Sebagai penikmat film, jujur, saya kerap dikecewakan oleh film Indonesia. Seperti semalam, misalnya, saat saya menonton “Perempuan Berkalung Serbet”, maaf, maksud saya “Perempuan Berkalung Sorban”. Sebelumnya, saya sama sekali tidak tertarik untuk menonton film ini. Tapi demi keperluan riset yang tengah digagas suami saya, maka saya menyempatkan diri untuk menonton.
Perempuan berkalung sorban berkisah mengenai seorang perempuan, anak kyai Salafiah sekaligus seorang ibu dan isteri bernama Anissa (diperankan oleh Revalina S Temat). Annisa adalah seorang perempuan dengan pendirian kuat, berwajah cantik dan berotak cerdas. Anissa hidup dalam lingkungan keluarga kyai di pesantren yang konservatif di mana buku modern dianggap menyimpang. Dalam pesantren ini juga, Annisa diajari bagaimana menjadi seorang perempuan muslim berdasarkan ajaran Islam konservatif–yang menurut Anissa–terlalu membela laki-laki, memposisikan perempuan sebagai sosok yang sangat lemah dan memperlakukan mereka dengan tidak setara (dikutip dari http://synopsis-movie.blogspot.com/2009/02/sinopsis-perempuan-berkalung-sorban.html dengan sedikit perubahan)
Kebetulan, saya belum membaca novel yang diadaptasi film ini, maka saya tak punya pengetahuan untuk membahas soal perbandingan isi dari novel dan film tersebut. Persoalan yang ingin saya diskusikan melalui tulisan ini adalah mengenai film Perempuan Berkalung Sorban dari kacamata penikmat film biasa seperti saya.
Kacamata yang pertama adalah dari sisi judul. Saya selalu diajari bahwa judul adalah janji. Bahwa judul adalah representasi dari keseluruhan cerita. Judul adalah gambaran, atau etalase mengenai apa yang sebenarnya ingin diceritakan oleh si penulis cerita (sutradara). Atas asumsi itulah, saya kemudian membayangkan bahwa film ini akan bercerita mengenai perjuangan seorang perempuan dengan mengenakan sorban. Apakah itu untuk menutupi identitas aslinya, atau sorban disini berarti sesuatu yang lain, saya tidak tahu. Saya hanya meyakini bahwa akan ada sorban, baik dalam pengertian denotatif maupun konotatif dalam film tersebut.
Namun alangkah kecewanya saya ketika mendapati bahwa sorban di film ini hanya menjadi benda yang tak punya makna atau relevansi sama sekali. Selain sebagai pemanis cerita atau agar judulnya berima. Saya tak tahu apakah hal yang sama juga terjadi dalam bukunya, atau ini adalah kegagalan sutradara mengangkat “peran” sorban dalam kisah ini.
Memang, judul kerap digunakan untuk menarik perhatian, sehingga lebih menekankan unsur kemenarikan daripada substansi aslinya. Namun demikian, saya percaya bahwa kemenarikan tidak linier dengan ketidaksesuaian, sehingga tak ada alasan untuk membuat judul yang menyimpang dari isi ceritanya.
Kacamata yang kedua adalah dari segi cerita. Entah kenapa, film Indonesia yang diadaptasi dari novel selalu membuat saya tersengal dalam mengikuti alur ceritanya. Terlalu banyak data dan cerita yang ingin dimasukkan sehingga membuat alur cerita tidak kompak dan utuh. Barangkali karena film memiliki space (ruang) yang terbatas dibandingkan novel sehingga sulit untuk mewadahi semuanya. Meskipun sebenarnya, adaptasi tidak harus selalu sama persis. Nyatanya, “Laskar Pelangi” tetap menjadi karya adaptasi yang manis.
Kacamata yang ketiga adalah soal ending cerita. Ketidakmampuan dalam menjelaskan duduk perkara ternyata tidak hanya menjadi milik koran dan televisi tapi juga milik film. Sampai film ini selesai dan disusul dengan testimoni dari orang-orang terkenal yang telah menonton film ini, saya sama sekali tidak memperoleh inti cerita dari film tersebut. Perjuangan macam apa yang sebenarnya tengah diperjuangkan oleh si perempuan berkalung sorban? Kalaupun ada perjuangan, apakah itu bisa disebut sebagai perjuangan? Atau apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh si sutradara. Tidak jelas. Semua mengambang sampai akhir cerita. Mengambang disini tentu saja bukan dalam pengertian estetik di mana film terkadang sengaja dibuat tidak selesai. Mengambang di sini lebih ke soal ketidakjelasan cerita.
Barangkali sebagian adalah salah saya, yang tidak membebaskan otak saya dari asumsi-asumsi atau gambaran-gambaran awal yang saya bentuk atas pengetahuan saya sebelumnya. Sehingga, saya menjadi kecewa ketika gambaran atau asumsi saya itu tidak benar. Atau mungkin, persoalannya memang ada di film yang saya tonton, yang ternyata bukan hanya gagal memberi makna tertentu bagi saya tapi juga gagal menghibur saya. Ah, untung saya masih bisa tidur nyenyak semalam.
Leave a Reply