Hari masih pagi saat aku berdiri, menunggu dengan tak sabar, antrian di Inglewood OPost. Dari jauh kulihat hanya dua, dari biasanya empat, konter layanan yang buka. Tak heran antriannya sepanjang ini. Aku menghitung dalam hati jumlah orang yang berdiri di depanku. Masih delapan lagi. Masih lama. Aku menghembuskan nafas panjang. Mulai bosan dengan hal yang sudah kali kedua ini kulakukan.
Kusibukkan diri dengan melihat-lihat barang-barang pajangan di samping kiri kananku untuk membunuh waktu. Kuambil koleksi klasik Petter Rabbit dari rak dan membolak-baliknya. Menarik tapi tak terlalu perlu buatku yang belum punya anak. Aku berganti melihat-lihat kartu voucher iTunes, Myer, Coles dan sejenisnya. Senyumku sedikit mengembang. Kartu-kartu itu adalah hadiah andalanku saat tak tahu harus memberi kado apa pada seorang rekan atau kawan. Cukup memberinya salah satu voucher ini dan biarkan mereka memilih sendiri. Salah satu hal yang kuanggap penemuan cerdas abad ini. Entah setelah berapa menit (aku lupa memakai jam tanganku), giliranku sampai juga.
“Hi there. How are you?” tanya petugas Inglewood OPost yang kutahu bernama Sue dari tanda pengenal di dada kirinya.
“Hi Sue, I’m good. Thanks,” jawabku sambil mengeluarkan tiga pucuk surat bersampul warna krem lembut dari saku coat-ku.
“How can I help?” tanyanya lagi dengan ramah.
Lalu aku mengulang lagi penjelasan yang sama yang sudah kusampaikan saat aku ke sini seminggu yang lalu. Bahwa aku terus saja menerima surat-surat yang bukan untukku. Hampir setiap hari. Dengan nama pengirim yang tidak ada. Hanya nomor sebuah PO BOX tanpa alamat dan cap OPost yang tidak merujuk ke wilayah tertentu. Namun, selalu ada tulisan tangan “Urgent” di sampul belakangnya. Tulisan yang membuatku berpikir bahwa surat-surat ini bisa saja penting dan harus segera sampai pada orang yang dituju.
Seminggu yang lalu aku datang ke kantor pos ini membawa empat buah surat yang ditujukan untuk Sibel Peran. Kujelaskan pada petugas Inglewood OPost saat itu (kalau tidak salah namanya Sam), bahwa aku bukan Sibel Peran dan bahwa surat-surat itu tidak henti-hentinya membanjiri kotak posku. Aku mengembalikan surat-surat itu ke kantor pos dengan harapan mereka akan mengirim balik surat-surat itu ke pengirimnya. Syukur-syukur memberi tahu si pengirim bahwa Sibel Peran tidak tinggal di 2/30 Waterford Street. Di unitku. Sehingga dia tidak perlu susah-susah mengirim surat ke alamatku.
Aku masih inget waktu itu Sam memperhatikanku dari ujung kaki hingga ujung kepala sebelum bertanya, “Jadi Sibel Peran itu bukan kamu?”
Aku menggeleng. Jelas saja dia bukan aku. Dari tampangku saja orang pasti tahu bahwa namaku bukan Sibel Peran. Lagipula bukankah Sibel Peran itu nama laki-laki? Sam lalu berkata bahwa mungkin surat-surat itu untuk saudaraku. Pernyataan yang langsung kubantah karena aku baru di lingkungan ini dan tinggal hanya dengan kucingku.
“And trust me, nama kucingku bukan Sibel Peran” kataku setengah geli.
Sam menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya yang botak sembari membolak-balik surat-surat yang kubawa. “Kamu sudah cek ke tetanggamu? Mungkin pengirimnya hanya salah nomor? Secara statistik itu sering terjadi,” kata Sam lagi.
“Sudah. Aku hanya punya lima tetangga dan tidak ada satupun dari mereka yang bernama Sibel Peran,” jawabku. “Atau mengenal Sibel Peran,” tambahku buru-buru melihat gerak mulut Sam yang siap membantah lagi.
Sam tampak kebingungan.
“I think he could be the previous tenant. But I’m not sure,” jawabku berusaha membantu.
“Okay. Kami akan mencoba untuk mengirim balik surat-surat ini ke alamat PO BOX yang tertera. Tapi coba kamu hubungi agen unitmu. Mungkin dia bisa memberi informasi,” kata Sam akhirnya.
Aku mengangguk. Ya, tidak ada salahnya menghubungi agen untuk bertanya tentang Sibel Peran. Barangkali dia adalah penyewa unit sebelum aku. Siapa tahu juga mereka tahu di mana Sibel Peran tinggal saat ini sehingga surat-surat itu bisa sampai padanya.
Sepulangnya dari kantor pos siang itu langsung kuhubungi Marrie, agen unitku, untuk bertanya tentang penyewa bernama Sibel Peran. Tapi hasilnya nihil. Tidak pernah ada nama Sibel Peran yang menyewa unit ini. Tidak juga orang lain yang bernama belakang Peran. Tidak penyewa sebelum aku. Tidak juga penyewa-penyewa sebelumnya.Dan hari ini, aku kembali ke kantor pos yang sama untuk melakukan hal yang sama: mengembalikan surat-surat untuk Sibel Peran.
“Jadi kamu bukan Sibel Peran?” tanya Sue persis seperti yang ditanyakan Sam minggu lalu.
“Bukan,” tegasku lagi. “Aku sudah melaporkan hal yang sama minggu lalu ke Sam. Mungkin kamu bisa tanya ke dia bagaimana nasib surat-surat sebelumnya,” tambahku.
“Oh, sayangnya Sam sedang cuti minggu ini. Tapi nanti setelah dia masuk akan kami tindak lanjuti.”
“Okay, thanks,” kataku akhirnya.
Aku berjalan menuju unitku dengan langkah gontai. Dalam hati aku kuatir surat-surat itu benar-benar penting. Kalau tidak, kenapa si pengirim tidak henti-henti mengirimkannya. Kenapa juga ada tulisan “Urgent” di sampul belakangnya? Kadang aku berpikir untuk membuka saja surat-surat itu. Barangkali isinya bisa memberi petunjuk siapa gerangan si Sibel Peran. Tapi itu berarti aku menyalahi ranah privat orang lain. Australia adalah negara yang sangat menghargai hak-hak individu. Mengurusi kehidupan orang lain, yang tidak kukenal, salah-salah bisa dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia.
Hari demi hari terus berlalu. Dan surat-surat untuk Sibel Peran terus saja datang. Tak kugubris. Kubiarkan saja teronggok di kotak suratku. Hingga suatu hari seorang petugas OPost mengetuk pintu unitku saat aku baru saja berniat menyantap makan siang.
“Hi,” sapanya saat kubuka pintu dengan malas-malasan.
“Kotak suratmu penuh. Jadi kuantarkan surat ini langsung,” jelasnya sambil menjejalkan sepucuk surat ke tanganku.
Surat yang dari warna sampulnya saja aku sudah tahu, pasti untuk Sibel Peran.
“Tapi surat ini bukan untukku,” kataku pada si petugas yang siap beranjak pergi menuju mobil boksnya yang berwarna merah dan berlogo OPost.
“Well, tugas saya hanya mengantarkan. Alamat yang tertera di surat itu adalah alamat rumah ini. Jadi saya antarkan ke sini,” jawabnya sambil terus melangkah.
“Tapi..,” aku masih berusaha mencegah.
“Lapor saja ke OPost terdekat kalau surat itu mengganggumu,” tambahnya sambil melambaikan tangan.
Aku mendengus sebal. Bukankah itu yang sejak berminggu-minggu lalu berusaha kulakukan? Melapor ke OPost terdekat yang berarti Inglewood OPost kalau di areaku. Tapi tak ada hasilnya. Surat itu masih saja membanjiri kotak suratku. Bahkan siang ini disodorkan tepat di depan mukaku. Membuatku hilang nafsu makan saja.
Aku hanya bisa menatap jengkel mobil boks OPost yang telah melaju pelan. Beranjak pergi untuk mengantarkan surat-surat entah ke mana. Barangkali juga surat-surat salah alamat seperti yang saat ini ada di tanganku. Kutimang-timang surat di tanganku sambil mondar-mandir di ruang tamu. Makan siangku tak jadi kusentuh. Nafsu makanku hilang terbawa mobil boks OPost yang mengantarkan surat barusan.
“Sial!” umpatku geram.
Aku menyerah. Kusobek sampul surat itu dan kubaca isinya. Sebuah tulisan tangan yang rapi terlihat di sana.
“Dearest Sibel,” begitu kalimat pertama yang membuka surat itu.
Aku tercenung. Tenggelam dalam tulisan tangan rapi yang seolah membiusku. Kata-katanya sarat dengan kekhawatiran. Lalu di akhir surat itu. Tertulis tiga kata yang membuat hatiku bergetar. “Love, your mom,” begitu tulisannya. Ternyata surat ini dari ibunya Sibel Peran. Dia sudah bertahun-tahun tak mendengar kabar anaknya itu. Dia mengirim surat-surat ini untuk mencari tahu apakah anaknya itu baik-baik saja. Aku tidak bisa tidak tersentuh. Surat itu begitu emosional. Setiap tarikan tintanya membuatku terharu. Aku bisa merasakan kekhawatiran si Ibu. Membayangkan bahwa seperti itulah Ibuku akan bereaksi jika tiba-tiba saja aku hilang ditelan bumi.
Dalam surat itu dia ceritakan bagaimana dia menunggu setiap balasan untuk surat-suratnya. Dia tuliskan bagaimana dia hanya ingin tahu bahwa anaknya baik-baik saja. Dia uraikan bagaimana setiap hari dia mengecek PO BOX yang sama, menanti balasan, dan bagaimana dia tetap sabar meski balasan itu tak kunjung datang. Dia juga berjanji bahwa dia tak akan pernah letih mengirim surat sampai dia tahu kabar anaknya yang bernama Sibel Peran.
Aku beranjak dari tempat dudukku. Membongkar semua surat untuk Sibel Peran yang selama ini kubiarkan. Kuangkut semua surat yang teronggok di dalam kotak surat. Kubuka semuanya. Kubaca dari awal hingga akhir. Isinya sama saja. Tentang kerinduan seorang ibu pada anaknya. Kerinduan yang membuatku iba. Membuatku memutuskan untuk mengambil pena dan menuliskan balasannya. Ya. Aku memutuskan untuk menjadi Sibel Peran. Demi Ibu ini. Demi dia yang tak lelah menunggu kabar dari anaknya yang aku sendiri tak tahu di mana rimbanya.
Aku menulis satu kalimat: “Dear Mom,”. Lalu aku tersadar bahwa si Ibu pasti tahu tulisan tangan anaknya. Jadi kuputuskan untuk mengetiknya saja. Kuambil laptop lalu pelan-pelan kupikirkan sebuah balasan. Hampir dua jam aku menulis satu halaman surat balasan. Aku khawatir si Ibu akan tahu bahwa aku bukan Sibel Peran. Anak yang dicari-carinya. Entah berapa kali aku mengetik, menghapus, mengetik, menghapus dan mengetik lagi. Hingga ketika akhirnya aku cukup puas dengan hasil karyaku, waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore. Aku merasa perutku sedikit keroncongan tapi aku ingin segera mengirimkan surat balasan ini. Mungkin akan dia terima besok atau lusa. Sehingga dia bisa mengirimiku balasannya pada hari Sabtu. Yang berarti akan kuterima paling lambat minggu depan. Begitu yang kuharapkan.
Bergegas aku menuju ke Inglewood OPost. Melihat antrian yang cukup panjang aku memutuskan untuk memasukkan saja surat balasan itu ke dalam bus surat di depan kantor Pos. Setengah berdoa kuselipkan surat itu ke dalam bus surat yang berwarna merah dan berlogo OPost. Semoga surat ini diterima dengan baik oleh orang yang selama ini mengirimiku surat. Aku berjalan pulang dengan perasaan tenang.
Berhari-hari, surat balasan yang kutunggu-tunggu tak kunjung datang. Aku bolak-balik mengecek kotak surat. Tapi surat balasan itu tak pernah ada. Aku bahkan bertanya berulang kali ke petugas Inglewood OPost adakah surat untuk Sibel Peran yang belum diantar. Tapi mereka selalu menjawab “tidak”. Atau berkata “tunggu saja di rumah, kalau ada pasti akan diantar”. Sejak hari aku membalas surat dari Ibu si Sibel Peran, sejak itu pula aku tak pernah lagi menerima surat bersampul krem lembut bertuliskan “Urgent”.
Hari-hari terus berlalu. Tanpa ada tanda surat balasan dari ibu Sibel Peran. Pagi ini kucek lagi kotak suratku yang masih saja kosong. Hanya ada brosur-brosur promo dari warung pizza dekat rumah dan kupon diskon dari sebuah toko kelontong. Aku mendesah. Kali ini aku sungguh berharap bisa menerima lagi surat-surat yang ditujukan untuk Sibel Peran.
Pernah suatu hari kucegat tukang pos yang memasukkan surat-surat ke kotak pos di unit ini. Kutanya padanya adakah surat untuk Sibel Peran di alamat 2/30 Waterford Street. Dia mengernyit keheranan dan berkata bahwa kalau pun ada pasti sudah dimasukkan ke dalam kotak posku. Tapi tak ada surat untuk Sibel Peran.
Sekian hari setelah tak lagi menerima surat untuk Sibel Peran, aku memutuskan untuk sarapan di warung kopi langgananku. Sudah lama aku tidak ke sana sejak berurusan dengan surat-surat Sibel Peran. Secangkir kafein mungkin bisa membantu menetralisir hari-hariku. Lagipula aku sudah lama tak mengobrol dengan Eric, barista favoritku. Barangkali dia bisa membantuku melupakan urusan surat menyurat ini. Aku sudah memutuskan untuk tak lagi berurusan dengan Sibel Peran. Aku memilih untuk beranggapan bahwa si ibu barangkali sudah bertemu dengan anaknya. Atau dia sudah sadar bahwa surat-suratnya selama ini tak pernah sampai. Atau apapun lah. Aku tak mau lagi peduli.
“Hi,” seorang barista menyapaku setibanya aku di warung kopi. Aku belum pernah melihatnya sebelumnya. Mungkin barista baru.
“Hai” balasku. Barista baru ya? Di mana Eric?” tanyaku.
“Oh Eric sedang bushwalking ke Tasmania. Aku yang menggantikan sementara. Kenalkan, aku El,” katanya sambil menunjuk tanda pengenal bertuliskan Sibel Peran di dada kirinya.
Damn!
*Cerpen yang sama dengan ending yang sedikit berbeda masuk dalam sepuluh besar cerpen terbaik Lomba Menulis Cerpen RetakanKata 2015 (Informasi lebih lengkap bisa dilihat di sini). Awalnya cerpen ini akan dibukukan ke dalam buku kumpulan cerpen bersama cerpen pemenang lainnya oleh komunitas RetakanKata. Namun, karena adanya kendala teknis, maka rencana penerbitan buku kumpulan cerpen tersebut ditunda dan sebagai gantinya saya mengunggahnya di sini agar bisa dibaca. Semoga berkenan :).
Leave a Reply