Prasojo.
Apakah kata ini mengingatkan Anda pada nama sesorang? Atau nama rumah makan yang pernah Anda kunjungi beberapa waktu lalu? Bisa jadi ya, tapi saya tidak akan membahas soal itu.
Saya akan (sok) berpikir politik kali ini. Meskipun saya dibuat haus karenanya.
Prasojo merupakan Bahasa Jawa dari kebersahajaan. Bisa juga diartikan sebagai kemampuan sesorang untuk menilai kapasitas dirinya dalam konteks yang proposional. Misal, seorang ahli jurnalisme, tidak akan serta merta mau diminta berbicara tentang iklan yg bukan bidangnya. Seorang ahli politik, tidak akan tiba-tiba menjadi kurator pameran fotografi, tanpa dia mengerti fotografi. Bahasa kasarnya, tau diri lah.
Saya tahu, bahwa manusia mungkin saja punya banyak bakat. Misal, ada seseorang yang bakat berakting, bernyanyi dan menari. Atau ada juga yang memang bisa memasak, dan juga berpolitikus.
Tapi saya percaya bahwa tak ada orang yang bisa banyak hal dan berperan di banyak hal sekaligus. Pasti akan ada satu yang terbengkalai. Pasti akan ada satu-dua yang tidak maksimal.
Kalau memang sesorang itu mampu untuk mengemban kepercayaan yang diberikan, saya pikir sah-sah saja. Toh, setiap orang punya kesempatan yang sama untuk belajar dan mengembangkan diri. Tapi kalau seseorang yang kemampuannya tidak ada tapi pengen sok pamer muka. Saya rasa, dia benar-benar tidak punya malu.
Ibu saya pernah bilang: “Uwong kuwi paling angel ninguk gethok” (orang itu paling susah melihat tengkuknya sendiri). Kalimat ini kemudian beliau artikan, bahwa orang itu paling susah melihat kejelekan dan keburukan dirinya sendiri. Yang dilihat hanya keburukan orang lain. Keburukan diri sendiri ya peduli setan.
Kiranya, kalimat ibu saya ini bisa digunakan untuk melihat sepak terjang orang-orang yang mengklaim dirinya politikus, yang kini sibuk berakting menuju pentas sejuta aksi 9 April mendatang. Bagaimana seorang mantan terdakwa kemudian merasa bisa menjadi caleg. Bagaimana seseorang yang sering belenggak-lenggok di depan kamera tiba-tiba mau menjadi wakil rakyat.
Iya, saya mengerti bahwa peran-peran ini adalah hak semua orang. Tapi kapasitasnya tunjukkan dulu dong. Masak kami (baca: rakyat jelata) harus membeli kucing dalam karung? Sudah layakkah dia? Sudah bisakah dia menjadi representasi suara-suara kami?
Kalau belum, ya jangan memaksa. Prasojo saja. Karena tidak setiap orang bisa menjadi semuanya. Lagipula, nasib bangsa ini saya kira terlalu berharga untuk dipertaruhkan demi manusia-manusia yang urat malunya sudah tak ada.
Leave a Reply