Sebagai generasi yang lahir pertengahan 1980an, saya adalah generasi MTV yang masa pembentukan karakternya dihiasi dengan menonton boyband lalu lalang di televisi. NSync, Westlife, Backstreet Boys, Boyzone adalah sederet grup yang wajah para personilnya menghiasi dinding kamar saya, berdampingan dengan poster para pemain sepak bola.
Namun, selain sebagai generasi MTV, saya juga adalah generasi 90an yang tumbuh dengan menonton film India di salah satu stasiun televisi yang (waktu itu) mengklaim dirinya sebagai televisi pendidikan 😅. Inspektur Vijay, Nandini si Siluman Ular, dan Tuan Takur adalah nama-nama yang tidak asing di telinga saya. Sewaktu SD, merekalah yang kerap saya lihat siang-siang sepulang sekolah (secara tidak utuh karena pasti ceritanya sudah hampir selesai ketika saya sampai di rumah).

Pengalaman menonton film India yang tidak utuh itu belakangan ternyata memberikan satu memori khusus bagi saya. Terutama ketika salah seorang teman sekelas saya di masa SMP mengajak saya menonton “Kuch-kuch Hota Hai“, drama romantis ala India yang ceritanya berputar di persoalan cinta dan persahabatan (iya klise iya, ga usah dibahas 😀 ). Saya yang sedang di masa puber, seketika langsung terpesona pada film itu (juga pada Shahrukh Khan, ahem!), dan mulai berpikir bahwa jatuh cinta lalu tiba-tiba menari dan bernyanyi mengelilingi pohon di kala hujan itu seru juga 😅 . Sebegitu tersihirnya saya dengan film tersebut, sampai-sampai saya menabung untuk membeli kaset berisi lagu-lagunya. #semuaorangpernahalaydimasanya 😀
Di momen yang bersamaan, sebuah rental film baru saja dibuka di dekat SMP saya sehingga, menyewa (lalu menonton) film India kemudian menjadi agenda rutin bagi saya dan teman-teman. Sederet judul kami tonton bersama. Sebut saja Mann, Dilwale Dulhaniye Le Jayenge, Chori Chori Chupke Chupke, dan masih banyak lagi yang lain.
Kebiasaan itu terbawa hingga SMA. Waktu itu, saya kerap menyewa film untuk saya tonton sendiri atau bersama kakak saya yang belakangan juga jadi ikut-ikutan menggemari film India. Bahkan, kami berdua sering berburu VCD berisi lagu-lagu India untuk diputar di rumah. Dan seperti halnya kebiasaan saya bergonta-ganti idola, perjalanan crush saya pun berpindah-pindah dari Shahrukh Khan, Fardeen Khan, Arjun Rampal, hingga Shahid Kapoor.
Di masa-masa itu, hampir semua teman-teman terdekat saya pasti tahu bahwa saya pernah begitu terobsesi dengan India. Pernah suatu ketika dalam perjalanan ke Solo bersama teman SMA saya, saya membawa walkman dan kaset (iya waktu itu belum jaman Spotify!) lagu India khusus untuk didengarkan sepanjang perjalanan. Tak heran ketika menikahi Zaki (yang sepersekian persen berdarah India), banyak teman dekat saya yang berkomentar bahwa itu adalah “dream comes true” buat saya. Hahaha.
Namun sejak kuliah, saya makin jarang menonton film India. Entah mengapa saya tak lagi terlalu tertarik untuk menonton film-film itu. Mungkin karena pesona Hollywood mengalahkan pesona Bollywood di mata saya. Atau mungkin karena ketika kuliah, saya bertemu dengan banyak referensi dan pilihan-pilihan baru. Sehingga, pandangan saya atas film India pun menjadi berubah. Kalaupun menonton, saya cenderung menskip beberapa bagian karena tidak sabar menunggu tiga jam untuk tahu akhir ceritanya :D.
Memang masih ada beberapa film India yang saya tonton dalam rentang lima tahun terakhir, terutama ketika masih mengajar di kampus. Beberapa kali saya menggunakan film India sebagai contoh kasus di kelas. Namun tetap saja frekuensi dan durasinya tidak sesering dulu. Itupun saya lebih banyak menonton film India yang bergenre lain. Bukan komedi romantis seperti yang dulu saya sukai.
Tapi beberapa minggu lalu, ketika saya sedang buntu menulis cerpen bernuansa romantis, saya memutuskan untuk menonton film India lagi. Entah mengapa saya berpikir, barangkali film-film India tersebut mampu membangkitkan perasaan romantis dalam diri saya. Barangkali kisah cinta utopis dalam film India bisa menjadi antidot dari suramnya musim dingin di Swedia yang membuat cerpen-cerpen saya belakangan menjadi sinis dan pesimistis 😀 .
Maka saya pun menelusuri Netflix dan memilih film-film India yang ada di sana. Saya putar satu film. Saya percepat. Selesai. Saya putar yang lain. Saya percepat. Selesai. Begitu terus sampai kemudian saya menyadari bahwa saya kembali dibuat terpesona oleh Shahid Kapoor. Duh! Dan seperti yang sudah-sudah, saya mulai membaca-baca lagi tentang aktor tersebut. Mencari tahu film-filmnya yang lain. Mengistirahatkan Spotify saya dan beralih ke Hungama (semacam online playlist lagu-lagu India) untuk mendengarkan lagu-lagu dari filmnya. Ealah.

Barangkali selera saya belum sepenuhnya berubah. Barangkali selera saya hanya sedikit berganti arah. Dan suami saya yang sudah hapal dengan kelakuan saya pun hanya geleng-gelang kepala. Sementara saya merespon santai: “Nanti juga hilang (crushnya). Jadi untuk sementara ini, biarkan aku bernyanyi”:
Na Hai Yeh Paana
Na Khona Hi Hai
Tera Na Hona Jane
Kyun Hona Hi HaiTum se hi din hota hai
Surmayi shaam aati hai
Tum se hi, tum se hi
Har ghadi saans aati hai
Zindagi kehlaati hai
Tum se hi, tum se hi
😀
Leave a Reply