Saya ingin membuat pengakuan. Saya baru saja menonton film Ada Apa Dengan Cinta 2 (AADC2). Telat banget, ya? Memang. Tapi orang bijak bilang, better late then never. Jadi ya begitulah. Dengan bangga saya sampaikan bahwa saya baru menonton film yang menghebohkan dunia persilatan itu kemarin malam :D.
Tulisan ini bukan review film. Bukan pula spoiler. Lagipula pasti sudah banyak yang menonton film ini tanpa perlu saya kasih tahu bocorannya. Saya hanya ingin membagikan pendapat saya atas tontonan yang satu ini. Saya hanya ingin bercerita tentang ada apa dengan saya dan film AADC2.
Jujur harus saya akui bahwa saya pribadi tidak merasa terlalu terhubung dengan AADC. Waktu film pertama itu diputar, saya kelas satu SMA dan saya masih ingat antrian panjang mengular penonton di depan bioskop Mataram. Tapi saya tidak menjadi bagian dari antrian itu. Ya, saya tidak menonton AADC di bioskop. Saya menonton AADC beberapa bulan kemudian setelah film itu selesai tayang di bioskop dan bisa dipinjam di rental-rental terdekat. Saya lupa apakah itu karena saya anti mainstream atau cuma karena saya tidak punya uang untuk beli tiket bioskop. Hehehehe. Yang jelas, saya tidak terlalu merasa menjadi bagian dari generasi AADC. Meskipun itu bukan berarti saya tak suka filmnya atau tak terkena demam puisi “AKU” serta kaos kaki panjang selutut ala Cinta.
Sehingga, waktu AADC 2 diputar, lagi-lagi saya tak tertarik menjadi bagian dari antrian panjang. Tapi dalam hati saya berjanji, saya akan menontonnya. Sooner or later. One way or another. Dan ternyata malam kemarinlah saatnya. Akhirnya, saya menonton film yang membuat setiap orang latah berkata: “Rangga, yang kamu lakukan ke saya itu … JAHAT!”
Okay, mari kita mulai dengan adegan pembuka. Kesan saya satu: WAGU. Entah kenapa scene pembuka film tersebut terasa aneh dan janggal. Seperti dibuat-buat. Narasinya tidak mengalir.
Saya sendiri heran. Bukankah kita punya tradisi bertutur yang sedemikian kuat? Mengapa itu tidak tampak pada mayoritas film-film Indonesia? Tidak juga pada AADC2. Mungkin itu hanya perasaan saya saja. Saya toh bukan kritikus dan pengkaji film. Saya hanya penikmat film yang nyinyir. Hehe. Tapi saya sempat mendiskusikan hal ini dengan Zaki Habibi (yang lebih ahli dan lebih paham tentang film serta menulis juga tentang AADC2 secara lebih serius dan berbobot di sini). Dia bilang, ada satu riset yang mengatakan bahwa film Indonesia jarang mengedepankan script development. Budget lebih banyak dialokasikan untuk visual. Akibatnya, narasi tidak digarap. Hanya sekedar menjadi tempelan. Hasil riset tersebut seolah membenarkan perasaan saya. Sekaligus membuat saya makin heran karena bukankah dalam komunikasi massa berbasis audiovisual, ada prinsip “visual is the king and script is the queen?” Jadi kenapa cuma visual yang diutamakan?
Memang secara visual, kualitas film AADC2 ini tidak diragukan lagi. Tak heran jika banyak wisatawan, traveller, petualang, atau apapun istilahnya, yang kemudian melakukan “ziarah”, mendatangi tempat-tempat yang dikunjungi Rangga dan Cinta dalam film ini, demi mendapatkan pemandangan-pemandangan cantik atau moment-moment yang instagramable. Saking bagusnya, saya sendiri jadi merasa film ini seperti video klip. Seperti kumpulan foto-foto cantik di video motivasional. Seperti album yang tidak membosankan untuk dibuka.
