Kecenderungan untuk memadukan atau mencampurkan Bahasa Indonesia dengan Bahasa Asing dalam lagu Indonesia, ternyata telah ada sejak jaman dahulu kala. Pagi ini, tanpa sengaja saya mendengarkan sebuah lagu yang diputar di stasiun televisi. Judulnya “Kopral Jono”, lagu khas perjuangan yang kerap saya dengar ketika tiba saat perayaan kemerdekaan di kampung saya dulu.
Baru pagi ini saya benar-benar mencermati lirik lagu tersebut, dan jidat saya langsung mengernyit ketika di bagian reff, saya mendengar lirik yang kurang lebih seperti ini: “ Wajahnya memang very good, seperti mas Robin Hood”. Aih, ternyata campur-campur dalam lirik lagu sudah dikenal dari dulu.
Barangkali itu menjelaskan mengapa lagu-lagu sekarang juga kerap mencampuradukkan bahasa. Dimulai dari Kuldesak ciptaan seniman (maaf) angkuh Ahmad Dhani, kemudian disusul dengan lagu-lagu yang lain dan terus saja menjamur hingga saat ini. Simak saja lirik lagu “Oh Baby” nya cinta Laura: “Katakan-katakan kau sungguh-sungguh, Hanya ada aku di dalam hatimu, Katakan-katakan kau cinta aku, Untuk selamanya kau jadi milikku, I don’t wanna loose you, yes I wanna hold you..”, atau “Klik”-nya Ussy : “Apa kau menantangku, Untuk menjadikanmu, Cita-cita hatiku, I will do it, I will do it..”. Pada lirik-lirik tersebut, jelas terlihat kombinasi antara kata-kata dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.
Itu untuk lagu-lagu yang dianggap “rendah”. Simak juga hasil karya mereka yang diklaim sebagai Diva Indonesia: Titi DJ, Ruth Sahanaya, dan Krisdayanti. Dalam lagu terbaru mereka, judul yang diberikan pun sudah bukan dalam Bahasa Indonesia, yaitu A lotta love (yang merupakan versi slank dari a lot of love), apalagi dengan liriknya, sudah jelas tidak murni dalam kata-kata Bahasa Indonesia.
Saya bukan bermaksud menghakimi si pembuat lagu. Memangnya ada aturan yang megharuskan lirik lagu Indonesia harus dalam Bahasa Indonesia? Saya kira tidak. Saya ini hanya seorang penikmat–yang tengah belajar menjadi pengamat–dan (toh) sedikit atau banyak saya menyepakati Remy Silado, yang pernah menyebutkan bahwa satu dari sepuluh Bahasa Indonesia adalah asing. Bagaimana tidak asing? Bahkan kata dokar, delman, grobak, sado dan bendi adalah persembahan peradaban pendatang yaitu Belanda (lebih jauh baca bagian ketiga dari tetralogi Parmoedya: Jejak Langkah). Jadi wajar kalau para pencipta lagu sering merasa kekurangan kata. Meski jujur, saya masih kerap didera perasaan tidak nyaman saat mendengar kata “secara” dipergunakan bukan dengan sebagaimana mestinya.
Satu-satunya hal yang ingin saya sampaikan di sini adalah fakta, bahwa ternyata, fenomena campur aduk lirik lagu itu bukan soal kesenjangan generasi seperti yang kita yakini selama ini. Kita terbiasa menganggap bahwa generasi sekarang lebih amburadul dari generasi sebelumnya. Bahwa generasi dulu lebih adi luhung, lebih hebat dalam semuanya. Termasuk dalam hal mencipta lirik lagu (soal musikalitas tidak saya singgung disini).
Bagi saya, fenomena ini merupakan proses panjang pewarisan sejarah ketidakmampuan. Ketidakmampun kita dalam memiliki dan menggunakan bahasa kita sendiri untuk lagu kita sendiri. Sehingga kita harus mengambil kata-kata dalam bahasa asing, untuk sekedar menulis: aku mencintaimu.
Leave a Reply