Kemarin saya bertanya pada Joko Pinurbo, kenapa dia suka senja? Saya selalu menemukan kepingan senja di tiap puisinya. Dia bilang, mungkin kebetulan saja.
Lalu saya berjalan-jalan mengunjungi blog seorang teman, yang disitu menulis dengan gamblangnya bahwa dia mencintai senja, bahkan dia memberi nama blognya: cerita senja
Ya, senja, warna oranye yang selalu menyapa sesaat sebelum matahari tergelincir..
Saya jadi bertanya-tanya sendiri, kenapa saya juga suka senja?
Ketika merenung di teras samping kemarin, sembari menatap pucuk-pucuk jati yang basah tersiram gerimis, saya tahu alasan-alasan kenapa saya menyukai senja.
Alasan pertama, mungkin karena saya susah bangun pagi. Jadi saya lebih bisa menikmati senja ketimbang fajar.
Alasan kedua adalah karena saya selalu didampingi senja, setiap kali menempuh jalan dari dan atau ke Jogja. Sejak tujuh tahun lalu, selalu ada senja di samping kiri saya, atau kadang-kadang di sebelah kanan saya. Saya jadi terbiasa dengan kehadirannya (dan merasa kurang kalau dia tak ada)
Alasan ketiga adalah karena senja selalu membangkitkan perasaan tertentu pada diri saya. Campuran antara romantis, sendu, cantik, dan kontemplatif sekaligus. Entah kenapa saya selalu merasa bahagia setiap kali bertemu senja.
Sayangnya, akhir-akhir ini saya jarang bertemu senja. Sore yang mendung dan gerimis yang lama turun selalu menjauhkan senja dari pandangan saya.
Kalau dipikir-pikir, situasi ini sama seperti sore-sore yang saya lalui di bulan Mei 2006.
Waktu itu, saya juga tak berhasil menemui senja. Selalu saja ada halangan. Mendung, kabut, gerimis, rintik hujan. Saya hanya bisa menghela nafas panjang sesampainya di bukit itu. Tak ada senja, meski seseorang telah menitipkan salamnya.
Hingga pada suatu sore, yang sarat bau tanah basah karena hujan baru saja kelar menuntaskan tugasnya, saya berhasil menemui senja. Cukup lama. Cukup bagi saya untuk bertanya “Apa kabar?“.
Lalu kami berbincang, dan dia menghadiahi saya sepotong jingga, yang menjadi tanda bagi sebuah cerita. Mungkin tak seindah sepotong senja untuk pacarku-nya Seno Gumira, mungkin juga tak senikmat pacar senja-nya Joko Pinurbo, tapi senja tetap saja terlihat cantik sekali hari itu.
Sesaat sebelum dia pergi, dia bisikkan sebuah kalimat pendek:
“Jangan pernah temui aku, sendirian saja”
Dan senja pun tersenyum. Saya tersenyum. Kami tersenyum.
Leave a Reply