Selo Soemardjan memaknai perubahan sosial sebagai perubahan yang terjadi pada lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap dan pola perilaku diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Sedangkan Kingsley Davis mengemukakan bahwa perubahan sosial adalah perubahan yang terjadi pada struktur dan fungsi masyarakat. Perubahan pada dasarnya memiliki makna sebagai sesuatu yang menunjukkan perbedaan antara situasi sebelum dan sesudahnya.
Perubahan-perubahan yang mungkin terjadi dalam masyarakat antara lain perubahan norma-norma sosial, nilai sosial, interaksi sosial, pola-pola perilaku, organisasi sosial, lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan masyarakat, susunan kekuasaan dan wewenang. Terkait dengan perubahan nilai sosial, kecenderungan yang ada di masyarakat kita saat ini adalah penghargaan berlebih terhadap pendidikan. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari adanya stratifikasi sosial dalam masyarakat.
Pada zaman dulu, manusia dinilai dari kepemilikan tanah, keturunan atau kekayaan yang dia miliki. Sementara saat ini, manusia ditempatkan dalam kotak-kotak ijazah, dimana dia dilihat sebagai siswa sekolah A atau mahasiswa universitas B, bukan dia sebagai seseorang dengan kualitas personalnya yang utuh. Pendidikan seolah-olah menjadi tangga untuk menuju status sosial yang lebih tinggi. Sayangnya, pendidikan bermutu sekarang ini diidentikkan dengan pendidikan yang mahal. Bersekolah di tempat mahal sekaligus menjadi legitimasi kesuksesan dan masa depan seseorang. Hal tersebut kemudian memunculkan pertanyaan, apa yang sebenarnya tengah dikejar oleh masyarakat kita? mutu, prestige, atau justru keuntungan besar-besaran?
Disadari atau tidak, ada nilai yang bergeser dalam masyarakat. Ketika pendidikan mulai dimaknai sebagai suatu hal yang money oriented ketika itulah pendidikan telah kehilangan arti yang sebenarnya. Perubahan sosial, tidak bisa dilepaskan dari komunikasi sosial. Komunikasi sosial itu sendiri bisa dilihat dalam berbagai konteks. Salah satunya adalah konteks komunikasi kelompok.
Dalam konteks inilah, perspektif mengenai pendidikan berkembang. Komunikasi kelompok yang penuh dengan social contact, melahirkan wacana seputar pendidikan yang ujung-ujungnya menggeser arti dari pendidikan itu sendiri. Seperti yang dikatakan oleh Alvin Betrand, awal dari proses perubahan adalah komunikasi, yaitu penyampaian ide, gagasan, nilai, keyakinan, dan sebagainya, dari satu pihak ke pihak lain sehingga dicapai pemahaman bersama. Selain itu, perubahan perspektif masyarakat mengenai pendidikan yang bermutu, menurut David Mc Clelland, dipengaruhi juga oleh adanya need of achievement atau hasrat meraih prestasi yang melanda masyarakat. Dalam bukunya “Pengumuman: Tidak Ada Sekolah Murah”, Eko Prasetyo menyebutkan bahwa orang tua memiliki kecenderungan untuk pamer anak. Apa yang dibicarakan oleh orang tua di arisan, pengajian atau media sosial lainnya adalah tentang kecerdasan anaknya. Anak bukan saja menjadi tawanan ambisi orang tua tetapi juga menjadi pelayan bagi keinginan orang tua yang tak sempat mereka dapatkan di masa lalu. Saat ini, orang tua punya anak sama seperti orang jaman dulu punya binatang piaraan, mereka diberi makan untuk kemudian dipamerkan kecerdasannya (Prasetyo, 2005: 35).
