Jogja.
Jogja di Bulan November. Hujan mengguyur hampir setiap hari. Menyisakan dingin di setiap sudut. Juga genangan air yang memantulkan cahaya. Dari lampu-lampu kota yang kita nikmati malam itu.
Kau dan aku duduk mendongak ke atas. Menikmati gerimis yang turun perlahan. Hampir tak terasa seperti hujan.
Segelas penuh wedang bajigur ada di masing-masing tangan kita. Kehangatan yang terasa, membawa kita ke suatu waktu, jauh sebelum hari ini. Saat kita belum sadar arah kita menuju, tak tahu kalau simpul kisah kita ternyata saling bertautan.
Dalam kehangatan itu, kita berdua tiba-tiba tertawa. Mengingat betapa telah lama kita menapaki setapak ini bersama. Kau menertawai kekonyolan yang pernah kulakukan. Aku pun menertawai kebodohan yang sempat kuperbuat.
Kita seperti memunguti kembali jejak-jejak masa silam. Mencoba memberi makna pada setiap kesempatan. Aku dan kamu memang tak selalu tertawa. Ada tangis serta luka yang juga tercipta. Dari situ kita belajar dewasa. Belajar melunakkan ego dan tidak memaksa dunia berputar mengelilingi kita.
Kau pernah bertanya padaku tentang bosan. Tentang rasa yang kerap muncul seiring waktu yang berjalan. Aku pun pernah bertanya tentang cemburu. Tentang ketidakpandaianku menyimpan kenangan di kotak waktu.
Ku bilang bosan itu menantang. Kau bilang cemburu itu wajar.
Lalu kita pun setuju untuk tetap berada di setapak ini. Meski hari kian sore dan kita tak tahu, apa yang akan terjadi nanti.
Tanpa sadar, nyanyian dari para pengamen jalanan mengembalikan kita ke masa sekarang. Saat kita duduk berdua beralas tikar. Samar-samar, ku dengar kau pun bernyanyi perlahan:
“Semakin hari semakin cinta.. Semakin hari semakin rindu..”
Tak lama berselang, kau beranjak sambil terus menggumam dengan suara fals-mu. Meninggalkanku yang masih duduk tersipu malu.
—
Jogjakarta, November 2008.
—
inspired by:
Bleak House by Charles Dickens
Thank You by Dido
Sebelum Kau Bosan, Sebelum Aku Menjemukan by Iwan Fals
Semakin Hari Semakin Cinta by Ratu
Leave a Reply