Mendung yang pertama kali menyapa saat kususuri lagi tanah di Jalan Kembang Merak itu. Sebuah rumah, yang dulu banyak merekam jejak langkahku. Sunyi, sepi, tak banyak yang berlalu lalang. Ruangan 3 x 3 itu juga sama saja. Tak ada satu orang pun di dalamnya. Lalu gerimis datang. Tepat saat kamu baru saja selesai menuntaskan doa.
Kau dan aku mengambil tempat di bawah pohon. Meski hujan, kita tak beranjak. Terlalu asing untuk bergerak. Ingin mengambil sedikit tempat di ruang tamu tapi merasa tak enak. Lalu kita biarkan saja rintik-rintik kecil itu membasahi tubuh kita. Toh gelak canda dan tawa kita dengan seorang teman terasa hangat di badan.
Dalam rinai hujan, kau memintaku mengambil mantel. Kamu dengan nasi bungkus di tanganmu memang tampak kesulitan. Menahan rintik hujan agar tak membasahi nasimu. Kubentangkan mantel kumuh itu di atas kepala kita. Teman kita tertawa. Dia dengan jaket anti hujannya tampak baik-baik saja.
Lalu kita saling berebut tahu, juga teri yang jadi laukmu siang itu. Ah, ternyata enak juga, menikmati sebungkus nasi dan segelas kopi kental, sambil berlindung dari hujan. Mungkin karena nasi itu. Mungkin karena mantel yang kita pegang ujungnya satu-satu. Atau mungkin karena kita bersama, melewatkan waktu sebelum senja. Meski hanya dengan sebungkus nasi lauk teri dan segelas kopi, untuk berdua.
Leave a Reply