Secara teoretik, komunikasi tidak berdiri sendiri karena komunikasi menggunakan nilai-nilai yang dihayati oleh individu atau masyarakat. Karena itu, penanaman nilai bahwa untuk menjadi pintar seseorang harus bersekolah di sekolah yang mahal menurut symbolic konvergence theory tercipta ketika seseorang melakukan komunikasi kelompok yang didalamnya terkandung pesan-pesan yang sudah didramatisir sehingga menjadi lebih heboh dan lebih mengena. Menurut Dr. Phill Astrid Susanto, yang diharapkan dalam komunikasi adalah kesepahaman, bahkan bila mungkin, suatu keseragaman pola pikir dan tindakan. Karena itu Prasetyo (2005: 20) menyebutkan bahwa semua orang kini nampaknya punya keyakinan seragam, kalau mau bermutu, sekolah harus mahal. Keyakinan tersebut memompa semangat para pengelola pendidikan untuk membuat sekolah dengan menu tarif yang beragam, yang ujung-ujungnya sudah pasti, sekolah memang harus mahal.
Fenomena ini juga membuat masyarakat menjadi “mabuk” pendidikan. Seorang anak misalnya, baru berumur 3 tahun sudah dimasukkan Play Group. Menginjak 5 tahun masuk Taman Kanak-kanak. Setahun kemudian masuk Sekolah Dasar. Usia puber dimasukkan ke SMP. Tiga tahun berselang, masuk SMA. Lulus dari SMA, langsung ke perguruan tinggi. Tidak cukup sampai disitu, dilanjutkan dengan S2, S3 dan seterusnya. Bagus memang, karena dengan realitas sosial yang seperti itu, berarti perhatian kita terhadap pendidikan memang terbukti semakin meningkat.
Tapi yang disayangkan, anak-anak seperti kehilangan masa kecilnya. Ketika mereka harusnya bermain, mereka justru dipaksa untuk mengenal dan menguasai beban yang diluar kapasitas mereka. Dulu sekali ketika saya masih anak-anak, usia balita lazimnya dihabiskan dengan mengenal kehidupan terdekatnya dulu yaitu keluarga. Istilahnya, bermain sambil belajar. Mereka bermain sekaligus mengetahui bahwa api itu panas, bahwa air itu basah, bahwa hujan bisa membuat mereka sakit. Mereka mempelajari semua kegiatan yang sentranya berada di rumah atau lingkungan di sekitar. Sementara saat ini, anak-anak diajari apa saja di Play Group. Mulai dari bahasa hingga komputer, dari berenang hingga sempoa.
Pendidikan saat ini memang percaya kalau anak kecil bisa dipercepat kemampuannya dengan membuat sistem yang menyiksa, misalnya dengan membuka play group plus penitipan dari jam 07.00 sampai 17.00. Ideallisme sebuah sekolah seringkali ditentukan dari kemampuannya untuk tidak membuat anak mengganggu karir dan aktivitas orang tua. Pendek kata, semakin lama di sekolah semakin baik. Padahal, menurut Kathy Matthews, banyak penelitian yang menunjukkan bahwa anak-anak yang bisa membaca terlalu awal menjadi kecewa dan menjadi murid yang tak bersemangat pada usia sembilan tahun. Prestasi dini hasil rangsangan orang dewasa pada anak-anak hanya akan menghasilkan pelajar yang pencemas. Seperti yang tertuang dalam Interview with God: “The most surprised about humankind is that they get bored with childhood, they rush to grow up and then long to be children again”.
Fenomena pergeseran nilai terhadap pendidikan dalam masyarakat modern, terutama disebabkan karena kontruksi sosial yang lahir dalam proses komunikasi sosial. Pada dasarnya, komunikasi tidaklah mengkonstruksi ralitas sosial, tetapi dia hanya merefleksikan apa-apa yang memang terjadi dalam suatu masyarakat. Sejak awal, manusia selalu ditempatkan dalam tingkatan-tingkatan tertentu. Dasar penempatannya adalah sesuatu yang dihargai dalam masyarakat. Naluri alamiah manusia akan membawa mereka untuk berusaha berada pada satu level yang lebih dan lebih tinggi lagi. Pendidikan, sebagai kendaraan yang dianggap paling mudah untuk mencapai status sosial tertentu, kemudian menjadi korbannya. Ia dibentuk sedemikian rupa sehingga muncul nilai baru bahwa sekolah yang bermutu adalah sekolah yang mahal. Hal ini didukung dengan fakta-fakta empirik yang ada di lapangan. Kegiatan ekstrakurikuler misalnya, sekolah mahal akan menyediakan ekstrakurikuler bahasa asing dengan mendatngkan native speaker. Sedangkan sekolah murah, untuk ekstrakurikuler musik saja, tenaga yang dipakai hanya salah satu guru yang kebetulan mempunyai sedikit pengetahuan tentang musik. Sekolah mahal lengkap dengan fasilitas paling modern, sementara sekolah miskin cukup berkembang dalam keterbatasan, syukur-syukur tidak digusur untuk dijadikan mall atau semacamnya.
