi. Alhamdulillah. Alhamdulillah. I did it.
Bidan langsung menelungkupkan bayi mungil itu dalam dekapan saya. Suami memeluk saya. Melantunkan adzan di telinga putri kedua kami. Lalu 10 menit kemudian, plasentanya lahir. Saya sudah tidak peduli lagi dengan apapun yang dilakukan bidan di bawah sana π . Dijahit berapa saya tidak mau tahu. Saya hanya merasa bahagia, sekaligus capek, sekaligus rasanya kok ngantuk sekali π .
Suami ditawari kesempatan untuk memotong tali plasenta. Yang tentu saja dia ambil. Lalu kami diberi waktu untuk menikmati momen pertama dengan si bayi bertiga. βIβll be back with a fika,β kata bidan sambil menepuk punggung saya. Ah iya, saya hampir lupa ini Swedia, fika itu wajib hukumnya. Habis melahirkan sekalipun. π
Tak lama bidan kembali datang dengan senampan sandwhich, teh panas (saya sempat ditanyai mau teh atau kopi dan saya memilih teh), dua gelas apple cider tanpa alkohol, dan bendera Swedia.
What a Swedish way to welcome a newborn π
Saya merasa, sandwhich malam itu adalah sandwhich terenak yang pernah saya makan π . Padahal hanya berisi keju, paprika dan mentimun. Memang benar kata orang, makanan terenak adalah makanan yang dimakan paska melahirkan π .
Sekitar pukul 21.00, bidan dan perawat yang membantu persalinan saya pamit karena sudah waktunya mereka berganti shift. Si bidan menyerahkan kartu kelahiran dengan data anak saya, lalu secara mengejutkan (karena orang Swedia tidak biasa kontak fisik), memeluk saya sambil berujar: βYouβre doing really great for someone who gives vaginal birth for the first time. Youβre a strong woman. Stort grattis. I wish you and your baby a good luck.β Dan saya hanya bisa mengucapkan terima kasih berkali-kali. Then we bid a farewell. Oh ya, ngomong-ngomong, bidan yang membantu persalinan saya adalah bidan yang menolak kedatangan saya pertama kali. Yang mengatakan bukaan saya βjust a finger tipβ. Selama proses persalinan dia begitu telaten dan sabar. Saya sangat bersyukur bisa dibantu oleh bidan yang berpengalaman, profesional, supportif dan baik hati seperti dia (du Γ€r fantastisk, Anne Marie! Tusen tack!)
Beberapa jam sesudah kelahiran, apabila tidak ada komplikasi, ibu dan bayi bisa langsung pindah ke Family BB hotel. Semacam ruang rawat inap kalau di Indonesia tapi dengan desain dan nuansa hotel bukan rumah sakit. Sayangnya, ternyata saya mengeluarkan cukup banyak darah, 1 liter lebih, sehingga harus diobservasi di bangsal BB-avdelning. Bangsal ini berisi ibu-ibu hamil atau setelah melahirkan yang mengalami masalah baik dengan bayinya atau dengan tubuhnya sendiri. Dalam kasus saya, karena saya pingsan dua kali pas ke kamar mandi dan hemoglobin serta iron saya drop, maka saya harus dirawat di sana. Bayi saya sendiri baik-baik saja. Semua tes setelah kelahiran menunjukkan kondisi normal. Saya hanya harus menunggu badan saya pulih dulu.
Setelah 4 malam dan dua kantung tranfusi darah, saya membaik. Bisa jalan, mandi, tanpa jatuh pingsan. Lalu kami diperbolehkan pulang. Meskipun saya masih harus menggunakan kateter karena bladder saya belum kembali normal dan masih harus kontrol ke rumah sakit. Tapi saya sudah lega. Penantian panjang 14 hari itu terbayar sudah. Kini hari-hari diisi dengan mengurusi bayi kecil yang tiba-tiba saja menjadi bagian penting dari keluarga kami. Kadang masih ada rasa janggal. Meminjam istilah anak pertama saya: βItβs weird sometimes to realize that thereβs a new baby in this house.β π
Melahirkan anak saat jauh dari support system memang tidak bisa dibilang mudah. Terutama ketika negara tempat tinggal sekarang menuntut kita untuk beradaptasi dan mengubah kebiasaan (semisal tentang tidak bisa menunggu bukaan di rumah sakit). Tapi sungguh, saya bersyukur karena meskipun jauh dari orang tua dan sanak saudara, saya dikelilingi teman-teman yang baik. Yang sejak awal sudah menyatakan keinginan dan kesanggupannya untuk membantu saya. Kawan yang satu selalu siap menjadi βbaby taxiβ. Kawan yang lain menampung dan menjaga anak pertama saya ketika saya masih di rumah sakit. Kawan yang lainnya lagi selalu stand by kalau-kalau saya butuh bantuan. Bahkan ketika kontraksi datang dan pergi tanpa tahu di mana ujungnya, mereka semua berdoa agar saya melahirkan sebelum mereka pergi berlibur saat natal. Saya tidak tahu doa siapa yang diamini malaikat dan dikabulkan Tuhan. Tapi saya merasa, anak saya benar-benar lahir di waktu yang tepat. Bukan tepat di hari perkiraan. Tapi tepat di saat saya siap. Tepat ketika saya sudah selesai ujian nasional. Tepat ketika Ayahnya merampungkan jadwal mengajarnya semester ini. Tepat ketika kakaknya libur sekolah. Tepat ketika kawan-kawan saya masih berada di Lund dan siap membantu saya kapanpun saya perlu.
Cerita kelahiran di Swedia ini bukanlah cerita yang sempurna. Saya masih harus berkutat dengan berbagai ketidaknyamanan paska melahirkan. Dengan kecemasan dan kekhawatiran khas ibu baru (punya anak lagi setelah 8 tahun ternyata kayak punya anak pertama lagi, lupa semua ilmunya π ). Dengan segala hal ini-itu. Tapi saya bersyukur menjalani ini semua bersama orang-orang terbaik yang bisa saya miliki. Dengan si kakak yang sudah cukup besar untuk diajak bekerjasama. Dengan suami yang meskipun tidak biasa (dan tidak bisa) melihat saya sakit, selalu ada di samping saya, mendukung saya, memastikan saya (dan anak-anaknya) terawat dan terjaga dengan baik.
Memang, perlu waktu untuk menyesuaikan diri.
Change needs time.
Dari semula berdua, bertiga, lalu kini berempat, pasti ada hal-hal yang berubah. Jadwal yang perlu ditata lagi. Rutin yang perlu diperbarui.
14 hari menuju kelahiran anak kedua saya adalah salah satu momen yang akan saya ingat untuk selamanya. Sebagai bagian dari perjalanan The Unsettled Family menjadi empat sekawan. Sebuah perjalanan yang mengajari kami semua betapa Tuhan sudah mengatur segala sesuatunya dengan baik. Dan betapa doa-doa yang dipanjatkan, baik oleh keluarga, teman dan kami sendiri, tidak pernah sia-sia. Untuk mereka-mereka yang selalu mendukung kami dengan doa di manapun berada, terima kasih banyak, ya. ππΌπ
Leave a Reply