Dalam diskusi fotografi bersama Seno Gumira Ajidharma semalam, saya memperoleh pengetahuan-pengetahuan baru yang sedikit banyak menambah wawasan saya atas fotografi. Diskusi bertajuk ” 9 Wali dan Siti Jenar” tersebut mengambil tempat di Sangkring Art Space, Nitiprayan, Kasihan, Bantul.
Salah satu lontaran yang menarik minat saya adalah ketika Seno menyebutkan istilah fotografi untuk fotografi. Semangat besar Seno dalam diskusi sekaligus pameran tersebut memang untuk “mengurangi” beban seni yang harus ditanggung oleh sebuah foto. Selain itu, Seno juga mencoba menggiring ke arah pemikiran untuk tidak asal ngomong. Misal dalam kasus Wali Songo dan Siti Jenar, Seno menunjukkan kegerahannya atas orang-orang yang berkomentar tanpa mengetahui konteks dan sejarah. Bagi Seno, dalam kasus-kasus seperti itu, minimal kita harus membaca dulu, baru berkomentar.
Respon-respon yang kemudian berdatangan dari para peserta diskusi beraneka ragam. Ada yang membahas kesahihan foto sebagai dokumentasi, ada juga yang menyebutkan bahwa foto-foto Seno yang dipamerkan jutsru terlalu nyeni bahkan tidak bisa berdiri sendiri sebagai sebuah foto (lebih bisa dinikmati dengan teks). Kebetulan foto-foto tersebut adalah foto-foto yang pernah dimuat di Intisari.
Terlepas dari perbedaan perspektif tersebut, saya sepakat dengan pendapat salah seorang peserta diskusi yang menyebutkan bahwa, dalam diskusi dan pameran seperti ini, adalah saat dimana momen kreasi bertemu dengan momen apresiasi.
Apresiasi itu sendiri, dalam kajian audiens, bisa disebut juga dengan istilah resepsi. Menyetujui Morley, ketika meresepsi, ada tiga peta posisi audiens. Pertama, dominan. Kedua, negosiasi. Ketiga, oposisi.
Posisi yang pertama adalah posisi dimana audiens/pembaca melakukan resepsi dalam kerangka berpikir encoder. Atau kalau dalam istilah yang muncul di diskusi semalam, audiens terhegemoni.
Posisi yang kedua terjadi ketika audiens menegosiasikan makna mereka sendiri. Posisi ini, menurut Seno, dimungkinkan karena sebenarnya dalam momen apresiasi, kompleksitas dari encoder/kreator bertemu dengan kompleksitas decoder/audiens. Negosiasi dari kedua kompleksitas tersebutlah yang melahirkan makna. Terakhir, posisi yang ketiga, oposisi, terjadi ketika audiens/pembaca selalu bertentangan dengan encoder.
Secara personal, saya tidak merasa Seno tengah mencoba menghegemoni saya dengan foto-fotonya. Bahwa dia punya pesan yang ingin disampaikan, itu jelas. Tapi bahwa Seno fokus pada fotografi hitam putih dan ilustrasi yang sedikit old fashioned, saya sepakat itu masalah selera. Malam itu, saya merasa berada di posisi kedua dan bisa memberi makna sesuka hati saya.
Dalam karya estetis seperti fotografi, barangkali kita bisa melihatnya sebagai hiburan (fiksi). Sebagai suatu kebenaran dalam konteks keindahan (meminjam istilah Ashadi Siregar). Jadi, marilah menikmati karya Seno dan membebaskan benak kita untuk membentuk makna atasnya.
Sesekali, mungkin kita (memang) perlu menikmati fotografi sebagai fotografi.
…
Catatan: Semoga itu bukan karena saya gagap teknologi dan sering memotret dengan hati (baca:feeling) ^_^
Leave a Reply