Dalam komunikasi kelompok, anggota kelompok memang bisa memiliki pandangan lain tentang keputusan-keputusan yang diambil dalam kelompok tersebut. Namun, ada ketakutan tersendiri ketika dia harus mengambil keputusan yang berbeda, karena itu berarti dia menangung resiko untuk dikucilkan atau bahkan dikeluarkan dari suatu kelompok. Dalam kasus penilaian tentang pendidikan misalnya. Seorang Ibu mungkin beranggapan bahwa hal terpenting yang harus didapatkan oleh anaknya adalah pendidikan, dimanapun, tidak peduli itu sekolah super atau sekolah biasa saja. Ibu tersebut menyadari bahwa pada titik tertentu yang menentukan prestasi seseorang bukan tempat dia belajar tapi kualitas individu dan bakat yang dipunyainya. Namun, karena dia bergaul dengan ibu-ibu pengagung prestige, yang sangat percaya bahwa jika ingin pintar seseorang harus bersekolah di sekolah yang mahal, lambat laun, keyakinan ibu itu menjadi pudar dan dia jadi berpendapat sama. Setiap hari dia bertemu dengan orang-orang yang berpikiran berbeda dengannya. Setiap hari dia diinjeksi dengan pengetahuan, bahwa jaman sekarang, mau pintar ya memang harus mahal. Dengan pengkondisian yang seperti itu, mustahil seseorang dapat bertahan lebih lama dengan pendiriannya.
Karena komunikasi adalah sesuatu yang powerfull dan kelompok adalah bagian yang paling mempengaruhi kehidupan seseorang, jadi wajar kalau gabungan dari keduanya mampu menggeser pemahaman akan suatu nilai dalam masyarakat. Jika dicermati lebih jauh, hal ini berawal dari kebijakan pemerintah yang menyatakan bahwa pendidikan itu harus diotonomikan. Artinya, setiap institusi diberi hak untuk mengurus diri mereka sendiri, entah itu dengan memeras anak didiknya, menyewakan gedung atau melakukan hal-hal lain yang intinya sama: komersialisasi pendidikan. Wacana yang berkembang di masyarakat hanyalah pemakluman dan selalu pemakluman. Karena merasa diri mereka tidak bisa berbuat banyak. Pemakluman demi pemakluman itulah yang kemudian melahirkan nilai baru di masyarakat mengenai pendidikan.
Pendidikan yang ideal, seperti yang pernah diucapkan Bung Karno dalam salah satu pidatonya, haruslah menjadi sumber kemakmuran dan kemajuan masyarakat kita seluruhnya dan bukan menjadi lahan untuk mengejar diploma Bagaimana kita bisa melahirkan manusia-manusia yang baik, jika sejak awal kita sudah salah dalam menilai pendidikan itu sendiri. Bagaimana pendidikan bisa menjadi jaminan kepastian hidup suatu bangsa, jika yang ada hanya pendidikan yang terdistorsi oleh gelora ekonomi yang tidak masuk akal.
Namun, berbicara mengenai realitas jelas berbeda dengan idealisme. Perubahan zaman yang terjadi memang menuntut lebih dari sekedar konsekuensi. Pergeseran nilai tentang pendidikan mungkin hanya satu dari banyak hal yang tanpa kita sadari telah kita korbankan untuk satu istilah “perubahan zaman”.
*Tulisan ini merupakan tugas yang saya buat ketika mengambil mata kuliah Komunikasi Sosial, diubah secukupnya untuk memperbarui konteks kekinian.
Leave a Reply