Jauh sebelum saya mengunjungi negara empat musim, musim gugur sudah menjadi musim favorit saya. Meski lahir dan besar di negara dua musim yang hanya mengenal hujan dan kemarau, entah mengapa saya merasa terhubung dengan memori musim gugur yang saya baca di majalah-majalah, saya lihat di televisi atau saya bayangkan dari puisi-puisi. Mungkin karena karakter dasar saya yang (sok) romantis dan melankolis. Sehingga daun-daun jatuh saya anggap sebagai momen magis yang menghanyutkan.
Jangankan musim gugur di belahan bumi selatan atau utara, “musim gugur” di kampung halaman saya, yang ditandai dengan daun-daun pohon Akasia yang berguguran, atau pohon Jati yang meranggas, sudah cukup membuat saya duduk melamun lama menikmati setiap detilnya.

Ah, saya ini memang sentimentil. Gemar berkubang dalam romantisme yang saya buat-buat sendiri.
Maka kali pertama saya menjalani musim gugur secara langsung, saya langsung jatuh cinta dengan warna kuning, merah, atau coklat keemasan, yang seolah-olah saling berebut perhatian di hadapan saya. Saya seperti tidak peduli, pada angin dan hujan yang menandakan bahwa musim dingin akan segera datang. Seberapa sering pun saya menyusuri jalan-jalan di musim gugur, mata saya tetap terbelalak, terpesona, setiap kali saya melihat hamparan daun-daun berubah warna.

Tak heran saya termasuk produktif menulis di musim gugur. (Maksudnya produktif itu minimal satu – dua tulisan jadi lah ya dalam empat bulan. Hahaha). Standarnya terlalu rendah! XD. Salah satu cerpen saya yang berjudul “Angin Musim Gugur di Dobutsuen Mae” (bisa dibaca di kumpulan cerpen Siklus Cinta btw 😀 ) juga saya tulis ketika saya mengunjungi Jepang di musim gugur tahun 2015 lalu.
Musim gugur kali ini adalah musim gugur pertama saya di Swedia. Dan seperti halnya musim-musim gugur yang lain, saya berharap bisa produktif menulis di musim ini. Sebelum suhu stabil di bawah 0 derajat dan yang saya lebih memilih untuk bergelung di kasur daripada menulis. Haha. Semoga bisa, ya.

Leave a Reply