Kalimat “Belajar dari Thailand”, barangkali menjadi kalimat yang paling menyebalkan setelah kekalahan Indonesia pada leg kedua final AFF Suzuki Cup 2016 kemarin. Meski memang harus diakui bahwa kalimat tersebut benar adanya. Bahkan dari kacamata awam seperti saya, secara kualitas permainan, Thailand memang lebih unggul. Kekalahan kemarin hanya menegaskan bahwa dalam sepakbola, beruntung saja sering tidak cukup. Dibutuhkan lebih dari sekedar dukungan 240 juta penduduk Indonesia untuk membuat kita jadi juara. Dan sejujurnya, menjadi runner up pun sudah lumayan. Saya kira, kita tetap bisa berbangga menjadi yang terbaik kedua di Asia Tenggara.
Namun, kita memang perlu belajar banyak dari Thailand. Bukan hanya soal sepakbola, tapi juga soal kesederhanaan, soal kemauan untuk memaksimalkan apa yang dimiliki, hingga soal makanan dan identitas. Mengapa demikian? Karena Thailandlah yang selama ini menjadi penyelamat lidah-lidah orang Asia perantau yang jauh dari kampung halamannya. Tidak terkecuali saya.
Sewaktu saya tinggal di Perth, Australia Barat, produk-produk Thailand telah banyak membantu kenyamanan saya dalam hal makanan. Bagaimana tidak? Hampir semua produk lokal Asia Tenggara dikemas oleh Thailand dan didistribusikan di seluruh dunia. Sebut saja rambutan, manggis, nanas, kedondong, dan buah-buahan tropis lainnya. Tidak hanya itu, saat saya kangen air kelapa muda, ada banyak air kelapa muda dalam kemasan buatan Thailand yang bisa saya minum. Saya ingin makan sambal lalap pete, ada pete kalengan made in Thailand dalam berbagai ukuran. Semuanya ada. Semuanya buatan negara tetangga. Antara senang dan miris setiap kali saya menyantapnya.
Dalam senang dan miris itu juga terselip rasa takjub. Saya takjub dengan ide Thailand untuk mengglobalkan apa yang mereka punya. Satu hal yang tampaknya sederhana, yaitu menjual makanan-makanan biasa, menjelma menjadi salah satu kekuatan yang strategis. Mereka tidak sibuk dengan ide-ide besar. Mereka memaksimalkan apa yang ada. Tentu saja dengan kualitas yang dijaga sehingga memenuhi standar global.
Di sinipun, di Lund, yang secara geografis lebih jauh daripada Australia dari Asia Tenggara, produk-produk Thailand mudah ditemui di rak-rak supermarket. Bahkan, ICA, salah satu retail terbesar di Swedia yang menguasai 50% pangsa pasar di sini, memiliki segmen ICA Asia yang menjual produk-produk buatan Thailand seperti santan, minyak ikan, serai, hingga bumbu kari. Tak penting benar apakah yang dijual benar-benar makanan khas Thailand atau khas Asia Tenggara (atau bahkan Asia Selatan). Faktanya, Asia menjadi identik dengan Thailand dengan adanya produk-produk tersebut. Ditilik dari segi manapun, hal itu tentunya adalah keuntungan besar untuk Thailand.
Memang sudah ada kecap, gudeg kalengan, atau tempe beku buatan Indonesia, yang sebagian besar dipasarkan di Australia dan Belanda, tapi produk Thailand tetap lebih banyak mendominasi. Saya membayangkan, suatu saat bisa menemukan lebih banyak produk-produk Indonesia di belahan dunia yang lain. Mungkin klepon beku, atau sekadar singkong rebus yang dikalengkan. Saya rasa, itu akan menjadi salah satu penguat identitas yang baik. Ia tidak hanya menjawab kerinduan orang Indonesia perantauan pada makanan, tapi juga menegaskan posisi kita di mata dunia, minimal membuat Indonesia lebih dikenal. Dan dari sudut pandang saya yang bukan lulusan HI ini, diplomasi lewat makanan adalah salah satu diplomasi yang paling efektif (dan mengenyangkan tentunya 🙂 )
Leave a Reply