Sebenarnya, tidak ada yang perlu dipertentangkan dalam kajian etika maupun hukum. Masing-masing punya ranahnya sendiri. Etika di ruang privat. Hukum di ruang publik. Sayangnya, kita seringkali terjebak untuk menyandingkan keduanya. Membandingkan. Mempertentangkan. Tanpa memahami lebih dulu konten dan konteksnya.
Logika pikir itulah yang mulai banyak dimiliki oleh masyarakat kita. Mentang-mentang hukum sanksinya lebih riil, lebih konkrit dan jelas, maka dia dianggap lebih unggul dari etika. Seolah semua hal yang mengatur kehidupan manusia itu harus diwajibkan, harus dilegalkan. Sementara susuatu yang berakar dari nilai dan moral kita sebagai manusia justru semakin tidak mendapat ruang.
Kasus yang mungkin bisa dijadikan contoh adalah tayangan di salah satu televisi swasta beberapa waktu yang lalu yang menayangkan perihal kekerasan dalam berpacaran. Seorang perempuan berusia belia menceritakan pengalamannya ketika diculik oleh pacarnya dan dianiaya secara fisik oleh pacarnya tersebut. Perempuan itu juga menceritakan bagaimana keluarganya sendiri lebih mempercayai si lelaki daripada dirinya.
Ketika ditanya oleh presenter apakah kasus tersebut sudah dilaporkan ke polisi, perempuan itu menjawab sudah tapi tidak memperoleh tanggapan serius karena tidak ada hukum yang mengatur kekerasan dalam pacaran (barangkali si polisi lupa kalau ada hukum yang mengatur soal perbuatan tidak menyenangkan dan kekerasan fisik).
Uniknya, solusi yang kemudian dimunculkan dalam acara tersebut adalah membuat Undang-undang pacaran. Seolah semua yang memunculkan masalah di dunia ini hanya hukum solusinya. Lagipula, kalau pun dibuat hukum mengenai pacaran, apakah jumlah kekerasan itu pasti berkurang? Bukankah hukum juga seringkali bisa dicari celahnya?
Saya bukannya anti hukum, saya hanya merasa bahwa sudah waktunya setiap hal ditempatkan sesuai porsinya. Yang memang perlu diatur dengan hukum, buatkan Undang-undang. Yang cukup dengan etika, biarkan moral dan norma sosial yang mengaturnya. Jangan sampai suatu saat nanti muncul ide untuk membuat Undang-undang tentang kentut misalnya.
Ah, saya tidak bisa menolak untuk menyepakati Plato, yang menyebutkan bahwa: “Apa yang terasa baik tidak perlu diwajibkan karena yang terasa baik dengan sendirinya akan diusahakan orang. Etika tidak begitu mewajibkan, selain membantu orang untuk melihat apa yang betul-betul baik” (dalam 13 Tokoh Etika oleh Franz Magnis Suseno (2007: 19).
Jadi menurut anda, masih perlukah Undang-undang pacaran itu? yang saya bayangkan akan berisi seperti ini:
“Barang siapa menyentuh jari tengah pacarnya tanpa izin, akan dikenai denda sekurang-kurangnya lima juta rupiah dan atau kurungan selama-lamanya tiga kali lebaran dan tiga kali puasa“
Leave a Reply