Mengenang 1965 membuat saya lebih banyak teringat pada sosok bapak pembajak sawah yang bekerja untuk orang tua saya. Seorang bapak berusia paruh baya yang setiap musim tanam pada pertengahan 1990an datang ke rumah menawarkan jasa bajak sawah. Waktu itu, membajak sawah menggunakan mesin traktor masih belum jamak. Sebagai gantinya, sawah dibajak dengan menggunakan alat bajak tradisional yang ditarik sapi atau kerbau, dan karenanya membutuhkan seorang sais untuk mengendalikan, seperti bapak paruh baya itu.
Ingatan saya tentang peristiwa 1965 memang tak banyak. Ketika tahun bersejarah itu berlangsung, saya masih di alam entah. Saya bilang entah karena bahkan orang tua saya pun belum bertemu waktu itu, sehingga memori 1965 saya bisa direduksi menjadi dua hal saja: bapak pembajak sawah dan ketakutan pada label.
Sebut saja bapak pembajak sawah itu AN. Saya tidak mengenalnya secara khusus. Tapi setiap pulang sekolah atau saat libur, saya kerap “membantunya” di sawah. Biasanya dia akan meminta saya berdiri di atas garu/luku, bagian dari bajak, untuk membuatnya semakin tertancap di tanah sehingga tanah menjadi lebih mudah gembur. Awalnya saya mengira AN ini sama saja dengan buruh tani yang lain di desa saya, yang menggantungkan hidupnya pada musim tanam dan musim panen. Hingga suatu siang, saya mencuri dengar percakapan kedua orang tua saya tentang AN, yang seterusnya mengubah cara pandang saya.
Siang itu saya tahu, AN bekerja menjadi pembajak sawah bukan karena dia benar-benar ingin menjadi petani. Mimpi besarnya adalah menjadi priyayi, atau pegawai pemerintahan yang berseragam dan apel pagi setiap hari. Tapi apa daya, mimpi AN dan seluruh keluarganya harus pupus karena satu hal: mereka diduga terlibat PKI. Tidak jelas benar apakah mereka memang aktif di organisasi yang dicap terlarang itu, atau mereka hanya “korban” yang tidak tahu menahu. Satu-satunya yang pasti adalah bahwa label PKI yang melekat pada AN dan keluarganya membuat mereka selamanya tidak bisa menjadi pegawai pemerintah.
Tidak hanya itu, dari obrolan makan siang itu saya juga mendengar bahwa ternyata tak banyak yang mau menggunakan jasa AN, baik sebagai pembajak sawah atau dalam pekerjaan yang lain. Label terduga PKI membuat orang-orang enggan, atau lebih tepatnya takut, sehingga mereka memilih untuk “main aman” dengan tidak mempekerjakan AN dan keluarganya.
Sejak kejadian mencuri dengar cerita itu, saya jadi lebih sering memperhatikan AN. Mencoba mencari tahu apa darinya yang berbeda dari orang-orang lain, yang mungkin perlu saya takuti. Semakin saya mencari semakin saya tidak menemukan apapun. Di mata saya, AN sama saja dengan bapak-bapak paruh baya yang lain, yang gemar menceritakan cerita-cerita lucu yang membuat saya tertawa. Dia juga tidak berbeda dari buruh tani lain yang menggarap sawah keluarga saya. Pikiran anak SD saya tidak paham mengapa dia lantas pantas untuk ditakuti.
Tapi barangkali, ketakutan orang-orang pada AN dan label terlibat PKInya bukan sepenuhnya salah mereka. Bagaimanapun, orang-orang di masa itu dibesarkan dalam rasa takut. Kekhawatiran tentang bahaya laten PKI dihembuskan hampir setiap hari. Doktrin-doktrin diumbar di sekolah-sekolah, juga di televisi yang selalu menayangkan film Pengkhianatan G30S/PKI setiap tanggal 30 September. Wajar jika masyarakat menjadi susah untuk tidak percaya label. Jangankan label, singkatan PKI saja diucapkan dengan takut-takut, seolah-olah hanya dengan mengatakan kata itu, akan muncul segerombolan orang yang menjebloskan mereka ke penjara. Ketakutan yang mirip dengan ketakutan untuk menyebut nama Kau-Tahu-Siapa dalam serial Harry Potter. Ketakutan yang mungkin tidak masuk akal tapi membuat suasana menjadi sangat tidak nyaman menjelang tanggal terakhir di bulan September.
AN jelas bukan satu-satunya orang yang mendapatkan label tertentu dan harus menanggung konsekuensi dari label tersebut. Banyak cerita tentang mereka-mereka yang berlabel atau terlabeli PKI yang mendapatkan perlakuan berbeda. Tapi apa yang dialami AN semakin menunjukkan bahwa label-label yang melekat pada seseorang, memiliki pengaruh yang luar biasa, bahkan tak jarang menyesatkan. Sayangnya, banyak dari kita yang dengan mudahnya membuat label dan menempelkannya pada orang lain tanpa berpikir panjang efek lanjutan dari label-label tersebut.
Akhir-akhir ini misalnya. Lima puluh tahun lebih sejak peristiwa 1965 terjadi, label-label masih banyak bermunculan dalam bentuk-bentuknya yang lain. Di kehidupan sehari-hari, sering kita temui orang-orang yang dengan gampangnya mencap A sebagai ini atau mengklaim B sebagai itu hanya karena mereka tampak lain. Di media sosial apalagi. Dengan entengnya kita memberikan label pada orang-orang yang bahkan tidak kita kenal, hanya karena dia menampilkan gambar ini, mengunggah video itu, atau membuat status yang tidak sama dengan yang kita percayai.
Label yang saya maksud di sini tidak selalu negatif, bahkan bisa jadi sangat positif. Ada mereka yang dilabeli begitu sempurna, lalu dikagumi dan dipuja oleh penggemarnya. Tapi kemudian, para penggemar tersebut kecewa karena ternyata idola mereka berbuat kesalahan atau tidak lagi seperti yang mereka harapkan. Dan seperti yang sudah-sudah, setiap label membawa pada satu ketakutan. Label negatif membuat orang takut “ketularan”. Label positif membuat orang takut “kecewa”. Padahal, kalau saja kita mau melepas label-label tersebut, barangkali perasaan kita akan terasa lebih ringan.
Saya misalnya. Ketika saya berhenti memusingkan label AN dan tetap “membantunya” membajak sawah, justru ketika itulah saya sadar, saya tidak perlu takut pada ke-lain-an orang yang membuat saya berpikir untuk takut, tapi untuk takut pada pikiran-pikiran semacam itu.
*Versi lebih ringkas dari tulisan ini terarsip di: Medium #ingat65
Leave a Reply