When Ms Random meets Mr Planner

Saat-saat ketika merencanakan perjalanan adalah saat-saat di mana saya semakin menyadari betapa sesungguhnya saya dan suami adalah pribadi yang sangat bertolak belakang. Saya adalah manusia random. Happy go lucky person yang percaya bahwa semesta telah diatur sedemikian rupa. Cenderung mengalir saja tanpa perencanaan. Sementara suami adalah Mr Planner sejati. Sangat perhatian pada detail dan memiliki manajemen resiko yangΒ terlaluΒ tinggi. Hampir semua hal dalam hidupnya melalui perencanaan matang. Satu-satunya hal spontan yang pernah dia lakukan (yang masih dia ingat) adalah menjadikan saya sebagai pacarnya meski baru beberapa minggu kenal. Haha. Dan ini yang biasanya menjadi kartu AS saya untuk mengingatkan bahwa beberapa hal baik justru dimulai dari sebuah kesertamertaan (ahem!).

Tentu saja sebagai pasangan kami juga saling memengaruhi. Saya tak lagi anti rencana. Sementara dia mulai bisa menerima fakta bahwa tidak semua hal bisa ia kendalikan.Β Tapi tetap saja, yang namanya karakter dasar tidak bisa 100% diubah. Saya masih kerap ceroboh dan masa bodoh. Suami masih suka khawatir berlebih dan uring-uringan. Dan karakter dasar itu semakin menguat justru ketika kami dihadapkan pada satu hal yang sama-sama kami sukai: traveling!

Dari mulai membuatΒ itineraryΒ hinggaΒ packing, selalu saja muncul perdebatan tentang bagaimana seharusnya hal-hal itu dilakukan. Saya menginginkan perjalanan yang simple dan tak terlalu rumit. Sementara suami memilih model yang terencana dengan rapi. Misal, buat saya, packing itu yang penting ringkes, tidak masalah letaknya terpisah-pisah. Bagi suami, packing itu harus terkelompokkan dengan jelas (dan diberi label!). Bagi saya, tidak perlu membawa barang banyak-banyak, kalau hujan terus basah, atau ada isi botol yang tumpah, ya apes namanya πŸ˜€ . Buat suami, semua hal harus ada back up plan-nya. Baju dibagi di bagasi dan di tas yang dibawa ke kabin. Lalu bagian bawah ransel dilapisi plastik supaya tidak basah kalau hujan. Tutup botol (toiletries misalnya) juga dilapis dengan plastik supaya tidak bocor. Dan seterusnya. Bahkan suami mengajari saya untuk selalu membawa benang dan jarum selama perjalanan untuk berjaga-jaga kalau-kalau ada tas atau baju yang sobek. War biasyak! Haha. Dan karena itulah, setiap kali mau berpergian yang cukup lama, rasanya seperti mau berangkat perang. Tegang bukan main. Tidur menjadi kurang dan sudah capek duluan sebelum berangkat. Sementara saya, mau pergi atau tidak sama saja molornya. Hahaha.

Tentu saja saya kerap terkena batunya. Biasanya, ada saja hal-hal yang terjadi ketika saya terlalu menuruti karakter random saya. Waktu ke Jepang misalnya, saya mengalami beberapa hal yang untuk standar suami, sangat ceroboh dan tanpa persiapan. Pertama, saya ngotot tidak mau menukar uang ringgit meskipun akan transit cukup lama di bandara Kuala Lumpur (KL). Alasan saya, saya memiliki kartu berlogo master card warna merah yang memang bisa digunakan di seluruh Asia Tenggara (termasuk tarik tunai) tanpa biaya tambahan. Saya berencana menarik uang di bandara KL saja. Praktis. Sesuai dengan preferensi saya. Maka berbekal dompet berisi tiga ratus ribu rupiah (dan uang yen untuk di Jepang), saya berangkat. Setibanya di Kuala Lumpur, saya berniat menemui teman baik yang tinggal di sana, kartu merah berlogo master card pun saya gesek dengan pedeΒ di kasir petugas tiket kereta. “The card is not valid” begitu tulisan di mesin kartu. Saya mulai khawatir. “Kok bisa ya?” pikir saya. Saya pun memutuskan mencari ATM terdekat. Saya masukkan kartu saya, saya tekan opsi jumlah saldo, dan ternyataaaaa … saldo saya minus, saudara-saudara. Saya makin bingung (dan menjadi lebih khawatir tentu saja). Kok? kok? kok? Saya mencoba melakukan penarikan tunai. Tetap tak berhasil. Saya cek saldo lagi. Masih minus. Sementara antrian di belakang saya makin panjang. Akhirnya saya menyerah. Saya melangkah meninggalkan mesin ATM dengan langkah gontai (halah!), sambil berusaha mengingat-mengingat apa yang salah dengan kartu saya. Saya ingat masih ada uang tersisa di rekening itu. Jumlahnya tak seberapa tapi cukup lah. Saya pun membuka laptop untuk mengecek histori transaksi diΒ internet banking,Β tapi koneksi di bandara (waktu itu) tak lebih baik dari mood remaja ababil, maka saya pun tak kunjung mendapatkan titik terang. Akhirnya, karena sudah terlanjur berjanji akan menemui teman, saya memutuskan untuk menukarkan sebagian uang yen saya ke ringgit.

Lalu berangkatlah saya ke pusat kota menemui teman saya. Sambil menikmati mie kuah laksa favorit saya di Central Market, saya curhat pada teman saya itu, tentang kartu saya yang mendadak tak bisa dipakai. Lalu dengan polosnya dia bilang: “Are you sure you don’t have any automatic bill payment? Sometimes that’s happened.” Untuk sesaat saya tertegun. Mengingat-ngingat tanggal berapakah hari itu. Lalu saya pun tergelak menyadari ketololan saya. That’s it! Kartu saya yang berwarna merah dan berlogo master card ini memang saya gunakan sebagai kartu untuk membayar beberapa tagihan dan hampir semuanya dengan sistem auto payment. Dan hari itu adalah tanggal pembayaran bill-bill yang saya punya. Pantas saja rekening saya minus. Hahaha. Tentu saja hal ini bisa saya hindari kalau saya lebih matang dalam mempersiapkan diri (dengan mentransfer uang dari rekening tabungan ke rekening yang ini misalnya). Tapi begitulah yang terjadi. Saya pergi ke negeri sakura hanya berbekal beberapa ribu yen (yang sudah berkurang karena ditukar dengan ringgit) dan tanpa uang di rekening. Dan bukannya sedih, saya justru tertawa-tawa menyadari kecerobohan saya.

Tak cukup sampai di situ, sesampainya di Jepang, bagasi saya tertinggal di Kuala Lumpur dengan alasan yang tidak saya tahu. Dan baru bisa disusulkan ke Jepang dalam penerbangan selanjutnya keesokan paginya. Whatttt? Kali ini saya tak bisa cengar-cengir lagi. Saya harus menghadiri pembukaan konferensi yang memang menjadi alasan utama saya ke Jepang (jalan-jalan mah cuma efek samping yang diniatkan πŸ˜› ), dan semua baju saya (kecuali yang melekat di tubuh) ada di bagasi tersebut, trus saya harus pakai baju apa? Rasanya ingin menumpahkan kekesalan pada mbak-mbak petugas bandara yang berulang kali meminta maaf ke saya dengan aksen Jepang yang khas: “I’m so sorry.“. Dan, tentu saja hal ini akan gampang teratasi kalau saya mengikuti kebiasaan suami saya yang selalu sedia baju cadangan di cabin bag. Hiks.

Jepang sendiri bukan negara yang murah untuk berbelanja. Tapi saya tak punya pilihan lain.Β Sedikit jengkel, saya menaiki kereta menuju hotel tempat saya akan menginap (sekilas cerita tentang usaha saya menemukan hotel yang papan namanya dalam bahasa Jepang bisa dibaca di sini). Dasar wajah saya yang memang tidak pandai menyembunyikan perasaan, saya disapa oleh seorang bapak yang menanyakan keadaan saya. Yang tentu saja saya jawab dengan kalimat standar “baik-baik saja” dan kami justru mengobrol (dengan bahasa campur aduk) tentang Jepang dan tentang Indonesia. Dan sebelum turun, dia mendoakan semoga sisa hari saya menyenangkan.

Sesampainya di hotel, hal pertama yang saya lakukan adalah mencari koneksi internet. Sistem telepon di Jepang sangatlah berbeda sehingga nomor kita (termasuk pulsa datanya) tidak berguna sama sekali di sana (tidak seperti di negara lain di mana kartu Indonesia masih bisa digunakan meski terkena roaming).Β Dengan bantuan Google, saya mencari tahu tempat berbelanja yang murah di Jepang. Mesin pencari mengarahkan saya ke Shinsaibashi (saya sendiri tinggal di daerah Shin- Imamiya), maka ke sanalah saya menuju. Keluar masuk toko dengan budget terbatas. Mencari celana, baju dan syal (untuk dipakai sebagai jilbab), yang cukup layak dipakai ke acara formal. Setelah beberapa lama, akhirnya saya berhasil mendapatkan tiga hal tersebut seharga masing-masing 500 yen (sekitar Rp 55.000 waktu itu). Fyuh! Murah meriah. Saya pun kembali ke hotel dengan hati tenang.

