Kampanye

Seuatu pagi, penyiar di kotak televisi saya mengabarkan perihal kampanye terbuka yang resmi dimulai Senin lalu. Saat itu juga, angan saya tiba-tiba melambung ke pengalaman saya ketika SD. Ternyata, banyak memori tentang pemilu yang masih tersimpan rapi di benak saya. Diantaranya lagu “Pemilihan Umum Telah Memanggil Kita.. Seluruh Rakyat Menyambut Gembira” yang rajin di putar di televisi nasional.. stiker-stiker yang menempel di tembok rumah dan harus diganti setiap hari, juga suasana-suasana yang tercipta selama kampanye berlangsung. Saya dan teman-teman SD saya senang sekali menonton konvoi kampanye yang lewat di depan rumah. Tak jarang, kami sengaja janjian untuk menonton bersama-sama.

Waktu itu, saya dan teman saya hanya mengenal tiga warna stiker. Merah, kuning dan hijau. Setiap warna, membawa suasana psikologis tersendiri, juga menentukan lokasi kami menonton konvoi. Warna kuning berarti keceriaan, kami diajari untuk mengacungkan dua jari dan memasang senyum manis, seolah meyakinkan, semua aman dan terkendali (ya, sedih kalau ingat, bahwa dari kecil, kami sudah dibesarkan dengan kebahagiaan semu, palsu). Kami bebas melihat dari manapun. Mau di dekat jalan, boleh. Mau ikut menari di lapangan boleh juga. Seolah tak ada yang perlu dikhawatirkan.

Warna hijau berarti kami harus agak merapat ke belakang. Maksimal di teras depan. Jempol kami terangkat ke atas. Kami tak boleh terlalu dekat barisan konvoi, dan jempol kami harus selalu teracung, hingga barisan pria berpenutup muka itu lewat.

Warna merah lain lagi. Kami hanya boleh mengintip dari balik jendela. Sambil sesekali mengacungkan jari dengan jumlah tiga. Jangan sampai tidak. Kalau ketahuan bisa bahaya. Itu nilai yang dijejalkan pada kami dulu. Bukan itu saja, waktu warna merah ini mendapat giliran kampanye, kami dipulangkan lebih awal dari sekolah. Mereka khawatir, kalau-kalau kami diculik atau semacam itu ketika konvoi berlangsung. Sebagai anak SD, kami sih senang-senang saja waktu itu. Pulang pagi gitu loh.

Perbedaan suasana dan perlakuan terhadap kami itu dibangun bukan oleh orang tua saya, melainkan oleh masyarakat. Setelah besar, saya tahu bahwa nama dari pembentukan makna itu adalah: konstruksi sosial.

Rekaman-rekaman atas peristiwa itulah yang saat ini tidak saya temui di jalan-jalan raya, meskipun kampanye telah berjalan selama 3 hari. Saya hanya menemui segerombolan pria bermotor kemarin sore, berornamenkan bendera berlambang keadilan, yang dengan ngawurnya, mengebut dan tiba-tiba berbelok ke kanan (tuh kan, belum jadi wakil rakyat saja sudah ugal-ugalan, membahayakan orang lain, bisakah saya percaya dengan partai semacam itu?).

Bukannya saya menginginkan kampanye yang penuh doktrinasi seperti ketika saya kecil dulu. Tapi aneh juga melihat kota yang sepi adem ayem tanpa suasana kampanye yang riuh. Barangkali karena sekarang bukan jamannya lagi konvoi rame-rame, tapi jamannya tampil di televisi atau nampang di baliho dan papan-papan di jalan.  Barangkali karena partainya terlalu banyak, sehingga jari tangan tak cukup lagi untuk berpartisipasi. Atau mungkin karena kita tengah disibukkan dengan isu lingkungan, kampanye yang melibatkan kendaraan bermotor tentunya menambah jumlah emisi dan polusi. Sangat tidak ramah lingkungan.

Saya semestinya bersyukur, anak-anak kecil saat ini tidak tumbuh dan besar dengan ketakutan-ketakutan tertentu seperti jaman saya dulu. Mereka juga lebih banyak mengenal warna. Meskipun lebih banyak pilihan tidak identik dengan lebih mudah memilih (lebih sulit malah), tapi saya senang karena jaman sudah berubah, dan saya ikut berubah di dalamnya.

Meskipun, jauh dalam hati saya, senyapnya jalan raya membuat saya merindukan yel-yel kampanye yang saya nyanyikan ketika saya kecil dulu:

“Ijo..ijo.. ***

Abang..abang.. ***

Kuning..kuning.. ******”

(hijau..hijau..***, merah..merah..***, kuning..kuning..******)

Advertisement

11 responses to “Kampanye”

  1. apapun alasannya, tahun ini gak ada alasan buat golput kan mbak

  2. ga, saya cuma belum menentukan pilihan ;p

  3. bukankah kamu telah memilih zaki…

  4. abdee: maksudku memilih siapa tanggal 9 april nanti, bukan memilih siapa tanggal 7 maret lalu..

  5. heheh….samaaaa (maksude sama ga tau mau milih apaan bulan depan). Tapi untunglah diriku ini ga punya kartu pemilih, ga terdaftar sebagai pemilih (di jakarta) jadi ga perlu pusing2 harus milih…

  6. @devinzh4: wah betapa beruntungnya mbak Devi, hahahaha

  7. kalau gitu, betapa tidak beruntungnya saya menjadi petugas KPPS..hehe..

  8. @resta: hahahaha, ya dinikmati saja ;p

  9. selamat mencontreng mbakhayu…..
    semoga ga butawarna ya…(lol)

  10. He he he (masih “kudu ngguyu” boleh nggih, Bu Dosen?) Saya yang di pelosok juga merasakan senyapnya nuansa kampanye kali ini yang tlh lewat dengan amannya (?) Sepertinya para “parpolis” dan konstiuen mengambil model yang praktis, efektif, dan efisien. Salah satu anekdot yang tiba2 populis di kawasan pelosok saya adalah “kenthang ana wite, nyenthang yen ana dhuwite” (maaf, ini fakta fenomental loh, Bu Dosen, jangan “digujeng nggih”). Bagaimana dg Jogja?

  11. disini juga hampir sama, yang dipelosok-pelosok masih bingung mau ngapain pas di TPS, padahal kertas suaranya segedhe gaban, dan kalau mau mencoblos pun (sebagai ganti mencontreng) harus bawa peniti sendiri.. ;p

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

A WordPress.com Website.

%d bloggers like this: