Wajah saya mendadak sumingrah saat kami melewati satu toko di Klostergatan. Sayapun berhenti sebentar. Menatap etalase di depan saya dengan mata berbinar. “Waaaahhhh, bagus banget sepatunya,” kata saya sambil menunjuk sepatu boots berbahan kulit dan berwarna dusty pink. Suami saya hanya tersenyum kecil lalu berujar: “Ada apa sih dengan kamu dan sepatu?”
Ya. “Ada apa dengan saya dan sepatu?”. Pertanyaan itu juga kerap saya ajukan ke diri saya sendiri. Di antara sekian banyak aksesoris yang diidentikkan dengan wanita, saya paling mudah tergoda oleh sepatu. Koleksi saya bukan sangat banyak. Karena bagaimanapun, obsesi seringkali dibatasai oleh keadaan dan kemampuan. Haha. Jadi seberapapun terobsesinya saya dengan sepatu, saya tak sampai harus punya lemari khusus. Meskipun, harus saya akui, saya pernah punya puluhan alas kaki di waktu yang bersamaan (dulu sebelum negara api menyerang 😀 ).
Kalau dipikir-pikir, semua ini barangkali berhubungan dengan trauma masa kecil saya yang tak pernah menemukan sepatu yang pas karena persoalan ukuran. Kalaupun ada, pasti merek ternama, impor, dan harganya tidak masuk anggaran saya. Ukuran kaki saya memang tak lazim. Size 40-41 untuk orang Indonesia sering dianggap aneh. Bahkan, pernah suatu ketika saya berbelanja di pusat perbelanjaan di Jogja. Lalu saat saya bertanya adakah ukuran 40 untuk alas kaki yang saya taksir, jawaban pramuniaganya adalah: “Enggak ada kali mbak cewek yang ukuran kakinya 40. Di mana-mana ukuran kaki cewek itu maksimal 39”. Duh, sakit hati adek, Bang!
Maka sejak kecil, saya terpaksa membeli sepatu yang ukurannya lebih kecil. Jari kaki saya terpaksa saya tekuk sedemikian rupa untuk menyesuaikan dengan ukuran “normal” sepatu perempuan di Indonesia. Bekas tekukan menahun itu sekarang pun masih ada meskipun kondisinya sudah jauh lebih baik. Kaki panjang saya membuat saya sedih, sekaligus malu, sekaligus tidak menyukai tubuh saya sendiri. Sebegitu frustasinya saya dengan persoalan panjang kaki sampai-sampai saat SD, saya pernah berdoa begini:
“Ya Allah, berilah saya kaki yang kecil seperti punya teman-teman.” 😀
Namun, itu semua berubah ketika saya tinggal di Perth, Australia. Ukuran sepatu yang pas untuk saya tersedia di mana-mana. Tak harus merek terkenal, yang tak bermerek pun selalu punya ukuran 40/41. Sejak itu saya pun keranjingan. Hampir tiap bulan saya berbelanja sepatu. Ketersediaan pilihan membuat saya menikmati arti memakai sepatu yang sesungguhnya. Sekaligus membuat saya menerima fakta ukuran kaki saya dan tak lagi malu, tak lagi mempersoalkan, tak lagi menganggap itu sebagai masalah.
Saya kemudian sadar, sepatu bukan hanya soal menutup kaki. Sepatu adalah soal kenyamanan. Bahkan kesehatan. Sepatu yang tepat memberikan rasa percaya diri dan pengalaman berjalan kaki yang menyenangkan. Sepatu yang pas tak membuat kita gampang mengeluh, sakit karena terkilir atau minimal kecapekan. Sepatu yang nyaman membuat kita menikmati dan memahami perjalanan. Dan yang lebih penting, sepatu yang tepat membuat kita menerima diri kita sendiri. Tak heran seorang Sapardi Djoko Damonopun sering menyebut sepatu dalam karya-karyanya:
Sepasang sepatu tua saling membisikkan sesuatu yang hanya bisa mereka pahami berdua
…
Ia mungkin akan mengajakmu bercakap tentang cuaca, tentang debu, tentang sepasang sepatu yang kau kenakan, tentang matahari
Kadang saya merasa, jika dianalogikan sebagai perjalanan, maka hidup adalah persoalan mencari “sepatu” yang tepat. Sepatu yang nyaman, menyenangkan dan membuat kita percaya diri. Dan itu mewujud dalam pekerjaan, pertemanan, pasangan, juga keluarga.
Sebagaimana kita membutuhkan sepatu yang tepat ketika traveling, seperti itu jugalah kita membutuhkan “sepatu” yang tepat dalam hidup. Kita butuh profesi yang mendefinisikan diri kita sebenarnya. Kita butuh teman, pasangan juga keluarga yang supportif, yang membuat kita menerima dan mencintai diri kita sendiri. Maka, lebih berhati-hatilah dalam memilih “sepatu” yang satu ini. Karena, tidak seperti sepatu yang ada di toko-toko, sepatu yang satu ini tak punya garansi. 🙂
Leave a Reply