Setahun yang lalu, ketika saya tengah melakukan penelitian mengenai media literacy di sebuah desa di ujung tenggara Kota Wonosari, salah seorang informan saya menunjukkan ketertarikannya yang luar biasa atas sinetron Indosiar. Ya, sinetron yang menurut saya wagu dan teknik efek-nya tidak lebih bagus dari King Kong yang dibuat pada tahun 1930-an. Kepada saya, informan saya itu bercerita betapa dia tergila-gila dengan sinetron tersebut dan tak pernah melewatkan satu pun episodenya. Saya, yang waktu itu berperan sebagai observer, hanya bisa tersenyum simpul dan terus bertanya “kenapa?”, “kenapa?”, dan “kenapa?”.
Belum habis heran saya, seorang Ibu belum lama ini berkata pada saya bahwa dia tengah menikmati salah satu sinetron yang tayang di Indosiar. Menurutnya, tayangan tersebut mudah dicerna dan tidak perlu berpikir keras untuk mengetahui jalan ceritanya.
Barangkali, ini yang disebut Seno Gumira dalam kalimat sindirannya sebagai kehebatan ibu-ibu. Disebut kehebatan karena mereka mampu menemukan keindahan dalam tayangan yang kita anggap jelek atau wagu.
Mungkin juga ini masalah selera. Tapi saya percaya, selera itu juga masalah kebiasaan. Kecintaan ibu-ibu atas sinetron tersebut disebabkan karena terbiasanya mereka menonton tayangan sinetron. Keterbiasaan itu disebabkan oleh tidak tersedianya pilihan lain atas tontonan.
Saya menyepakati Kurniawan Adi (dalam Kompas, 9 Agustus 2004), bahwa dalam kasus-kasus seperti ini, kita tidak bisa serta merta menyalahkan penonton sinetron (mayoritas ibu-ibu). Sebagai kelompok yang paling tidak memiliki akses untuk terlibat dalam produksi maupun distribusi tontonan serta wacana tentang televisi, jangan sampai beban yang diberikan kepada penonton menjadi berlipat ganda.
Bukan salah ibu-ibu jika mereka begitu mencintai sinetron. Barangkali mereka hanya tidak punya pilihan. Atau selera mereka terbentuk karena kebiasaan. Seperti pepatah Jawa: “Witing tresno jalaran soko kulina” (Awal cinta adalah terbiasa) atau bisa juga diplesetkan menjadi “Witing tresna jalaran ra ono liyane” (Awal cinta karena tidak ada pilihan lain).
Mungkin secara tidak terterangkan seperti ini, kecintaan ibu-ibu terhadap sinetron bisa dijelaskan dengan pepatah Jawa tersebut.
Leave a Reply