Keberadaan insitusi media tak lain adalah untuk menjawab kebutuhan informasi yang dimiliki masyarakat. Mereka hadir untuk membuat masyarakat tahu apa yang tadinya tidak mereka tahu dan mengurangi tingkat ketidakpastian atas suatu kejadian atau peristiwa. Tak terkecuali dalam situasi bencana.
Peran media dalam situasi bencana justru kian besar, mengingat kondisi masyarakat yang rentan oleh ketimpangan dan kesimpangsiuran informasi. Kondisi masyarakat yang panik bisa menjadi semakin parah jika diikuti dengan media yang “parah” pula dalam pemberitaannya. Dalam situasi bencana, kebutuhan masyarakat akan berita-berita bencana menjadi meningkat tajam (Nazaruddin, 2007). Akibatnya, sebagaimana dituturkan Rahayu, masyarakat memuaskan rasa ingin tahunya dengan mengonsumsi berbagai media yang ada (Nazaruddin, 2007). Dalam kondisi tersebut, informasi mengenai bencana yang disampaikan media massa akan menjadi ”yang pertama”, ”yang utama” atau bahkan ”satu-satunya” yang akan membentuk pengetahuan masyarakat atas bencana itu sendiri.
Sayangnya, tidak semua media mampu menjawab kebutuhan ini. Begitu juga mereka yang mengklaim dirinya sebagai televisi lokal. Salah satu televisi lokal di Yogyakarta misalnya, tidak mampu memenuhi tanggung jawabnya dalam menyampaikan informasi kepada khalayak dalam situasi bencana. Hal ini dibuktikan dengan absennya berita mengenai letusan pertama Gunung Merapi yang terjadi Selasa (26/10) silam, yang ternyata diikuti dengan letusan-letusan lainnya, dan mengalami puncaknya pada Jumat (5/11) dini hari, sehingga menewaskan ratusan orang dalam pemberitaan mereka. Alih-alih melakukan stop press dan menjadi media pertama yang melaporkan, mengingat kedekatan mereka dengan lokasi bencana, mereka justru menyiarkan tayangan lain yang tidak mendesak untuk dikabarkan. Padahal, masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya sangat membutuhkan informasi mengenai bencana tersebut.
Hal ini, bagi saya, adalah kegagalan televisi lokal untuk melokal, untuk menjawab kebutuhan informasi entitas lokalnya. Padahal, dalam kacamata bisnis media, bencana adalah blessing in disguise atau berkah dalam kesemrawutan. Mengapa? Karena nilai beritanya yang tak pernah kering. Berita bencana selalu dibutuhkan oleh khalayak, terutama karena menyangkut nasib orang banyak. Karenanya, secara pragmatis sekalipun, seharusnya televisi berlomba-lomba untuk memberitakan bencana tersebut. Seharusnya mereka “memanfaatkan” bencana yang terjadi untuk menunjukkan peran mereka di masyarakat sekaligus menarik minat dan perhatian masyarakat lokal, sehingga nantinya, masyarakat lokal akan lebih mengandalkan televisi lokal ketimbang televisi nasional yang seringkali ibu kota sentris.
Pada dasarnya, media lokal dibuat untuk bisa lebih menjawab kebutuhan masyarakat lokal yang seringkali diabaikan dan tidak dianggap oleh media nasional. Media lokal bermaksud memenuhi kebutuhan dasar atas informasi terutama yang bernilai kedekatan (proximity) tinggi. Bencana meletusnya Gunung Merapi, adalah berita yang bernilai kedekatan tinggi, terutama bagi warga yang tinggal di lereng gunung teraktif di dunia itu. Karenanya, wajar jika masyarakat di sekitar Gunung Merapi “menuntut” adanya laporan jurnalistik mengenai bencana tersebut. Selain itu, televisi lokal juga mendukung adanya kehidupan bermedia yang lebih demokratis. Menyuburkan lahan pekerjaan dan pemerataan pendapatan di daerah. Sejalan dengan yang tertuang dalam UU Penyiaran tahun 2002.
Pada akhirnya, televisi lokal tersebut memang tetap memberitakan bencana meletusnya Gunung Merapi. Namun, mereka terbukti gagal menjadi media pertama yang melaporkan peristiwa. Bahkan kalah dengan media nasional yang berlokasi lebih jauh. Kecepatan memang bukan satu-satunya keutamaan dalam pemberitaan melainkan juga ketepatan dan akurasi data. Seringkali yang tercepat justru tidak akurat dan malah menambah penderitaan korban dengan kepanikan, isu dan kabar kabur. Namun, kelambatan televisi lokal dalam merespon peristiwa bencana yang terjadi di daerahnya ternyata tidak “dibayar” dengan berita yang lebih lengkap, detil dan komprehensif. Isi beritanya sama saja dengan media lain yang sudah lebih dulu memberitakan.
Parahnya lagi, kondisi demikian adalah kali kedua televisi lokal tidak menyikapi bencana dengan cara yang seharusnya. Kali pertama adalah ketika puting beliung melanda kawasan Universitas Gadjah Mada (UGM) pada tahun 2009. Waktu itu, televisi lokal juga lambat dalam merespon dan memberitakan. Meskipun secara skala lebih kecil dampak dan konsekuensinya, puting beliung yang memporak-porandakan sebagian wilayah UGM tersebut tetap merupakan peristiwa penting yang perlu diketahui masyarakat Yogyakarta.
Adalah benar bahwa bagaimanapun media selalu punya keterbatasan. Terutama soal akses, teknologi dan sumber daya. Kita toh tak pernah tahu kapan dan di mana bencana terjadi, sehingga tak bisa memprediksi dan berada di lokasi saat kejadian bencana, tapi minimal, ada usaha untuk menjawab kebutuhan informasi masyarakat secara maksimal. Sehingga media lokal bukan hanya terminologi semu yang digembar-gemborkan tanpa isi. Tapi benar-benar menjelma semangat dalam usaha menjadikan masyarakat tahu dan paham informasi.
Pertanyaannya sekarang, kalau media lokal saja, dalam hal ini televisi, telah gagal menjawab kebutuhan entitas lokalnya, pada siapa lagi masyarakat lokal seperti saya, dan mungkin juga Anda, harus menggantungkan pemenuhan kebutuhan informasinya?
Leave a Reply