Barusan saya ditelpon sepupu saya. Namanya Litha. Dia masih duduk di bangku Sekolah Dasar kelas IV. Dulu, saat saya masih SMA dan masa-masa awal kuliah, saya nebeng di rumahnya, jadilah dia dekat dengan saya. Kepada saya Litha bertanya tentang soal-soal PPKn yang menjadi tugas rumahnya kali ini (ah, untung bukan matematika. Saya tak pandai dalam angka. Mengutip Berger, I’m the woman without quantities ;)).
Litha bertanya soal lembaga penegak hukum, soal mekanisme penegakan hukum, soal LBH, KUHP, dan lain sebagainya. Pertanyaan Litha tersebut membuat saya memikirkan dua hal. Pertama soal pendidikan SD sekarang yang tampaknya lebih rumit dari masa saya dulu. Kedua, soal perseteruan dua lembaga besar di negeri ini terkait penegakan hukum.
Pemikiran yang kedualah yang ingin saya urai melalui tulisan ini.
Belakangan ini saya memang rajin mengikuti perkembangan kasus Bibit-Chandra. Saya mencatat, merenung, memperhatikan. Saya menjadi salah satu yang mendukung penolakan penahanan Bibit-Chandra. Baik melalui causes di situs jejaring sosial atau hanya dengan mendoakan dalam hati.
Bagi saya, kebusukan-kebusukan macam ini tak sepantasnya mencemari tanah air saya tercinta: Indonesia. Ah, saya jadi nasionalis kali ini. Hehehehe.
Lalu sore tadi, saya menonton berita yang ada di televisi. Menyimak konferensi pers dari Kepolisian Republik Indonesia mengenai tidak kunjung ditangkapnya Anggodo. Menurut mereka, belum ada bukti yang cukup kuat untuk menjadikan Anggodo sebagai tersangka. Pernyataan yang membuat saya geleng-geleng kepala.
Inilah ternyata yang disebut ibu saya sebagai “Nginguk Gethok’e Dhewe Kuwi Angel” atau melihat tengkuk sendiri itu susah. Ibu saya dulu mengajari kearifan ini pada saya setiap kali saya memprotes sikap atau tindakan seseorang yang menghujat keburukan orang lain tapi abai pada keburukan sendiri. Sikap yang katakanlah tidak gentleman. Sikap yang mau menang sendiri. Sikap yang sungguh mati saya benci.
Begitulah juga kiranya sikap Kepolisian kita. Untuk Anggodo, dia mengatakan tak cukup bukti. Tapi untuk Bibit-Chandra, mereka semaunya sendiri. Tetap bersikeras menahan meski status tersangka tidak melulu harus ditahan. Mereka buru-buru menangkap, menggunakan pasal yang intinya (hanya) berisi kekhawatiran. Tapi ketika kasusnya sudah jelas, mereka justru berkilah, dan dengan bangganya bilang: “Kita tidak bisa menangkap seseorang hanya karena opini publik. Tetap ada prosedur dan mekanisme hukum yang harus dilakukan”. Mereka malah sibuk menyidik apakah rekaman yang diperdengarkan dalam uji materi Mahkamah Konstitusi itu asli atau tidak.
Ah, terserah kamulah wahai Bapak Kepolisian yang tak punya malu. Kalau sampai Anggodo keluar negeri mungkin baru tahu rasa kamu (atau justru senang, kalau benar mereka rekanan). Mengingat bahkan dengan Singapura pun, kita tak punya kerjasama hukum (yang kuat).
Saya memang tak punya kapasitas mumpuni untuk bicara banyak soal ini. Saya hanyalah satu dari banyak orang yang peduli (meski saya tak memakai pita hitam di lengan kiri dan ringtone saya bukan “KPK di dadaku”). Saya hanya ingin berkata pada ibu saya yang menanti kepulangan saya akhir pekan ini: “Leres Bu, nginguk gethok’e dhewe niku angel” (Benar Bu, menoleh tengkuk sendiri itu susah).
Leave a Reply