Saya mulai menulis puisi sejak SD. Kegemaran saya menulis memang telah terlihat sejak saya bisa memegang pulpen/kapur/pensil dan sebangsa alat tulis lainnya. Hal ini terindikasi dari coret-coretan yang saya buat. Mulai dari menulis nama sendiri di tembok kamar orang tua saya, hingga menulis keinginan-keinginan terpendam saya di bagian bawah meja makan keluarga. Saat bersekolah, saya tidak merasa kegemaran saya tersebut terfasilitasi, kecuali saat pelajaran mengarang yang selalu diawali dengan kalimat: “Pada suatu hari..” itu.
Tapi di kelas V (lima), saya menemukan momen yang barangkali merupakan batu pijakan saya untuk lebih menekuni puisi. Waktu itu, saya nekat mengumpulkan puisi karya saya yang telah saya bingkai dan hias dengan cantik (menurut saya), untuk menggantikan tugas prakarya mengukir bambu yang tidak bisa saya lakukan. Beruntung, guru saya cukup baik dengan mengapresiasi karya saya. Jadilah saya tekun menulis puisi sejak saat itu.
“Karir” saya dalam menulis puisi diawali dengan puisi-puisi yang jujur. Lazimnya anak SD, saya hanya menulis apa yang ingin saya tulis, tanpa memedulikan bagus tidaknya tulisan itu. Tak heran jika tulisan saya bergerak di seputaran aktvitas yang menerpa saya, semisal puisi tentang “Televisi” atau “Malam yang Sepi”. Kata-katanya pun sederhana, dan sangat menjelaskan keadaan saat saya menulis puisi. Dalam “Malam yang Sepi” misalnya, dengan polos saya menulis:
“Malam yang sepi aku sendiri
Bapak dan Ibu pergi resepsi…”
(Malam yang Sepi, 1997)
Konteks ketika saya menulis puisi ini memang saat orang tua saya menghadiri suatu resepsi pernikahan. Saya tentu saja belum kenal teks yang terikat konteks ketika menulis puisi tersebut, tapi begitulah cara saya menulis: gamblang, lugas dan apa adanya (tak masalah kalau ternyata menjadi jelek pada akhirnya).
Memasuki masa SMP, saya mulai belajar menggunakan kiasan. Biru tak melulu berarti biru. Langit tak selalau bermakna denotatif. Saya mulai merangkai kata-kata puitik. Saya memilih dan memilah benar kalimat yang akan saya gunakan. Di masa ini, cinta menjadi tema utama puisi-puisi saya. Terutama cinta antara laki-laki dan perempuan. Maklum, saya juga mulai belajar jatuh cinta (monyet) waktu itu. Hal ini saya bawa hingga SMA. Saya makin gemar bermain metafora. Simak salah satunya di puisi ini:
“Di sini cinta pertama kali bersemi,
Diantara warna putih dan abu-abu
Diantara kesedihan seorang anak dan kelapangan dada seorang dewasa…”
(Di Sini Cinta Pertama Kali Bersemi, 2003)
Atau yang ini:
“…Biarlah kunikmati keindahanmu dalam maya
Dalam dingin yang berhembus searah tiupan angin utara
Bersama rintik yang menari di pelataran hati
Bersama hujan yang mampir sebentar malam ini”
(Hujan yang Mampir Sebentar, 2004)
Di fase ini, saya juga mulai menulis puisi cinta pada Tuhan. Dua puisi kemudian lahir: “Tuhan, Izinkan Aku Menangis”, dan “Musafir”. Dalam kedua puisi ini pun, saya masih saja bermain rima. Saya terus mengunakan bait yang bersajak a-b a-b. Entah mengapa, saya suka sekali gaya bersyair yang satu itu.
Lalu sekarang, secara teknis dan tema, tak banyak yang berubah dalam puisi saya. Tapi tentu saja, saya belajar untuk menulis puisi secara lebih dewasa. Lebih matang. Masih melankolis puitis tentu saja (karena itu memang gaya saya), tapi tak lagi mengumbar terlalu banyak kata cinta. Saya belajar memperkaya diksi. Saya memperbaiki metafora dan kiasan yang saya gunakan. Saya “meminjam” kepuitisan alam. Saya juga mencoba memainkan peran dalam sebuah puisi. Salah satunya dalam puisi berikut:
“Kau dan aku seperti pasangan yang baru saja pacaran,
Masih kasmaran,
Terus berkirim pesan,
Mengumbar rayuan…”
(Pasangan yang Baru Saja Pacaran, 2007).
Juga dalam puisi ini:
“…tapi kini, saat kita telah dewasa dan menua
Kita justru terbata-bata mengeja cinta”
(Terbata-bata Mengeja Cinta, 2009).
Saya selalu merasa bahwa berpuisi merupakan bentuk berkontemplasi. Saya sangat menyepakati kalimat Prof Suminto yang ia lontarkan dalam peluncuran antologi puisi “Lilin-Lilin Melawan Angin” karya Slamet Riyadi Sabrawi yang saya ikuti Senin lalu (07/09). Berpuisi adalah salah satu betuk menikmati dan merayakan kehidupan. Puisi adalah ekstrasi dari perenungan panjang atau sekadar coletahan tanpa makna. Apapun itu, puisi selalu membantu penulisnya menikmati kehidupan dalam setiap detiknya. Tidak terkecuali bagi saya.
Dari diskusi itu juga saya menemukan kembali semangat untuk membukukan karya-karya puisi saya suatu saat nanti. Awalnya saya sempat dihantui ketakutan dan kekhawatiran atas karya saya yang sepertinya terlalu personal. Saya takut orang lain tak bisa menikmatinya. Tapi seperti kata Prof Suminto, puisi—karya Pak Slamet diantaranya—tidak bermaksud mendikte pembaca untuk memahami puisi tersebut seperti yang diinginkan/diniatkan oleh penulisnya. Pembaca memiliki kebebasan untuk membentuk makna mereka sendiri. Mau memahami atau sekadar menikmati, atau keduanya, tak lagi menjadi soal bagi penulis. Barangkali, thesis Roland Barthes bahwa “The author is dead” juga berlaku dalam puisi. Penulis hanya berkarya, makna sejatinya ada di benak pembaca.
Lagipula, betapapun personal karya yang saya buat, saya percaya, ada fase-fase yang sama yang pernah dilalui manusia, sehingga sebuah puisi bisa jadi mampu merayakan/mewakili perasaan banyak manusia sekaligus. Jadi saya memutuskan untuk menyingkirkan ketakutan saya itu dan terus menekuni puisi.
Semoga seperti Pak Slamet (omong-omong cucunya ganteng sekali Pak ;)), saya bisa menjaga “roh” (baca: semangat/motivasi) untuk terus berpuisi. Kalaupun tidak terbukukan, biarlah menjadi sarana berkontemplasi saya secara pribadi atau setidaknya menjadi karya sederhana yang bisa saya ceritakan pada anak cucu saya nanti.
Leave a Reply