Lalu segala sesuatunya mulai berjalan sesuai kendali. Saya mendapatkan pakaian untuk konferensi. Bagasi saya yang tertinggal diantar ke hotel hari berikutnya. Presentasi saya di konferensi berlangsung baik, dan seterusnya. Hingga … dua hari terakhir menjelang saya pulang. Di dua hari tersebut, saya berniat menjelajahi Osaka dan mengunjungi Kyoto serta Kobe. Seorang kawan lama kebetulan bekerja di Jepang dan menawarkan diri menjadi guide. Tentu saja saya senang, minimal ada yang bisa dimintai tolong untuk memfotokan sehingga foto saya isinya bukan selfie doang. Hahaha. Tapiiiiiiii, uang yen saya (yang sudah berkurang karena ditukar ringgit, dipakai untuk bayar hotel dan beli baju) hanya tersisa satu lembar dan beberapa keping koin. Saya perlu uang lagi. Masak jalan-jalan ga bawa uang? Saya kan sudah membayangkan makan dorayaki. Hehehe. Beruntung saat itu saya sudah gajian, jadi si kartu merah sudah terisi kembali. Maka saya pun mencari ATM terdekat, dan dari brosur yang saya baca, ternyata tidak semua ATM di Jepang bisa digunakan untuk kartu dari luar Jepang. Duh! Hanya ATM-ATM berlogo tertentu (dan jumlahnya terbatas) yang bisa dipakai. Maka saya pun berniat meminjam uang ke teman saya itu lalu mengembalikannya dalam bentuk transfer ke rekeningnya. Kami pun memutuskan bertemu di Yodobashi, pusat jual beli kamera di Osaka. Uang saya masih cukup untuk bolak-balik naik kereta bawah tanah. Jadi aman lah, batin saya.

Tapi, karena handphone yang tidak befungsi begitu tidak terkoneksi internet, saya tidak bisa menemukan teman saya itu dan kehilangan kontak. Saya muter-muter menelusuri tiap lantai toko tanpa hasil. Usut punya usut, ternyata kami saling menunggu di pintu yang berbeda. Hahaha. Namun, justru karena muter-muter di toko tersebut saya berhasil menemukan ATM berlogo master cardΒ (ini kayaknya saya harus dibayar olehΒ master card deh, berulang kali sebut merek, hahahaha) dan bisa menarik uang sehingga tidak perlu merepotkan teman saya.Β Blessing in disguise.Β Saya pun bergegas kembali ke hotel agar bisa mengabari bahwa situasi keuangan saya sudah aman terkendali. Hahaha.

Begitulah. Perjalanan saya kerap dibumbui kejadian-kejadian ajaib. Tapi entah mengapa, dalam situasi-situasi tersebut, pada akhirnya saya selalu mendapatkan “bantuan”. Dan seringnya, saya justru mendapatkan “teman-teman” baru. Seperti bapak tua yang mendoakan saya di kereta waktu itu. Atau barusan ketika seorang yang tidak saya kenal menawarkan diri untuk membantu mengambil gambar saya, yang kalau menurut ukuran suami berarti saya memperbesar resiko karena bisa jadi orang asing tersebut berniat jahat (benerΒ juga sih, saya memang terlalu naif kadang-kadang). Sebagian mungkin karena Tuhan begitu baik pada saya. Sebagian lain mungkin karena saya dianugerahi kesantaian dan optimisme yang luar biasa sehingga bisa menertawai kebodohan-kebodohan yang bagi orang lain tidak lucu. Meski harus saya akui, tidak selamanya saya bisa bersikap seperti ini. Seperti yang selalu diulang suami saya, saya harus belajar untuk bisa lebih menata setiap hal dalam hidup saya, karena toh tidak selamanya keberuntungan berpihak pada kita (bahkan menuliskan kalimat seperti ini saja terasa begitu pesimistis untuk saya, haha).

Karakter yang berbeda membuat saya dan suami memiliki perjalanan yang berbeda. Saya kerap menemui kejadian-kejadian “unik” karena minimnya persiapan. Sementara suami saya, jarang mengalami hal-hal yang di luar rencana (karena persiapannya sendiri sudah bikin penat kepala. Kepala saya terutama, hehe). Saya fokus pada solusi, dan biasanya ketemu. Sementara suami fokus pada masalah, dan biasanya bisa menghindari.Β Saya pikir tidak ada yang benar atau salah dalam hal ini (membela diri πŸ˜› ). Seperti yang saya yakini sejak awal, menjadi pasangan itu berarti memiliki cukup kesamaan untuk saling berbagi dan cukup perbedaan untuk saling melengkapi. Karena pada akhirnya, kami memang begitu berbeda dalam semua, kecuali dalam cinta. πŸ˜€

Notes: Pictures are retrieved from here and here.

Advertisement

4 responses to “When Ms Random meets Mr Planner”

  1. hahaha …idem yg di sini… semua serba terplanning sampe detil…dan saya seperti dirimuuu bde hayu….sedarah kali yaa….hahaha

    1. Hayu Hamemayu

      Hahaha, toss Dek πŸ™ŒπŸΌπŸ™ŒπŸΌ

  2. Mirip sama suamiku, Mbak. Mau pergi repotnya minta ampun. Biasanya aku nunggu sambil tiduran aja. Soalnya dia kalau dibantu malah tambah lama. Ntar udah ready to go, eh balik lagi cuma ngecek, “Tadi tv udah ku matikan kan ya?” -__-“

    1. oh yaaaa? hahahaha, heboh to the max kalau kasusku πŸ˜›

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

A WordPress.com Website.

%d bloggers like this: