Sudah cukup lama saya merindukan dua hal: 1. Jogja yang lega, dan 2. UGM yang lusuh.
Saya merindukan Jogja seperti yang digambarkan Marco Kusumawijaya: “Di Jogja ada kepadatan yang tidak menyesakkan, kedekatan yang tidak menghimpit, kemudahan yang tidak memanjakan, keleluasaan dan kesantaian yang tidak mengabaikan karma serta perhitungan akal yang makin memuliakan rasa“.
Sekarang, Jogja kian bertransformasi menjadi kota metropolitan atau apapun istilahnya. Ruas-ruas jalan macet. Panas menguar dimana-mana. Susah mencari tempat yang lega dan tidak menyesakkan. Semua orang kini tumpah ruah di kota gudeg ini. Lihat saja mobil-mobil berplat non AB yang makin mudah ditemukan di sepanjang jalan di Jogja. Lihat juga betapa ramainya pusat-pusat perbelanjaan setiap harinya. Dulu, rasa-rasanya, Jogja tak seramai ini.
Saya sadar, Jogja bukan milik saya saja. Kota ini memang punya magnet tersendiri, wajar kalau semua orang kemudian berlomba ingin menikmatinya.
Tapi, saya tidak bisa menutupi kebahagiaan hati saya, ketika pagi ini, saya naik bus dan melewati Jalan Kaliurang. Sepi yang tersisa karena lebaran justru membuat saya merasakan kelegaan tertentu. Jalanan yang tidak terlalu ramai. Sopir Bus yang tidak ugal-ugalan. Juga udara yang masih segar dan terasa nyaman.
Saya makin bahagia ketika kemudian, saya melanjutkan perjalanan dengan menyusuri setapak-setapak kecil di lingkungan UGM. Tak terlalu banyak orang berlalu lalang. Hanya seorang tukang kebun yang menyiram tanaman dan seorang ibu muda yang tengah menyuapi anaknya.
Burung-burung terbang rendah dan hinggap di dahan-dahan cemara. Tak ada suara bising kendaraan, atau cengkerama para pegawai yang berlebihan. Yang ada hanya aroma sejuk pepohonan dari hutan buatan di Fakultas Kehutanan, juga tawa-tawa sederhana dari tukang parkir di rektorat.
Sama seperti Jogja, UGM, tempat saya melacurkan otak ini, sekarang juga sudah banyak berubah. Tak lagi lusuh, seperti yang saya kenal dulu.
Makin susah menemukan mahasiswa berbaju seadanya–atau bahkan bersandal jepit–tapi tetap dengan kedalaman pemikiran khas UGM. Yang ada adalah mereka-mereka yang well dressed dan beauty concern.
Tapi toh, saya tidak berniat menghakimi. Jogja yang tak lega dan UGM yang tak lusuh, bagi saya, hanyalah sebuah keniscayaan yang mungkin tak bisa dihindari. Yang terpenting adalah, kesadaran bahwa kita masih bisa menciptakan Jogja yang tetap berhati nyaman dan UGM yang tak berpikiran dangkal, selama kita tidak sibuk mengejar hal-hal banal yang kasat mata, dan lebih mengutamakan pada kedalaman pemikiran dan juga kesadaran untuk bisa lebih “menjaga” Jogja, agar tetap nyaman untuk ditinggali.
Apapun itu, saya bersyukur bisa menikmati dua hal yang sudah saya rindu sejak lama. Jarang-jarang kan, bisa menyebrang jalan tanpa suara klakson yang memekakkan telinga dan berjalan kaki sambil menikmati cericit burung gereja?
Leave a Reply