Sabtu lalu (13/12) saya mengikuti roundtable discussion Jurnalisme dan Etika Publik yang diselenggarakan oleh LP3Y dan Tifa Foundation di Jogja Plaza Hotel (dulu Radison). Dalam diskusi tersebut, saya kurang menyepakati pendapat yang mengemukakan bahwa dalam Jurnalisme, di Indonesia khususnya, persoalan teknis sudah selesai. Meskipun mungkin pendapat tersebut dilontarkan dalam konteks bahwa ada persoalan yang lebih krusial selain teknis, saya tetap tidak bisa menyingkirkan kegelisahan saya bahwa masalah teknis untuk Jurnalisme di Indonesia, masih sangat kurang (untuk tidak menyebutnya parah).
Beberapa postingan saya sebelumnya jelas mengindikasikan betapa persoalan teknis masih menghantui kerja jurnalisme di Indonesia. Misalnya mengenai teknik mewawancara narasumber yang kebetulan anak-anak, teknik menyampaikan lokasi peristiwa yang asal-asalan, dan lain sebagainya.
Pagi ini, saya juga menemui satu lagi kesalahan teknis yang sama bodohnya dengan kekalahan Indonesia dalam lanjutan piala AFF melawan Thailand semalam. Kesalahan itu adalah pertanyaan atau lebih tepatnya cara bertanya seorang presenter acara ajang pencari bakat untuk anak-anak. Dalam acara tersebut, terlepas dari kekesalan saya yang menganggap bahwa acara itu hanya ajang eksploitasi anak semata, si presenter bertanya dengan nada tidak bersalah: “Anggi..anggi (anggap saja nama si anak: Anggi).. kamu kalau ibunya berjualan tomat di pasar malu gak? (Ibu Anggi kebetulan memang berjualan tomat di pasar)”.
Anak tersebut menggeleng dan menjawab “Tidak”.
Lalu si presenter bertanya lagi: “Kenapa ga malu?”.
Sampai disini, saya sudah tidak bisa lagi mendengarkan jawaban Anggi. Otak saya sudah dipenuhi kekesalan terhadap si presenter. Logika apa yang sedang dia gunakan sampai dia merasa perlu menanyai seorang anak kecil (yang bahkan belum SD) dengan pertanyaan semacam itu?. Logika apa pula yang mewajibkan kita untuk merasa malu mempunyai Ibu seorang penjual tomat?. Memangnya semua Ibu di dunia ini harus berprofesi sebagai artis? sebagai politikus? sebagai presiden?.
Kesesatan logika dalam berpikir memang tidak hanya dilakukan oleh presenter tersebut tapi juga masyarakat kita pada umumnya. Bagaimana Ananda Mikola menolak dijadikan tersangka (seolah-olah klaim tersangka itu adalah hadiah dari Pamannya) atau bagaimana keluarga Adam Malik mencoba menyangkal pemberitaan mengenai Adam Malik sebagai agen CIA dengan mengatakan bahwa Adam Malik tidak pernah memberitahu mereka bahwa dia adalah seorang agen (seolah menjadi agen CIA merupakan pengumuman yang bisa diberitakan ke semua orang), bisa menjadi gambaran betapa kita belum memahami logika-logika umum yang ada di masyarakat. Tentang bagaimana person berhubungan dengan person lain. Bagaimana person berhubungan dengan institusi. Atau bagaimana institusi berhubungan dengan institusi lainnya.
Kriminalisasi media, penggrebekan oleh golongan tertentu, tuntutan pencemaran nama baik, merupakan sekelumit persoalan yang muncul karena kesesatan logika. Sayangnya, lagi-lagi, media sendiri (dalam hal ini jurnalis) juga sering mengalami kesesatan ini.
Ah, saya memang belum punya solusi praktisnya. Tapi tiba-tiba, saya ingin berada di posisi Anggi untuk sepersekian detik dan berteriak kepada presenter acara tersebut: “Kalau Ibu saya penjual tomat, mau apa kamu?”
Leave a Reply