Tapi itu saja. Secara cerita, saya tidak terhibur. Menurut saya, obrolan paling mengalir dan tidak tampak dibuat-buat justru terjadi antara Milly dan Mamet. Sementara adegan paling memukau adalah cuplikan Secangkir Kopi dari Playa yang ditampilkan oleh Papermoon Puppet Theatre.
Lalu bagaimana dengan para tokoh-tokohnya? Cinta jelas sangat cantik. Caranya mengucapkan kata “JAHAT” di film ini sama memesonanya dengan adegan dia-berjalan-meninggalkan-Rangga-tapi-lalu-menoleh-lagi di film pertama. Sementara Rangga, bagi saya di sekuel ini dia terlihat 24 kali lebih ganteng. Rangga tampak lebih matang. Masih misterius, rapuh, sekaligus tidak terelakkan. Saya bukan fans Nicholas Saputra sebenarnya, tapi saya memang cenderung beranggapan bahwa Nicholas Saputra itu ya paling pas ketika memerankan Rangga. Di film-filmnya yang lain pun, saya selalu melihat karakter Rangga. Saya melihat Rangga di Gie. Di Tiga Hari untuk Selamanya. Di Tiga Doa Tiga Cinta. Bahkan juga di Pendekar Tongkat Emas. Secara penokohan, film ini win-win solutionlah untuk pasangan. Yang laki-laki bisa mengagumi Cinta, sementara yang perempuan bisa puas-puasin cuci mata melihat Rangga (bonus Christian Sugiono dan Aryo Bayu kalau suka 😀 ).
Sementara di bagian tengah film, penonton banyak disuguhi fluktuasi emosi. On and off khas ala Rangga dan Cinta. Di bagian ini, Rangga dan Cinta berhasil mengikat emosi penonton. Membuat mereka, minimal saya, ikut merasakan gejolak yang sama. Penonton dibuat geregetan dan diam-diam berharap bahwa Rangga dan Cinta akan bersatu kembali meskipun di awal Cinta dengan tegas mengatakan (meski dengan kalimat yang berbeda): “Loe dan gue, end!”
Dan benar. Harapan itu mewujud di akhir cerita. Sayangnya scene-scene menuju ending justru menjadi scenes yang mengecewakan menurut saya. Misalnya ketika Cinta (kembali) mengejar Rangga di bandara lalu ada adegan hampir tertabrak truk. Saya merasa itu mirip sinetron (untung saja Cinta tidak dibuat kecelakaan lalu hilang ingatan atau kemudian operasi plastik, duh bisa-bisa ada AADC6 😀 ).
Atau adegan ketika Cinta menemui Rangga di New York. Kenapa juga harus ada “salah paham” antara Cinta dan Rangga tentang pelukan di kedai kopi?
Juga adegan Rangga mengejar Cinta dan kemudian Cinta membuat pengakuan. Sungguh, adegan tersebut mengingatkan saya pada satu adegan dalam film Kuch Kuch Hota Hai, ketika Anjali berkata pada Rahul: “Kuch kuch hota hai, Rahul. Tum nahi samjhoge” (Sesuatu telah terjadi, Rahul. Kamu tidak akan mengerti) :D.
Ah, sudahlah. Abaikan saja celotehan saya ini. Saya ini memang penikmat film yang nyinyir. Kadang saya berkata pada diri sendiri, “Apa susahnya sih duduk diam menonton tanpa berkomentar?” Tapi begitulah. Kutukan orang yang belajar ilmu komunikasi adalah tidak pernah lagi bisa menikmati produk komunikasi, termasuk film, dengan tenang 😀 .
Lagipula bukankah sudah dari awal saya bilang, catatan ini bukan sepenuhnya tentang Ada Apa Dengan Cinta 2, tapi lebih tentang Ada Apa Dengan Saya? 😀
Leave a Reply