Akhir-akhir ini saya merasa “kudu ngguyu”. Yaitu semacam perasaan harus tertawa, karena menghadapi logika-logika yang tidak “berjalan” sebagaimana mestinya. Kudu ngguyu juga bisa menjadi sindiran halus, ketika kita menghadapi sikap-sikap tertentu yang menggelikan (untuk tidak menyebutnya memalukan).
Kudu ngguyu saya yang pertama, saya rasakan ketika saya melewati Monumen Jogja Kembali (Monjali) pada hari Minggu (1/2) lalu. Pagi itu, Monjali ramai dipadati pengunjung. Usut punya usut, ternyata ada seorang pria berkumis tebal, yang wajahnya ramai menghiasi baliho akhir-akhir ini, sedang mendeklarasikan niatnya untuk menjadi calon presiden RI pada Pemilihan Umum mendatang. Dengan yakin, dia mengklaim dirinya “Presiden Perubahan”.
Saya kudu ngguyu, karena saya tidak mengenalnya–dalam arti tahu sepak terjangnya–teman saya juga tidak, dan begitu juga dengan temannya teman saya. Jadi, percaya diri sekali ketika pria tersebut kemudian merasa layak menjadi presiden. Meskipun mungkin, kami saja yang tidak gaul hingga tidak mengenal sosok tersebut.
Kudu ngguyu saya yang kedua, saya rasakan ketika saya menemukan sebuah papan baliho , bergambar sosok calon legislatif dengan foto David Beckham berukuran super besar di belakang dirinya. Lengkap dengan tulisan bernada bangga “Nomor TUJUH adalah nomor keberuntungan saya”. Ah, seandainya dia tahu, Beckham saat ini sudah tak lagi mengenakan nomor punggung 7 seperti yang dikenakannya dalam gambar itu.
Kemudian saya teringat sebuah acara di televisi beberapa hari yang lalu, ketika infotainment memberitakan dan mencoba menghakimi Luna Maya dengan membelokkan kata dan menyesatkan kabar mengenai hubungannya dengan Ariel Peterpan. Saya juga merasa kudu ngguyu ketika menyaksikan bagaimana infotainment memelintir informasi kekesalan Luna Maya atas pemberitaan tersebut menjadi kecemburuan dia terhadap Aura Kasih yang memang dikabarkan memiliki hubungan dekat dengan Ariel Peterpan.
Kudu ngguyu saya yang terbaru terjadi kemarin sore, saat saya tengah menonton berita banjir di televisi. Visualisasi televisi mempertontonkan adegan seorang presenter yang berada di lokasi banjir dan sedang mewawancarai salah satu korban. Dengan tutur kata yang sasar-susur, presenter tersebut melontarkan pertanyaan-pertanyaan tidak penting kepada si narasumber. Awalnya tak ada yang membuat saya tertawa, tapi beberapa menit kemudian, saya terpaksa kudu ngguyu ketika si presenter meminta narasumber tersebut untuk mendekat dan bukannya menghampiri narasumber yang bersangkutan. Saya jadi teringat sebuah anekdot dalam bahasa Jawa: “Waluh kuwi Bunder, sing Butuh, nyander”. Artinya kurang lebih, siapa yang butuh, dia yang mendekat/menghampiri. Tapi sepertinya, si presenter merasa terlalu cantik untuk bergerak dalam banjir.
Ah, Butet Kertaredjasa benar. “Urip kuwi mung mampir ngguyu” = Hidup itu hanya mampir tertawa. Dengan kesesatan-kesesatan pikir dan ketidakjelasan logika yang ada di sekitar kita saat ini, kita memang akan kerap berada di posisi kudu ngguyu. Namun, dengan kudu ngguyu, minimal kita masih bisa berkontemplasi mengenai betapa kacaunya, logika-logika berpolitik, juga bermedia di negara ini. Barangkali kita bisa belajar dari situ, setidaknya untuk bisa lebih rumangsa, lebih tahu diri atas kemampuan yang kita miliki, sehingga tak pernah segan untuk belajar, minimal belajar ngguyu, belajar tertawa: “Ha..ha..ha..”
Leave a Reply