Dalam masyarakat yang sarat kapitalisme industri ini, iklan, melalui medium apapun, telah menjadi realitas sehari-hari yang tidak terelakkan (sama seperti handphone! lebih jelas, baca di postingan saya sebelumnya yang berjudul: Negeri Reg ). Jangankan di televisi, di jalan pun kita dijejali dengan berbagai informasi yang sarat satu makna: Beli!! Beli!! dan Beli!!. Intinya adalah penciptaan budaya konsumtif dengan alat utamanya yaitu iklan.
Iklan memang dianggap sebagai senjata ampuh untuk mempromosikan atau menjual barang. Hal ini dikarenakan kemampuannya yang bisa menyapa calon konsumen secara personal maupun komunal. Iklan telah lama dipercayai mampu membentuk persepsi masyarakat atas kegunaan dan keperluan suatu barang. Iklan juga yang kemudian menciptakan “psychological label of the product“, yaitu bagaimana orang mulai dikonstruksi untuk memakai produk tertentu karena label-label psikologis yang dilekatkan padanya, semisal: “kalau pakai operator ini, kamu sama dengan Luna Maya lho“, atau “kalau kamu beli detergent ini, kamu jadi cantik lho pas nyuci baju”, dan semacamnya.
Namun, ada satu catatan menarik yang baru saya sadari kemarin. Fakta menarik tersebut adalah, seringkali, sebagian masyarakat meresepsi pesan dalam iklan, tidak sesuai dengan keinginan komunikator. Bahkan, beberapa diantaranya bukan hanya tidak sesuai tapi justru melenceng cukup jauh.
Iklan biasanya bertujuan untuk mengarahkan pada pemikiran tertentu yang berujung pada pembelian atau konsumsi atas barang yang diiklankan. Misal, iklan produk kecantikan berniat memengaruhi masyarakat agar membeli produk kecantikan tersebut. Sayangnya, ada beberapa efek samping yang justru terjadi, yaitu bahwa konsumen bukan membeli barang yang diiklankan tapi justru ramai-ramai mengkonsumsi barang lain yang ada di iklan tersebut. Welahdalah.. (kalau kata orang Jawa bilang..)
Masih ingatkah Anda dengan iklan pembersih lantai yang sering muncul di layar kaca pada awal tahun 90-an? iklan tersebut mempertontonkan adegan ibu muda yang tengah mengepel lantai. Setelah mengepel, si Ibu menikmati buah anggur hijau segar, kemudian, anggur tersebut jatuh ke lantai, si ibu muda lalu memungutnya sembari berkata “Belum lima menit” dan “hap”, dimakanlah buah anggur tersebut.
Nah, uniknya, setelah iklan tersebut muncul, yang terjadi di lingkungan saya justru bukan heboh membeli pembersih lantai, melainkan sibuk membeli anggur hijau. Jadi yang laris manis di pasaran bukan pembersih lantai tapi anggur hijau. Orang tetap saja membeli pembersih lantai yang lain atau bahkan tak menggunakan pembersih lantai.
Hal yang sama juga terjadi ketika sebuah produk pemutih wajah mengeluarkan salah satu seri iklan sepasang kekasih yang mengalami CLBK (cinta lama bersemi kembali) dengan ikon kalung berbelah hati. Apa yang terjadi masyarakat bukan ramai-ramai membeli produk kecantikan tersebut, melainkan sibuk mencari dan membeli kalung yang dipakai oleh pasangan tersebut.
Begitulah, menurutku dua fenomena tadi menjelaskan bahwa terkadang iklan juga kerap mengalami inefisiensi. Maunya ini, tapi yang terjadi justru itu. Entah masyarakat kita yang terlampau cerdas hingga bisa membetengi diri dari serbuan iklan yang menyesaki seperti polusi atau, para pembuat iklan kita yang tidak lihai membaca pola pikir pasar. Ah, entahlah, mungkin aku saja yang (terlalu) merumitkan segala hal.
Leave a Reply