Namanya juga Sinetron

Tulisan ini, lagi-lagi soal televisi, soal keisengan saya akhir pekan lalu, saat saya mencoba menikmati sebuah sinetron di salah satu televisi swasta..

Seperti biasa, saya melalui waktu-waktu saya menonton televisi dengan beragam kometar sinis. Bagaimana saya tidak berkomentar sinis? Banyak kejanggalan dan ketidaklogisan yang saya temui dalam sinetron bergenre drama dan bertema setengah mistis setengah legenda itu.

Kejanggalan yang pertama adalah teknik dubbing yang menurut saya membuat sinetron tersebut tampak tidak natural. Memang, katanya sih, teknik dubbing ini memperkecil biaya produksi, karena tak perlu melakukan pengambilan gambar berulang-ulang karena salah dialog dan semacamnya. Tapi tetap saja, saya tidak bisa menahan diri saya sendiri untuk mengernyitkan dahi setiap kali bibir si pemain dalam sinetron tersebut mengucapkan kata dalam warna dan nada suara yang sama sekali tidak sesuai (baik dengan mimik maupun dengan muka dan perawakan si pemeran).

Kejanggalan yang kedua, adalah mengenai penokohan yang tidak lazim. Jarak umur anak, ibu dan ayah yang tidak jelas. Tak jarang si ibu terlihat lebih muda dari anaknya.

Kejanggalan yang ketiga, teknik efek pas-pasan yang bukan menjadikan tayangan tersebut enak dilihat, tetapi justru membuat penonton–terutama saya–kian merasa enek. Menonton sinetron tersebut membuat saya teringat film Kingkong yang dulu pernah dibuat di awal dekade 1930-an, alias kurang lebih 75 tahun yang lalu. Teknologinya persis sama, untuk tidak mengatakan lebih buruk, padahal sinetron ini dibuat di era yang jauh lebih baru.

Kejanggalan yang keempat pada kisah dan pandangan-pandangan atas nilai yang berlaku di masyarakat. Misal, dikisahkan seorang ibu yang mendadak miskin, kemudian dia diusir dan tinggal di rumah jelek. Tapi dalam kenyataannya, rumah yang kemudian ditinggali ibu itu sama sekali tidak jelek, mewah malah.

Dalam sinetron, semuanya diukur berdasarkan perspektif yang tak tahu diambil dari mana. Ukuran-ukaran atas segala sesuatu menjadi tidak jelas dan makin jauh dari kehidupan nyata. Wajar, kalau dulu, ada opini yang berkembang di masyarakat, bahwa wajah persinetronan Indonesia sama sekali tidak merefleksikan realitas sosial yang ada di masyarakat. Dia merupakan bentuk sempurna panggung kehidupan yang menjadi semacam katarsis dan pelarian bagi masyarakat dari dunia nyata.

Belum soal kisah yang dibuat-buat. Maunya agamis, tapi yang ada justru mistis. Maunya sok India tapi bayar koreografer yang handal saja enggan. Alhasil, selain ceritanya maksa, visualisasinya juga tak memanjakan mata.

Lalu, di tengah keluhan-keluhan saya tersebut, tiba-tiba Bapak saya menukas: “Jadi, kamu baru sadar kalau dibohongi?”

Ya, Bapak benar. Realitas yang ada di sinetron adalah realitas penuh kepalsuan, dan seperti realitas media pada umumnya, tak mungkin dia sama dengan realitas sosial. Bagaimanapun, sinetron merupakan hasil konstruksi, wajar kalau dia tidak benar atau malah membohongi penonton. Kalau kemudian saya merasa tidak nyaman dengan realitas hasil kontruksi tersebut, saya mungkin bisa mengatasinya dengan berujar: “Ah, namanya juga Sinetron“.

Advertisement

8 responses to “Namanya juga Sinetron”

  1. “dia merupakan bentuk sempurna panggung kehidupan yang menjadi semacam katarsis dan pelarian bagi masyarakat dari dunia nyata.”

    aku jadi ingat bagaimana aku berusaha menonton sinetron untuk membuktikan sendiri apakah yang diributkan orang tentang sinetron indonesia itu betul, bahwa sinetron hadir sebagai ‘pelarian’ yang menyuguhkan yang indah indah saja sampai mungkin jika ia diputar di eropa sono atau amerika mereka (orang amrik n eropah) akan mudah percaya bahwa orang indonesia semua sugihsugih, dan bisa ditebak, ternyata betul!

    btw, aku gak setuju sama orang yang bilang ‘say no to sinetron indonesia’ tanpa pernah melihat sinetron, mereka harus nonton!dan buktikan sendiri, hehe

  2. betul, yang boleh mengkritik, ya orang yang udah pernah ngerasain dunk
    ^_^

  3. Wah, wah, wah, blog yang segar. Tak tautkan ke blogroll sulang ya, Bu Dosen. Salam hangat.

  4. pembikin sinetron itu selalu menganggap kita para penonton itu bodoh,lha dalam hati mereka pembikin sinetron murahan itu (mengutamakan biaya operasional murah) pasti tertawa geli sambil membatin sinetron gini kok ya banyak yang nonton…mau mbikin lagi ah…

  5. yup..emang dalam dunia yang terpaan media-nya tinggi, diharapkan kontrol itu ada di audiens sendiri, tapi sayangnya, untuk bisa punya kontrol, banyak hal yang diperlukan..

  6. aq bbrp kali nonton sinetron di tv kita yang enak dimata dan renyah di logika, seringkali nemunya kebetulan (bukan karena dah baca resensinya) misalnya FTV ujang pantry 1 dan 2. jarang sekali ada FTV dibikin sekuel, ini karena emang bagus (IMHO) dan Ujang pantry dapet panasonic award (meski bukan satu2 ukuran kualitas.

    lumayan susah emang nemuin sinetron stripping, kejar tayang, yang nyaman ditonton buat dicerna. sinetron yang hayu tonton, kayaknya di Indosiar ya 🙂 iya sih, dubbingnya aja jayus gituh.

    Kalo masih penasaran dan nggak banyak waktu nonton tv, coba aja nonton sinetron FTV yang nggak berseri karena tayang sekali. so kita bisa selektif milih judul yang kayaknya menarik dan pas dg waktu luang. Oya, januari tahun depan ada sinetron seminggu sekali, Pakdhe, yg main alex komang, didi petet. kayakny menarik entah asyik atau naif ceritanya, check it out 🙂

    sorry kalo commentnya ngabisin kuota. abis postingan hayu (yg cant*k) asik diikutin sih he3

  7. hehehehe, ketauan ya, emang di Indosiar, wah kayaknya bagus tu, kalau liat dari kualitas pemainnya,hehehehe
    halah, mas inung tu bisa ja 🙂

  8. […] serial yang dulu pernah ngetop di taun 90-an. Tapi entah kenapa rasanya kok beda aja. Jadi inget tulisan yang dipublish seseorang tentang sinetron2 jaman sekarang yang cenderung ngapusi (membohongi .dul) […]

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

A WordPress.com Website.

%d bloggers like this: