Sesedih-sedihnya sakit di negeri sendiri, lebih sedih sakit di negeri orang.
Begitu saya pernah mendengar sebuah pepatah. Beberapa orang mengakui kebenaran dari pepatah tersebut. Bagaimanapun, sakit saat berada di negeri sendiri memang terasa lebih mudah. Minimal kita tidak perlu susah-susah menerjemahkan apa itu masuk angin kepada dokter yang kita temui, hehe. Tapi, sakit ketika berada di luar negeri juga membawa pengalaman sendiri. Terutama dalam hal mengendalikan rasa panik dan penggunaan obat yang rasional.
Seminggu setelah kami tiba di Lund, satu per satu kami tumbang. Kemungkinan besar penyebabnya adalah transisi cuaca ekstrim (dari yang biasanya rata-rata 32 derajat, jadi rata-rata 1 derajat 😀 ), juga karena ketika kami berangkat, kondisi kami tidak benar-benar fit. Jadwal yang padat dan berpindah-pindah di banyak kota, juga segala persiapan keberangkatan membuat waktu istirahat kami tidak maksimal. Daya tahan tubuh jadi setengah-setengah meskipun doping sudah dilakukan dengan mati-matian.
Hari-hari pertama awalnya hanya bersin dan batuk-batuk kecil. Lalu diikuti dengan radang tenggorokan, dan puncaknya adalah demam. Saya dan suami berhasil memperkuat diri agar tak semakin ambruk. Tapi si kecil rupanya benar-benar kelelahan. Alhasil demamnya menembus 39 koma sekian dalam rentang waktu 48 jam. Terang saja kami panik. Dan saat-saat ketika anak sakit adalah saat-saat kritis sebagai pasangan, haha (curcol 😀 ). Saya yang beraliran (sok) Rational Use of Medicine (RUM) enggan buru-buru memberikan obat atau ke dokter. Sementara suami yang tak tega melihat anaknya sakit ingin segera memberikan obat dan mendapatkan efeknya (baca: segera sembuh). Bolak-balik kami membaca buku dan website tentang gejala sakit pada anak. Observasi pun terus dilakukan. Diselingi dengan sesekali adu argumentasi. Asupan cairan diperbanyak. Penurun panas diberikan. Tapi gejalanya masih ada: demam, batuk, pilek dan lemas. Maka pertahanan saya pun luluh. Dan di situlah saya berkenalan dengan sistem layanan kesehatan di Swedia.
Sistem layanan kesehatan di Swedia memang sedikit berbeda, setidaknya dengan Indonesia dan Australia. Asuransi kesehatan di Australia wajib diurus sebelum aplikasi visa. Kita diharuskan membayar sejumlah uang, tergantung jenis asuransi (single atau family) dan durasi tinggal, sebagai bagian dari syarat pengajuan visa. Medical check up juga hanya bisa dilakukan di dokter-dokter yang ditunjuk kedutaan Australia (terutama untuk jenis visa tertentu). Setelah itu, setiap sakit, kita bisa datang ke layanan kesehatan di manapun, cukup dengan menunjukkan kartu asuransi yang dimiliki. Tidak perlu booking terlebih dahulu kecuali untuk kasus-kasus khusus dan dokter spesialis. Untuk dokter umum, kita bisa langsung datang ke pusat layanan kesehatan terdekat sesuai jam buka prakteknya.
Sementara di Swedia, asuransi tidak diperlukan sebelum berangkat. Tidak ada tes kesehatan dan sejenisnya (sejauh yang saya ketahui). Asuransi otomatis diberikan kepada mereka yang tinggal di Swedia lebih dari satu tahun dan memiliki personnummer (semacam nomor kependudukan). Masing-masing orang akan terdaftar di pusat layanan kesehatan terdekat sesuai tempat tinggal mereka. Menariknya, untuk bisa mendatangi pusat layanan kesehatan tersebut, dibutuhkan appointment atau janji. Dan yang saya maksud dengan janji di sini bukan seperti di Indonesia, di mana kita menelpon untuk mendapatkan nomor antrian, tapi janji untuk diberi tahu apakah kita perlu bertemu dokter atau tidak, dan kalau memang perlu, baru diputuskan kapan bisa bertemu. Konsultasi lebih banyak dilakukan lewat telepon, terutama untuk kasus-kasus yang tidak darurat, sehingga bertemu dengan dokter secara langsung menjadi hal yang relatif tidak gampang.
Swedia memiliki nomor khusus untuk layanan kesehatan lewat telepon yaitu 1177. Ketika kita merasa tidak fit, sekadar ingin mencari tahu informasi kesehatan atau mengetahui tindakan yang diperlukan saat sakit, kita bisa menelpon nomor yang buka 24 jam 7 hari tersebut. Namun, karena nomor ini nomor nasional dan melayani satu negara, maka antriannya bisa sangat panjang. Saya sempat menelpon nomor ini karena waktu itu sudah tengah malam. Tapi karena ada 11 antrian, saya memutuskan untuk tidak jadi menelpon. Sebagai gantinya, saya menghubungi nomor layanan kesehatan dekat tempat saya tinggal yang punya after-hour service. Awalnya saya berharap bisa mendaftarkan anak saya untuk bertemu dokter keesokan harinya tapi ternyata prosedurnya tidak demikian. Oleh perawat yang melayani saya, saya ditanyai kondisi anak, gejala-gejala yang muncul, juga perlakuan-perlakuan yang sudah diberikan. Setelah itu, dia memutuskan bahwa anak saya belum perlu bertemu dokter. Dia hanya menyarankan untuk mengganti obat penurun panas yang saya bawa dari Indonesia dengan obat penurun panas yang ada di sini. Di satu sisi saya lega, karena berarti kondisi anak saya masih baik, tapi di sisi lain ada kekhawatiran juga karena hanya mendapatkan layanan lewat telepon.
Sebagai orang Indonesia yang terbiasa dengan kemudahan untuk bertemu dokter, dan terkadang belum merasa yakin kalau belum diobservasi secara langsung, tentu saja prosedur ini sedikit menjengkelkan. Tapi saya mencoba melihat sisi baiknya. Minimal mengurangi resiko terpapar virus lain ketika berkunjung ke pusat layanan kesehatan dan anak saya tidak perlu mengonsumsi obat-obatan yang tidak perlu.
Sejauh pengalaman saya, layanan kesehatan di Perth, Australia dan di Lund, Swedia memang sama-sama “pelit” dalam hal pemberian obat. Setiap kali ke dokter dengan gejala infeksi virus, obatnya hanya empat: makan yang sehat dan bergizi, tambah asupan sayur dan buah, perbanyak konsumsi air putih dan istirahat yang cukup. Tidak sekalipun (alhamdulillah) saya pulang membawa obat. Paling banter yang disarankan dokter adalah: “Kalau demam anakmu di atas 38.5 derajat celcius dan anakmu tampak sangat tidak nyaman, kamu bisa kasih dia obat penurun panas.” Di Lund pun, ketika anak saya sudah demam selama tiga hari, jawaban perawatnya adalah: “Kita bisa demam selama lima hari karena infeksi virus. Kamu tidak perlu khawatir dengan demamnya, yang penting adalah anakmu mau makan, minum yang banyak, merespon ketika diajak ngobrol, mau bermain dan happy.”
Sebenarnya, pengetahuan-pengetahun umum seperti infeksi virus tidak memerlukan antibiotik atau tentang tata laksana demam, sudah saya ketahui dari buku-buku dan website. Di Indonesia pun, saya berlangganan dokter anak yang juga membatasi pemberian obat terutama antibiotik, maka sistem ini sebenarnya cocok dengan preferensi saya. Tapi ya namanya anak sakit, tetap saja rasionalitas berkelindan dengan kecemasan, dan seringkali, otak tidak mau diajak kompromi untuk bersikap tenang. Hehe. Alhamdulillah, setelah tiga hari, demam anak saya turun. Tapi lalu muncul ruam yang membuat saya kembali menelpon pusat layanan kesehatan. Dan lagi-lagi jawaban perawatnya: “Ruam karena inveksi virus itu reaksi yang normal. Akan hilang dalam beberapa hari. Anakmu tidak perlu bertemu dokter,” Duh Mak, rasanya lega campur gemes. Hahaha.
Sakit itu memang bikin sedih. Dan mungkin memang lebih seneng kalau sakit di negeri sendiri karena banyak yang menemani. Tapi karena saya ini alirannya Cak Lontong, maka pepatah yang berlaku untuk saya adalah seseneng-senengnya sakit di negeri sendiri, lebih seneng TIDAK SAKIT di manapun. Hehe. Doakan kami ya 🙂 .

Leave a Reply