Pohon Melinjo, yang bernama latin Gnetum gnemon, lebih lazim disebut dengan pohon So di kampung halaman saya. Saya tidak tahu persis dari mana sebutan itu berasal, tapi pohon So adalah salah satu tanaman yang mudah ditemui di halaman belakang rumah-rumah.
Mungkin karena pohon ini termasuk mudah tumbuh di tanah yang kering dan berkapur. Mungkin juga karena pohon ini memiliki banyak fungsi: daun dan kulit buahnya bisa disayur, sementara buahnya diolah menjadi emping.
Tanpa saya sadari, pohon So telah menjadi bagian penting dari memori saya atas kampung halaman. Salah satu hal yang paling saya ingat dari masa kecil saya adalah menyaksikan nenek saya memanen melinjo dari dua pohon besar yang ada di belakang rumahnya. Dan saya yang memunguti buah-buah melinjo, memisahnya sesuai warna: hijau, kuning, atau merah.
Saya sendiri sebenarnya bukan penggemar daun So. Tapi siang tadi, saat berbelanja di salah satu toko spesialis bahan-bahan Asia di Lund, dan memegang sebungkus daun So seharga 15 kronor (sekitar Rp. 24.000) yang diimpor dari Thailand, tiba-tiba saya menyadari betapa jauhnya saya dari rumah saat ini.
Tak ada pohon So di belakang rumah yang saya tinggali. Tak ada butir-butir pohon melinjo warna-warni yang perlu saya masukkan ke karung-karung saat masa panen tiba. Hanya ada beberapa pohon apel yang mulai bersemi, juga pohon Birch yang memagari rel kereta.
Maka sebungkus daun So itupun saya bawa pulang. Saya berniat memasaknya persis seperti Ibu saya biasa memasaknya. Meski saya tahu, Ibu saya tak pernah mengeluarkan uang sepeserpun untuk segenggam daun So karena tinggal memetiknya dari halaman belakang rumah. Meski saya yakin, Ibu saya akan “protes” kalau mengetahui bahwa saya mengeluarkan Rp 24.000, hanya untuk segenggam daun So π .
Lalu sore ini, saat dapur saya dipenuhi aroma tumisan bawang putih, bawang merah, dan lengkuas, mata saya berair. Sebagian karena habis mengiris bawang :D. Sebagian karena ada banyak kesadaran yang perlahan menyeruak. Menyesaki batin saya seiring saya memasukkan tahu, daun So dan bumbu-bumbu ke dalam wajan.
Betapa selama ini, ada beberapa hal yang sering saya perlakukan secara taken for granted. Saya terima begitu saja tanpa menganggapnya dengan serius, seperti saya memperlakukan pohon So di belakang rumah. Saya tidak menyadari betapa sesuatu bisa begitu berarti, hingga saya tinggal jauh dari rumah begini. Saya tidak menyadari betapa ada banyak makna yang tersimpan dalam hal-hal yang tampak sepele. Dalam segenggam daun So, misalnya.
Saat tumisan daun So dan tahu saya sudah matang, ada rasa tenang yang menjalari dada saya. Senyum saya mengembang menyaksikan suami dan anak saya makan dengan lahap. Ah, kadang kita memasak memang bukan hanya untuk menyiapkan makanan. Kita memasak untuk menghangatkan kenangan dan menyalakan kerinduan pada kampung halaman.
Bon AppΓ©tit!
Leave a Reply