Bahasa (Juga) Kenal Usia

Saya punya seorang teman, panggil saja dia Ardi. Usianya terpaut cukup jauh dari saya, tapi kami lumayan sering berdiskusi dan berbagi cerita, dari obrolan berat soal politik hingga diskusi ringan mengenai keluarga.

Ardi belum lama pulang kembali ke Indonesia. Profesinya sebagai seorang dosen mengharuskan ia meninggalkan tanah air tercinta ini demi meraih gelar master–kemudian doktor–di Amerika. Praktis, selama 10 tahun, Ardi “hilang kontak” dengan Indonesia.

“Hilang kontak” tersebut tidak menjadi soal hingga dia bertemu dengan saya, yang merupakan produk “baru” negeri ini. Setiap kali kami berbincang, Ardi sering mengeluarkan kosakata jadul (jaman dulu) yang membuat saya tergelak, entah karena saya tidak tahu artinya, atau karena saya merasa kata tersebut sudah usang dan tidak lazim digunakan. Kata-kata usang tersebut antara lain mangsi (untuk menyebut pulpen tinta), atau mejeng untuk menyebut nampang. Masalah yang hampir sama muncul ketika saya mengeluarkan kosakata yang baru baginya, semisal lemot (lemah otak), TTM (teman tapi mesra) atau Tepe-Tepe (tebar pesona yang bisa juga diartikan sebagai nampang).

Persoalannya memang bukan di Ardi, tapi dari waktu yang hilang selama dia di Amerika, yang ternyata melahirkan begitu banyak kosakata baru.

Sudah menjadi hal umum bahwa bahasa di negeri ini, terutama bahasa tutur, bisa diciptakan sedemikian rupa dan sedemikian cepat. Dari teman saya Ardi itulah saya sadar, ternyata bahasa juga kenal usia. Bahasa kenal batas waktu. Apa yang lazim dijadikan alat perbincangan dulu, bisa jadi sekarang tidak berlaku lagi. Apa yang menjadi trend kata di masa lalu, belum tentu populer bagi anak sekarang.

Saya sendiri termasuk produk masa kini yang masih suka menggunakan kosakata jaman dulu, entah karena alasan yang saya sengaja–biasanya karena idealisme–atau karena memang saya sendiri yang kurang pergaulan. Mungkin ini yang menyebabkan saya dan Ardi masih cukup “nyambung” dari segi bahasa.

Ketidaklekangan bahasa atas waktu bisa dilihat dari fenomena anak sekarang yang sudah tidak lagi menggunakan kata-kata seperti kece, yang dulu populer di tahun 80-an, atau doi dan doski yang populer di tahun yang sama. Bahasa memang merupakan produk budaya, yang tumbuh dan berkembang seiring bergulirnya waktu. Anak sekarang barangkali lebih mengenal kata secara, gokil, atau sadis.

Perbedaan waktu tidak hanya menjadikan sebuah kata menjadi usang, tetapi juga bisa memberikan makna yang berbeda. Salah satu contohnya adalah kata secara yang sekarang tidak melulu berarti dengan atau ala, juga kata sadis yang kini justru beralih makna menjadi sangat keren atau sangat luar biasa.

Proses komunikasi yang menggunakan bahasa tentunya menjadi kian menarik ketika dihadapkan pada waktu dan kekinian bahasa itu sendiri. Seperti saya dengan Ardi misalnya, yang ternyata tetap bisa menjalin komunikasi yang efektif meski dengan perbedaan “usia” bahasa.

Advertisement

3 responses to “Bahasa (Juga) Kenal Usia”

  1. Iya Hay, temenmu si Ardi, doi sekolah di Amerika lama aja ya kan, ya pantes banget kalo ketinggalan jaman soal bahasa gaul kita punya.
    Lagian, bahasa gaul-nya anak Indonesia kan paling kiyut lah yauww… (aku ngomong apa sih? hehe, maksa pengen ngomong gaya jadul tapi udah rada2 lupa…)
    Jadi pengen nulis tentang tren jaman masih SMP hay.. masih ingat wktu generasi kita (*kita apa ku?)tergila2 akan westlife, kemeja flanel, dan celana baggy???

  2. kita? situ aja kali, hehehehe
    kalau westlife kuakui, sempet suka juga waktu SMP, hehehe
    tapi kalau yang lain kayaknya gak deh, hehehehe

  3. eh ada tiwi…
    tiwi juga suka yang jadul2 kan?
    termasuk cwo jadul alias fernan >.<

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

A WordPress.com Website.

%d bloggers like this: