Ramai pembahasan soal adaptasi novel Bumi Manusia ke film membawa serta diskusi tentang tradisi membaca buku di Indonesia. Terutama setelah bermunculan komentar-komentar dari mereka-mereka yang (sepertinya) belum pernah membaca Bumi Manusia, tidak kenal karya-karya Pramoedya Ananta Toer, atau setidaknya malas googling.
Banyak yang berasumsi bahwa mereka yang berkomentar kurang pas tersebut adalah generasi milenial. Anak sekarang. Kids jaman now. Diskusi kemudian bergeser menjadi dikotomi: generasi tua baper vs generasi muda ignorant. Saya sendiri tak tahu siapa golongan kedua yang dimaksud. Tapi jujur, saya kurang suka dengan cara mereka berkomentar (menurut saya kalau tidak tahu mending mengaku dan bertanya daripada sok).
Tapi saya paham bahwa ini bukan sepenuhnya salah mereka. Bumi Manusia dan seri lanjutannya memang tidak pernah diajarkan di sekolah-sekolah. Bahkan sempat setengah “dilarang” karena penulisnya mantan tahanan politik. Generasi sekarang tidak tumbuh dengan membaca karya-karya Pram. Bahkan saya pun, membaca Bumi Manusia baru ketika kuliah dan menamatkan tetraloginya setelah menikah.
Maka sebenarnya, tidaklah mengherankan jika generasi muda tersebut asing dengan karya-karya Pram. Dan tidak ada yang salah dengan hal itu. Tidak semua orang harus membaca Bumi Manusia. Tidak semua juga harus menyukai karya-karya Pram. Selera dan preferensi adalah soal hak. Menjadi masalah jika kemudian yang tidak tahu itu tidak mau tahu, sementara yang tahu tidak mau memberi tahu. Arogansi semacam inilah yang meniadakan diskusi. Menghasilkan debat kusir. Saling menyalahkan. Dan sudah cukup lama masyarakat kita berkomunikasi dengan pola yang terpolarisasi , yang ditandai dengan ketidakmampuan untuk melihat pendapat orang lain sebagai BENAR dan pendapat kita adalah SALAH.
Hal ini diperparah dengan karakter media sosial yang memungkinkan kita menjadi mudah menghakimi. Nyaman mengemukakan pendapat sekaligus merasa bebas ngomong apa saja yang dianggap benar. Media sosial tidak membiasakan kita mengambil jeda. Untuk berpikir dulu sebelum menulis di kolom komentar. Pokoknya kalau tidak setuju/tidak suka ya langsung dirundung saja.
Balik ke soal buku Bumi Manusia, sebelum mencerca atau meninggalkan komentar yang kurang pas, coba cari informasi dulu. Kumpulkan data. Jangan ragu bertanya. Baru berkomentar. Kalau perlu, baca dulu bukunya, sekilas juga tidak apa-apa, minimal untuk tahu isinya baru kemudian menentukan apa pendapat kita setelahnya. Jangan buru-buru meletakkan diri dalam kotak: fans Iqbal dan Dilan garis keras atau pendukung setia Minke. Seolah-olah pilihan di dunia ini hanya itu saja. Kalau tidak mau membaca, ya setidaknya jangan berkomentar asal.
Membaca itu sendiri melatih isi kepala. Membiasakan diri dengan banyak pemikiran. Termasuk pemikiran yang lain dengan yang kita yakini.
Kalau tidak suka dengan isi buku, buat tandingannya. Pemikiran seharusnya dihadapi dengan pemikiran. Buku dilawan dengan buku. Tulisan dicounter dengan tulisan. Bukan dengan parang dan batu. Apalagi celoteh tak berdasar di media sosial. Begitu idealnya bermedia.
Hal yang sama berlaku juga untuk film. Biarkan saja adaptasi yang sekarang menggunakan interpretasinya sendiri. Kalau tidak suka, buat film tandingannya. Tulis opini di koran. Buat review di blog. Biarkan orang yang tidak tahu menjadi tahu bahwa karya Pram bisa dimaknai lebih dari sekedar cerita cinta.
Yang menyeramkan dari adaptasi karya, sesungguhnya bukanlah penafsiran parsial (sebagian) tapi penafsiran tunggal yang kemudian diyakini sebagai satu-satunya kebenaran.
Dan kita tentunya tidak perlu jauh-jauh mencari tahu apa efek dari penafsiran \semacam itu.
Jadi Dek, Om, Bro, Sis, Pakdhe, Kakak, Budhe, sebelum komentar tentang Bumi Manusia, sebaiknya cari tahu dulu. Baca dulu. Kalau tidak tahu, tanya. Kalau ragu, pastikan. Berpura-pura tahu itu tidak pernah membawa kebaikan apapun. Justru akan memalukan pada akhirnya. Sebaliknya, sebelum berkomentar tentang generasi jaman now, ambil jeda dulu, bayangkan menjadi mereka, pahami bentukan seleranya. Kalau memang ternyata perlu diberi tahu, silahkan diberi tahu. Dengan baik-baik tentu saja.
Toh sebenarnya, tidak ada yang baru dengan ketegangan generasi tua dan muda. Hal-hal semacam ini sudah mendarah daging dalam sejarah kehidupan manusia. Pertanyaanya pun masih selalu sama, kalau masing-masing ngotot dengan versinya sendiri-sendiri, mau sampai kapan terus begini? Halah!

Leave a Reply