Jika Jhumpa Lahiri pernah mengatakan bahwa membaca buku itu seperti berkelana tanpa bergerak seincipun, maka bagi saya, mengunjungi perpustakan itu seperti berjalan-jalan keliling dunia dalam satu langkah.
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa saya, suami dan anak kami tentu saja, adalah para pemuja buku. Kami bisa ngirit sengirit-ngiritnya soal belanja baju, mainan, makanan atau hal lain, tapi kalau soal buku, hasrat kami susah dikendalikan. Bagi kami, buku adalah investasi (halah, alesyan 😀 ). Maka, tak seperti kebanyakan keluarga pada umumnya, kami tak punya harta selain ratusan buku yang sekarang dititipkan di rumah Bapak-Ibu di Wonosari.
Tapi belakangan ini, kami berusaha untuk tidak berbelanja buku. Kecuali yang memang benar-benar collectable dan sangat penting untuk dimiliki, seperti Mafalda seri asli dari Argentina, Garfield yang diobral di toko barang bekas, buku-buku untuk riset suami, dan satu dua buku untuk anak (lhoh kok banyak? Tenang, jumlahnya masih cukup manusiawi kok sejauh ini 😀 ). Selain harganya yang tidak murah, kami juga tak mau dibuat pusing dengan resiko membawa buku-buku itu kembali ke Indonesia. Jujur, pengalaman menghabiskan ratusan dolar untuk mengirimkan buku-buku kami dulu dari Australia ke Indonesia cukup membuat “trauma”, terutama secara finansial, haha. Maka suami pun beralih ke buku digital. Sedangkan saya, memilih untuk berwisata buku dari perpustakaan ke perpustakaan.
Mengunjungi perpustakaan adalah salah satu alternatif pengisi waktu luang bagi saya. Selama di Swedia, selain mengurusi pekerjaan rumah, saya juga menghabiskan waktu dengan menulis untuk beberapa media di Indonesia, kerja suka rela di beberapa tempat dan jalan-jalan ke perpustakaan. Kegiatan yang terakhir ini awalnya saya anggap tidak terlalu menarik. Tapi setelah beberapa kali mengunjungi perpustakaan di Lund dan Malmö, saya langsung berubah pikiran. Sekarang, saya justru asyik menjalani kegiatan wisata perpustakaan ini.

Perpustakaan di Lund sendiri terhitung cukup banyak karena Lund memang terkenal sebagai kota pelajar atau kota pendidikan. Semacam Jogja begitulah, meski dalam skala yang lebih kecil tentu saja (penduduk di Lund hanya sekitar 88 ribu, bandingkan dengan Jogja yang berpenduduk sekitar 37 juta jiwa 😀 ). Selain perpustakaan milik universitas, Universitetsbiblioteket, yang bangunannya cantik sebagai latar foto (ahem!) dan perpustakaan-perpustakaan fakultas dan pusat studi di seputaran area Lund University, terdapat juga perpustakan kota milik pemerintah setempat atau lebih dikenal oleh penduduk lokal sebagai stadsbibliotek.
Seperti juga banyak hal di Swedia, stadsbibliotek di Lund buka sesuai musim 🙂 . Untuk musim semi (Maret-Mei), perpustakaan ini buka dari jam 9 pagi sampai jam 8 malam di hari kerja. Tapi untuk akhir pekan, jam bukanya lebih pendek, hanya sampai jam 5 sore. Uniknya, melihat orang mengantri untuk masuk perpustakaan sebelum jam buka adalah pemandangan biasa. Miriplah dengan antrian diskon di mall-mall di Indonesia. Hehe. Biasanya mereka-mereka yang datang di pagi hari adalah rombongan anak-anak sekolah yang mengikuti program di perpustakaan (semisal story telling atau workshop), mahasiswa-mahasiswa yang bosan belajar di perpus kampus, bapak-bapak yang ingin membaca koran di pagi hari atau mereka-mereka yang butuh alternatif ruang untuk bekerja.

Selain buku dan koneksi internet, Lunds stadsbibliotek memang menyediakan ruang-ruang untuk belajar dan diskusi, koleksi koran, majalah, film dan musik (baik dalam bentuk DVD maupun piringan hitam), games (termasuk Play Station!), komputer, bahkan piano untuk membuat aransemen lagu. Di perpus kota Lund, bangunan dibagi menjadi dua sayap utama: sayap sebelah kanan (dari arah pintu masuk) disediakan untuk koleksi yang berkaitan dengan anak-anak, sedangkan sayap sebelah kiri disediakan untuk koleksi yang ditujukan bagi orang dewasa.
Tak jauh berbeda dengan di Lund, perpustakaan kota di Malmö juga didesain sedemikian rupa sesuai umur dan ketertarikan pengunjungnya. Ruang bermain dan berrekreasi juga disediakan. Bahkan ruang untuk editing (multimedia) lengkap dengan komputer dan printernya pun ada.
Kita juga bisa meminjam buku dari jejaring perpus di seluruh wilayah Nordic (sama sih dengan sistem di Australia, atau mungkin semua negara maju begitu ya?). Dan semuanya gratis! Selain itu, kita juga bisa mengusulkan buku/alat/barang apa yang perlu dibeli untuk pengembangan perpustakaan.
Tentu saja untuk mengakses semua itu dibutuhkan kartu keanggotaan. Tapi mengurus kartu keanggotaan bukanlah hal rumit. Hanya dibutuhkan sekitar 5 menit untuk mengisi form dan voila! kartu langsung jadi. Dalam meminjam pun tidak ada batasan jumlah. Saya ingat di kunjungan pertama saya, dengan lugunya saya bertanya berapa jumlah maksimal buku yang boleh saya pinjam dalam satu kali check out. Saat itu, untuk sepersekian detik si pustakawan melihat saya dengan pandangan bingung, tapi lalu bilang: “There’s no limit.” Duh mak! It’s heaven on earth!
Sebenarnya, koleksi perpus kota ini, baik di Lund dan Malmö tidaklah berlimpah ruah. Barangkali tidak ada apa-apanya dibandingkan perpustakaan umum di Victoria, Melbourne, yang koleksinya luar biasa. Namun, keberadaan kedua perpus ini membuktikan bagaimana hak-hak publik dijamin sedemikian rupa untuk memastikan bahwa setiap penduduk memiliki akses terhadap beberapa hal mendasar dalam hidupnya yaitu informasi, pengetahuan, dan hiburan.
Dari cerita beberapa teman, saya mendengar bahwa perspustakaan di Jogja pun sekarang semakin banyak dan semakin menarik. Bahkan ada yang dilengkapi tempat pemutaran film.
Mengunjungi perpustakaan tak melulu soal meminjam buku, perpustakaan juga bisa menjadi alternatif untuk menikmati waktu luang atau berselancar di dunia maya. Bahkan, alternatif tempat bermain anak-anak. Daripada terus-terusan ke kafe atau ke mall, saya rasa perpus bisa menjadi alternatif pengisi waktu yang lebih bermanfaat (dan murah tentu saja! 🙂 ). Jadi, tak ada salahnya memasukkan visit library ke dalam rencana perjalananmu akhir pekan nanti. Kalau ada wisata museum, wisata kuliner dan wisata religi, kenapa tidak boleh ada wisata perpustakaan?
Leave a Reply